Friday, June 10, 2011

SINKRETISME BUDAYA ISLAM JAWA

I. PENDAHULUAN

Menelisik sejarah Jawa yang menjadi tempat untuk didatangi bangsa-bangsa lain, dan kemudian menjadi tempat penyebaran dan tumbuh kembangnya agama-agama besar dunia, maka membuktikan bahwa budaya dan peradaban Jawa ramah dan toleran terhadap budaya dan peradaban lain. Bahkan kemudian ‘bersedia’ untuk bersinergi dan sampaipun ke masalah laku budaya spirituil. Dan sinerrgi tersebut akhirnya menghasilkan sinkretisme.
Penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-15 dihadapkan kepada dua jenis lingkungan, yaitu budaya kejawen (istana Majapahit) yang menyerap unsur-unsur Hindunisme dan budaya pedesaan. Dalam pada itu terjadi culture contact yang kemudian berbuah akulturasi antara dua arus nilai yang sama besarnya, yaitu asimilasi antara ajaran Islam dengan budaya Jawa, baik dalam lingkungan keraton maupun pedesaan.

II. PEMBAHASAN

A.Pengertian Sinkretisme

Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal yang agak berbeda dan bertentangan.Simuh menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu aliran, sekte, dan bahkan agama.
Menurut Sumanto al-Qurtubi, “proses sinkretisme menjadi tak terelakkan ketika terjadi perjumpaan dua atau lebih kebudayaan/tradisi yang berlainan”
Dalam menerangkan keberagaman masyarakat Jawa, kuncaraningrat membagi mereka menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam Santri. Yang pertama kurang taat kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam, sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran agama Islam dan bersifat puritan.Namun demikian, meski tidak sekental pengikut agama Islam Jawa dalam keberagamaan, para pemeluk Islam santri juga masih terpengaruh oleh animisme, dinamisme, dan Hindu-Budaha.

B. Latar Belakang Munculnya Sinkretisme Islam-Jawa
Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ada tiga hal yang sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang sejarah sinkretisme Islam-Jawa. Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar (Andalusia/Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon dan Castella pada 1492 M menjadi pertanda kemunduran politik Islam. Begitu juga arus keilmuan dan pemikiran Islam saat itu terjadi stagnasi.
Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran Islam yang elastis dan adaptif terhadap kekuatan unsur-unsur lokal, mengingat kekuatan Islam baik secara politik maupun keilmuan sedang melemah. Bertepatan pada akhir abad XV di mana terjadi Islamisasi secara besar-besaran di tanah Jawa, maka metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu bercorak apresiatif dan toleran terhadap budaya dan tradisi setempat.
Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian senada dengan filsafat Tantularisme khas Jawa yang mengajarkan humanisme dalam segala bidang sinkretismeme.
Pandangan hidup masyarakat Jawa seperti ini lebih mempermudah dalam menerima ajaran Islam yang kategorinya paham asing. Akhirnya proses interaksi antara keduanya tidak bersifat konfrontatif, sebaliknya bersifat akomodatif dan toleran. Kedua hal itulah yang melatarbelakangi sinkretisme Islam dengan budaya kejawen terjadi sangat mudah dan seakan tanpa sekat.
Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme. Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi system kepercayaan atau agama tentunya (sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang mengatur hubungan menusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.
Spiritualitas dan religiusitas yang menjadi pijakan keberagamaan orang Jawa yang terkandung dari keempat unsur tersebut jika kita benturkan dalam “kesalihan” Jawa tidak lain adalah untuk mencapai satu titik tertinggi, yaitu kasunyatan atau kesejatian hidup. Tak berbeda dengan Islam, sebagai ajaran agama nilai-nilai ajaran yang ada di dalamnya pun memuat prinsip-prinsip kepercayaan masyarakat Jawa, khususnya berkaitan dengan keberadaan sang pencipta atau Tuhan. Dalam semua tradisi tersebut, termasuk Islam, Tuhan merupakan wujud kekuatan adikodrati yang mengendalikan segala sesuatu yang manusia harus tunduk kepada-Nya dalam bentuk pengabdian.
Dengan menggunakan kerangka berpikir sedemikian, Islam menjadi mudah diterima dan menyatu di dalam masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Pandangan Jawa yang meyakini agama ageming aji, adalah falsafah yang mengajarkan bahwa agama merupakan sebuah ajaran agar kehidupan yang dijalani mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan.
Tiga hal inilah yang melatarbelakangi masuknya Islam di tanah Jawa terhitung cukup mudah dan bisa berinteraksi secara damai dengan masyarakat. Tetapi di samping itu, tidak terlepas pula peran besar Walisongo yang menggunakan metode yang toleran dan akomodatif terhadap budaya dan agama Jawa.
C. Praktek-praktek Sinkretisme Budaya Islam Jawa
Untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme, berikut ini diuraikan bebrapa contoh.
a.Penggabungan antara Dua Agama/Aliran atau Lebih
Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang basanya merupakan sinkretisasi antara kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha
b Bidang Ritual
1. Upacara Midodareni
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).
Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari mara bahaya yang menganggu jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual ini diisi dengan pembacaam Barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil.
2. Upacara Barokahan dan Sepasaran
Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan duaekor kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan upacara barokahan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia ni dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa, agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari. 3. Sungkeman
Menggabungkan Islam dengan budaya lokal dalam konteks ini adalah melaksanakan syariat Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada kedua orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syariat ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem. Sungkeman
Menggabungkan Islam dengan budaya lokal dalam konteks ini adalah melaksanakan syariat Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada kedua orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syariat ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem.
c.Pada aspek kepercayaan
Fondasi Islam telah menyatu dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asma’ al husna telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti Kang Murbeng Dumadi (al-Khaliq), Ingkang Maha Kuwaos (al-Qadir), Ingkang Maha Esa (al-Ahad), Ingkang Maha Suci, dan lain-lain.
Nama-nama itu bercampur dengan nama dari agama lain sehingga muncul sebutan Hyang Maha Agung (Allahu Akbar), Hyang Widi, Hyang Jagad Nata (Allah rabb al-alamin), atau Sang Hyang Maha Luhur (Allah Ta’ala). Kata Hyang berarti Tuhan atau lebih tepatnya dewa, sehingga ka-Hyang-an diartikan sebagai tempat para dewa. Dalam hal ini Allah terhayati sebagai pribadi yang menjadikan, memelihara, memberikan petunjuk, dan memberi rizki kepada semua makhluk ciptaan-Nya.
d. Dalam Doa dan Mantera
Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa dengan nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari memuja dewa-dewa dengan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam.
D. Reaksi terhadap Usaha Sinkretisasi
Dalam mengahadapi sinkretisasi ajaran-ajaran Islam dengan tradisi Jawa pra-Islam, paling tidak telah muncul tiga pendapat. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim taat, yang kalu ditanya tentang landasan dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab landasanya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Namun meskipun mereka mempunyai landasan yang sama, implementasi gagasan ini di lapangan berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Kelompok pertama adalah yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau takhayul, khurafat, dan syirik.bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah sudah mengatur peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam
. Kelompok kedua adalah kelompok moderat. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang
Kelompok yang ketiga adalah mereka yang dapat menerima sinkretisme secara keseluruhan
III.KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas, dapat kita tarik pemahaman bahwa proses penyebaran Islam di tanah Jawa menggunakan pendekatan kultural, yakni adaptif dan akomodatif dengan budaya dan tradisi setempat. Sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa meskipun akhirnya mengalami proses akulturasi dengan nilai-nilai setempat.
Setelah Islam dan Jawa bersenyawa menjadi satu dalam sebuah ikatan religius dan spiritual, keduanya sangat padu. Bahkan seakan-akan tidak bisa dibedakan sebenarnya yang mana budaya Jawa dan yang mana Islam. Kemudian pencampuran keduanya, atau yang tadi disebut sinkretisme menjadi bentuk dan ciri khas Islam di Jawa.
IV. PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat dengan mengumpulkan data kepustakaan dari berbagai sumber. Tidak lain adalah untuk memberikan pengantar mahasiswa dalam memahami studi Islam-Jawa. Namun di balik itu, kami sadar sepenuhnya bahwa di dalamnya masih terdapat banyak kelemahan. Oleh karena itu saran dan kritik konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan salanjutnya.

No comments:

Post a Comment