Friday, June 10, 2011

DILALAH MENURUT HANAFIYAH

A. Pendahuluan
Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafaz-lafaz yang dalam Ushul Fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dalalah tersendiri.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Maka dalam makalah ini akan dijelaskan lebih terperinci mengenai dilalah itu sendiri dan juga mengenai pemahaman Imam Abu Hanifah mengenai dilalah.

B. Pengertian dilalah
Arti “dilalah” (دِلَالَةٌ) atau “dalalah” secara umum adalah :
الدِلَالَةُ هِىَ فَهْم اَمْر مِنْ اَمْرٍ اَخَرٍ
“memahami sesuatu atas sesuatu yang lain”. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut ”madlul” (مَدْلُوْلٌ) (yang ditunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri. Kata sesuatu yang disebut kedua kalinya disebut “dalil” (دَلِيْلٌ) (yang menjadi petunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”.
Pembahasan tentang “dilalah” ini begitu penting dalam ilmu logika dan Ushul Fiqih, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berfikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berfikir secara dilalah.
C. Pembagian dilalah
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam:
1. Dilalah lafzhiyyah (الدِلَالَةُ اللَّفْظِيَّةُ) (penunjuk berupa lafaz)
Yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata.
Dengan demikian, lafaz, suara dan kata menunjukkan kepada maksud tertentu. Penunjukannya pada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a) Melalui hal yang besifat alami yang menunjukkan pada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini.
Contohnya: “Rintihan”, maksudnya adalah yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Penunjukkan dilalah seperti ini disebut “thabi’iyyah” (طَبِعِيَّةُ)
b) Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk pada maksud tertentu.
Contohnya: suara kendaraan menunjukkan adanya bentuk kendaraan tertentu yang lewat dibelakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertentu, meskipun kendaraan itu belum dilihat secara nyata. Penunjukan secara suara tersebut dinamai “aqliyah” (عَقْلِيَّةُ)
c) Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu.
Contohnya: kalau kita mendengar ucapan ”binatang yang mengeong” kita akan langsung mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu adalah “kucing”. Hal ini dimungkinkan karena kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang mengeong” itu memberi istilah kepada “kucing”. Penunjukkan bentuk ini disebut “wadha’iyyah” (الدِلَالَةُ اللَّفْظِيَّةُ وَضْعِيَّةُ)
Para ahli membagi dilalah wadha’iyyah menjadi tiga:
 Muthabiqiyyah, موافقة الَدال لِلْمَدْلُوْلِ(مُطَاِبِقيَّةُ) , yaitu dilalah yang mencakup keseluruhan unsur yang ada pada madlul. Contoh: binatang yang mengeong (dal), sedangkan madlulnya adalah kucing.
 Tadhammuniyah (تَضَمُّنِيَّةُ)
عَلَى جُزْءِ مَعْنَاهُ لِتَضَمُّنِ اْلمَعْنَى لِجُزْئِهِ اْلمَدْلُوْلِ دِلَالَةُ لَفْظُ, yaitu dalalah yang mencakup sebagian unsur madlul, tapi dari sebagian unsur tersebut sudah menunjukkan makna sebenarnya dari madlul. Contoh:
Yang “menggonggong”(dal), sedangkan madlulnya adalah “anjing”
 Iltizhamiyyah الَلْفظُ لَازِمُ مَعْنَاهُ اْلِذهْنِ (الِتزَامِيَّةُ) yaitu memahami makna yang tersirat dalam ungkapan kepada makna yang sebenarnya. Contoh: ungkapan “tidak bisa membaca” pada orang yang buta, padahal makna yang sebenarnya dari orang yang buta adalah orang yang tidak bisa melihat.
2. Dilalah ghairu lafzhiyyah (دِلَالَةٌ غَيْرُ لَفْظِيَّةُ) atau dilalah selain lafaz.
Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan pula dalam bentuk kata. hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya: seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.
Sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut:
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja. Contoh: muka pucat menunjukkan sakit.
Hal ini dapat di ketahui bahwa secara alamiah tanpa dibuat-buat, bila seseoarang barada dalam kesakitan, maka mukanya akan pucat. Pucat itu timbul dengan sendirinya dari rasa sakit itu.
b. Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu. Contoh: asap menunjukkan adanya api. Karena asap yang mengepul menunjukan adanya api di dalamnya. Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan akal: “dimana ada asap pasti ada api”.
c. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Contoh: huruf H di depan nama seseorang menunjukkan bahwa orang itu sudah haji. Hal itu dapat di ketahui karena sudah menjadi kebiasaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji menambahkan huruf H di depan namanya, tanpa ada orang yang menyuruhnya.
Penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainya, banyak digunakan dalam kehidupan. Maksudnya untuk penghematan bahasa. Dengan cara itu, maka sedemikian banyak maksud yang disampaikan dalam komunikasi dapat disingkat dengan menggunakan lambang dalam bentuk sebuah huruf atau tanda.

D. Dilalah dalam pandangan ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu lafziyyah.
1. Dilalah lafzhiyyah (دِلَالَةُ لَفْظِيَّةُ)
Ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah lafzhiyyah dibagi empat macam:
a. Dilalah ‘ibarah( دِلَالَةُ عِبَارَةُ)
وَهِيَ اْلمَعْنَى اْلمَفْهُوْمِ مِنَ الَّلْفظِ سَوَاءٌ كَانَ نَصَّا اَوْ ظَاهِرًا
Dilalah yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash atau dzahir.

Pemahaman lafaz dalam bentuk ini adalah menurut apa adanya yang dijelaskan dalam lafaz itu. Pemahaman secara tersurat dalam lafaz. Contoh Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat: 3.
                              
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ayat ini menurut ‘ibarat nash atau menurut yang tersurat sesuai tujuan yang semula, yaitu bolehnya mengawini perempuan sampai empat orang, bila memenuhi syarat adil. Berlaku adil di sini ialah perlakuan yang adil dalam melayani istri, seperti sandang, pangan, papan dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Disamping itu juga ada yang bersifat bathiniyah seperti: giliran. Lafaz dalam ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukkan hal tersebut.
Di samping memberi petunjuk yang jelas dan langsung,ayat ini secaratidak langsung (bukan menurut maksud semula atau zahirnya) menunjukkan bahwa perkawinan itu hukumnya adalah mubah, meskipun tujuan ayat ini sebenarnya bukan hanya sekedar untuk itu.
b. Dilalah isyarah (دِلَالَةُ الاِشَارَةُ)
(دِلَالَتُهُ)اَيِ اللَّفْظِ عَلَى مَالَمْ يَقْصُدْبِهِ اَصْلًا
Dilalah isyarah adalah lafaz yang dilalahnya terdapat sesuatu tidak dimaksud untuk itu menurut asalnya. Contohnya Surat Al-Baqarah Ayat: 233:
        
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para Ibu dengan cara ma'ruf”.

Ibarat lafaz dalam ayat di atas menunjukan kewajiban si ayah untuk memberi nafkah dan pakaian yang layak untuk istrinya atau jandanya dalam masa iddah.
Ungkapan المولودله)) yang berarti ayah sebagai pengganti dari lafaz الابyang digunakan Allah dalam ayat ini oleh sebagian mujtahid yang teliti titik perhatian. Ungkapan (المولودله) arti sebenarnya adalah “anak untuk ayah” tapi menurut penelitian para mujtahid maksudnya adalah “anak adalah kepunyaan ayahnya” atau dalam istilah hukum “anak dinisbatkan kepada ayahnya”.
Dengan pemahaman tersebut terkihat bahwa ayat tersebut yang menurut ibaratnya mengandung maksud tertentu, juga mengisyaratkan pada maksud lain yaitu “hubungan nasab adalah kepada ayahnya” bukan kepada ibunya.
c. Dilalah nash (دِلَالَةُ النَّصُّ)
دلَالَةُ اللَّفْظ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمِ مَاذُكِرَ لِمَا سُكِتَ عَنْهُ لِفَهْمِ الْمَنَاطِ بِمُجَرَّدِفَهْمِ اللُّغَةِ
Dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.
Atau dapat dikatakan dilalah nash adalah penunjukan oleh lafadz yang “tersurat” terhadap apa yang “tersirat” di balik lafadz tersebut.
Contoh Q.S. Al-Isra’ Ayat 23:
          
“Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”

Ibarat dari nash ini menunjukkan tidak bolehnya mengucapkan kata-kata kasar dan menghardik pada Ibu Bapak. Jadi, Hukum “tidak boleh” itu berlaku pula pada perbuatan “memukul orang tua” yang tingkatanya dinilai lebih kasar, karena sifat “menyakiti” yang menjadi alasan larangan pada pengucapan kasar. Dan “memukul” dinilai lebih kuat pada perbuatan “menghardik”.
d. Dilalah al-iqtidha’ (دِلَالَةُ الِاقْتِضَاءُ)
اِنْ دَلَّ اللَّفْظُ عَلَى مَسْكُوْتٍ يَتَوَقَّفُ صِدْقَهُ عَلَيْهِ اَوْ صِحَّتَهُ
Dilalah iqtidha’ adalah lafaz yang menunjukkan kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang makna kebenaran dan keshahihannya tergantung pada yang tidak disebutkan itu. Contoh firman Allah dalam surat Yusuf: 82:
   •     
“Tanyailah kampung tempat kita berada dan kafilah kita bertemu dengannya.”

Menurut dzahir, ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang karena bagaimana mungkin bertanya kepada “kampung” yang tidak berakal. Karenanya dirasakan perlu memunculkan sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk”, sehingga menjadi “penduduk kampung” yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata orang-orang dalam “kafilah”, sehingga menjadi “orang-orang dalam kafilah”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban.
Dalam pandangan Ulama Hanafiyah, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibarat al-nash”, kemudian menyusul “isyarat” dan setelah itu baru “dilalat al-nash” dan yang terakhir adalah “iqtidha’”. Sebagaimana dijelaskan Abu Zahrah bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibarat dengan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyarat, maka ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibarat lebih didahulukan dari pada isyarat. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibarat nash atau isyarat dengan dilalat al-nash, maka lebih didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilalat al-nash. Bila terjadi pertentangan antara dilalat al-nash dengan iqtidha’, maka dilalat al-nash lebih didahulukan atas iqtidha’. Seperti contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah 178:
       
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu (melaksanakan) qishash dalam pembunuhan …”

Ayat ini dilihat dari segi ibarat nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian Firman Allah dalam Q.S. an-Nisa’ 93:
     •           
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya”.

Ayat ini dengan cara isyarat menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibarat nash mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibarat nash lebih diutamakan dari pada isyarat nash, dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.
2. Dilalah ghairu lafzhiyyah(دِلَالَةُ غَيْرُ لَفْظِيَّةُ)
Dilalah ghairu lafziyyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Menurut Ulama Hanafiyah ada empat macam, yaitu:
a. اَنْ يَلْزَم عَنْ مَذْكُوْرِ مَسْكُوْتِ عَنْهُ
Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.
Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz itu. Kelaziman itu dapat diketahui dari ungkapan lafaz tersebut.
Dalam firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 11:
     •                 
“Untuk dua orang Ibu Bapak masing-masing mendapat seperenam bila pewaris meninggalkan anak. Bila ia tidak meninggalkan anak sedangkan yang mewarisinya adalah ibu bapaknya, maka untuk ibunya adalah sepertiga.”

‘Ibarat nash dari ayat ini ialah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, namun dari ungkapan ayat ini kita dapat memahami bahwa hak ayah adalah sisa dari sepertiga yaitu dua pertiga.
b. دلَالَة حَالِ السَّاكِتِ الَّذِىْ كَانَتْ وَظِيْفَتُهُ البَيَان مُطْلَقًا
Dilalah (penunjukkan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.
Seseorang yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu, namun ia dalam keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. begitu pula seseorang yang diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja. Diamnya itu memberi petunjuk atas suatu hukum.
c. اِعْتِبَارُ سُكُوْتِ السَّاكِتِ دَلَالَةُ كَالنُّطْقِ لِدَفْعِ التَّغْرِيْرِ
Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.
Bedanya bentuk ketiga ini dari bentuk kedua: pada bentuk kedua, diamnya itu sudah cukup dijadikan petunjuk untuk memahami sesuatu. Namun pada bentuk yang ketiga ini diamnya belum berarti apa-apa, tetapi masih diperlukan ucapannya. Meskipun dalam hal ini hanya diam, tetapi diamnya itu sudah dapat dianggap berbicara.
d. دلَالَةُ السُّكُوْتِ عَلَى تَعْيِيْنِ مَعْدُوْدٍ تَعُوْدُ حَذْفُهُ ضَرُوْرَةَ طُوْلِ الكَلَامِ بِذِكْرِهِ
Dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.
Dalam bahasa Indoseia, umpanya dalam menyebutkan tahun 1945. kalau diucapkan dengan huruf atau ucapan yang sempurna, semestinya bebunyi: “seribu sembilan ratus empat puluh lima”. Tetapi jarang orang yang menyebutkan secara sempurna. Kebanyakan orang biasa mengatakan “sembilan belas empat lima”. Meski demikian, namun semua orang sudah mengetahui maksudnya.

E. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Arti dilalah atau dalalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu yang lain. Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam:
1. Dilalah lafzhiyyah
Yang diketahui melalui tiga hal:
a. Melalui hal yang besifat alami atau disebut juga “thabi’iyah”
Contoh: rintihan seseorang.
b. Melalui akal atau disebut juga “aqliyah”
Contoh: mendengar suara kendaraan.
c. Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu atau disebut “wadhi’iyyah”
Contoh: kata “binatang yang mengeong berarti kucing”
2. Dilalah Ghairu lafzhiyyah
Yang dapat diketahui melalui hal-hal sebagai berikut:
d. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja.
e. Melalui akal.
f. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu.
Demikian juga Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam yaitu:
1. Dilalah lafzhiyyah, menurut ulama Hanafi dibagi empat macam: 1) Dilalah ‘ibarah, 2) Dilalah isyarah, 3) Dilalah nash, dan 4) Dilalah al-iqtidha’.
2. Dilalah ghairu lafzhiyyah, menurut ulama Hanafi ada empat macam, yaitu:
a. Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.
b. Dilalah keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.
c. Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.
d. Dilalah sukut yang menyatakan ma’dud namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.

F. Penutup
Demikianlah makalah ini disusun, semoga dapat menambah khazanah pengetahuan kita secara umumnya, dan bagi penulis secara khususnya. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Anshori, Syaikh Zakariya, Ghayat Al-Wushul, Surabaya: Al-Hidayah.
Alyasa, Abu Bakar, Metode Istinbat Fiqih di Indonesia, Yogyakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1987.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, trj. Yayasan penyelenggara penterjemah al-qur’an, semarang: al-Waah, 1993.
Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, cet. VIII, 1984.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih Jilid 2, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Zahrah, M. Abu, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fiqr Al-Arabi.

No comments:

Post a Comment