Friday, June 10, 2011

SEWA-MENYEWA DAN UPAH

I. PENDAHUKUAN
Sewa menyewa tidak asing lagi bagi kita karena sudah biasa di dalam masyarakat, dan bahkan menjadi kebutuhan yang sulit terhindarkan seperti sewa-menyewa rumah kos antara pemilik kos dengan mahasiswa, bayangkan jika sewa menyewa tidak ada maka seorang mahasiswa harus membeli rumah untuk tempat tinggalnya agar lebih dekat dengan kampus dan tentu saja biaya membeli rumah akan mahalal, dengan adanya sewa menyewa orang yang menyewa dapat memenfaatkan barang tanpa harus mengeluarkan biaya yang sangat besar, maksudnya dengan menggunakan uang yang cukup kecil untuk membeli manfaat dari barang tersebut tanpa memiliki barang tersebut sepenuhnya karena tanpa mengurangi atau menghabiskan benda yang disewa, secara garis besar sewa menyewa adalah orang yang menyewa memiliki hak untuk menggunakan atau memenfaatkan barang yang disewa dengan memberikan imbalan atau upah karena memanfaatkan barang tersebut dan dalam jangka waktu yang disepakati barang tersebut akan kembali kepada pemiliknya.

II. POKOK PEMBAHASAN
a. Pengertian Sewa-menyewa
b. Rukun Akad Sewa
c. Syarat sahnya sewa Menyewa
d. Syarat barang yang disewakan
e. Pembagian dan hukum ijjaroh
f. Berakhirnya ijarah
g. Hikmah disyariatkan sewa menyewa

III. PEMBAHASAN

a. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam bahasa arab diistilahkan dengan AL-Ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu pengganti, oleh karena itu tsawab “pahala” disebut juga ajru “upah” . Menurut pengertian hukum islam sewa menyewa itu diartikan sebagai “suatu jenis akad untuk mengembil manfaat dengan jalan penggantian” (sayid sabiq, 13, 1988: 15)
Dari pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa-menyewa itu adalah pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkatan lain dengan terjadinya peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaatnya dari benda yang disewakan tersebuta, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja.
Pihak pemilik yang menyewakan manfaat disebut mu’ajir. Adapun pihak yang menyewa disebut musta’jir. Dan sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa yang diberikan imbalan atau manfaat disebut ajirroh atau ujirroh “upah”.
Sewa menyewa sabagaimana perjanjian lainnya adalah merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum yaitu pada saat sewa menyewa berlangsung dan apabila akad sudah berlangsung maka pihak yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang kepada pihak penyewa, dan dengan diserahkannya manfaat barang maka pihak penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan uang sewanya.
Adapun dasar hukum sewa menyewa ini dapat dilihat dalam ketentuan hukum pada surat al-baqarah ayat 233: ” Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Sedangkan landasan sunnahnya dapat dilihat pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim dari ibnu abbas bahwa nabi muhammad bersabda: “ berbekamlah kamu kemudian berikanlah oleh mu upah kepada tukang-tukang itu ”.


b. Rukun Akad Sewa
Rukun akad sewa dianggap sah setelah ijab qabul dilakukan dengan lafadz sewa atau lafadz lain yang menunjukan makna sama . Kedua pihak yang melakukan akad disayatratkan memiliki kemampuan yaitu berakal dan dapat membedakan baik dan buruk. Jika salah satu pihak adalah orang gila atau ank kecil akadnya dianggap tidak sah. Para penganut mahdzab syafi’i dan hambali menambahkan syarat lain yaitu baligh. Jadi menurut mereka akad anak kcil meski sudah tamyiz dinyatakan tidak sah jika belum baligh.

c. Syarat sahnya sewa Menyewa
Untuk sahnya sewa menyewa, pertama sekali harus dilihat terlebih dahulu orang yang melakukan perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu apakah kedua belah pihak telah memenuhi syarat untuk melakukan perjanjian pada umumnya . Unsur yang terpenting untuk diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum yaitu punya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Untuk sahnya akad harus dipenuhi syarat-syarat seperti dibawah ini:
1. Masing-masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa menyewa, maksudnya kalau didalam perjanjian sewa menyewa terdapat unsur pemaksaan maka sewa menyewa itu tidak sah. Ketentuan ini sesuai dengan bunyi an-Nissa’ ayat 29:
                    •    

Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.


2. Harus jelas dan terang mengenai objek yang diberjanjikan harus jelas dan terang mengenai objek sewa menyewa yaitu barang yang dipersewakan disaksikan sendiri, termasuk juga masa sewa dan besarnya uang sewa yang diperjanjikan.
3. Objek sewa menyewa dapat digunakan sesuai peruntukannya. Maksudnya kegunaan barang yang disewakan itu harus jelas, dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa sesuai dengan peruntukannya (kegunaan) barang tersebut, andainya barang itu tidak dapat digunakan sebagai mana diperjanjikan maka perjanjian sewa menyewa itu dapat dibatalkan.
4. Objek sewa menyewa dapat diserahkan: maksudnya barang yang diperjanjikan dalam sewa menyewa harus dapat diserahkan sesuai dengan yang diperjanjikan, dan oleh karena itu kendaraan yang akan ada (baru rencana untuk dibeli) dan kendaraan yang rusak tidak dapat dijadikan sebagai objek sewa menyewa, saebab barang yang demikian tidak dapat mendatangkan kegunaan bagi pihak penyewa.
5. kemanfaatan objek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan dalam agama: perjanjian sewa menyewa barang yang kemanfaatannya tidak dibolehkan oleh ketentuan hukum agama adalah tidak sah dan wajib untuk ditinggalkan.

d. Syarat barang yang disewakan:
Diantara syarat barang sewa adalah dapat dipegang atau dikuasai hal ini didasarkan pada hadist rasulullah yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual beli .
Di antara cara untuk mengetahui barang adalah dengan penjelasan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
a. Penjelasan manfaat, penjelasan dilakukan agar benda yang disewakan benar-benar jelas. Tidak sah mengetakan “saya sewakan salah satu dari rumah ini”.
b. Penjelasan waktu, jumhur ulama tidak memberikan batasan maksiamal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat asalnya masish tetap adanya sebab tidak ada dalil yang memebatasinya. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan menetapkan awal waktu akad, sedangkan ulama syafi’iyah mensyaratkan sebab jika tidak dibasi hal ini dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi.
c. Sewa bulanan, menurut ulama syafi’iyah, seseorang tidak boleh menyatakan “saya menyewa rumah ini setiap bulan Rp. 50.000,00” sebab pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap kali membayar. Akad yang betul adalah dengan menyatakan ”Saya sewa selama sebulan”. Sedangkan menurut jumhur ulama akad tersebut dianggap sah pada bulan pertama, sedangkan pada bulan sisanya bergantung pada pemakaiannya. Selain itu yang paling penting adalah adanya keridhaan dan kesesuaian dengan uang sewa.
d. Penjelasan jenis pekerjaan, penjelasan ini sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
e. Penjelasan waktu kerja, mengenai penjelasan ini sangat bergantung pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
Syarat ujrah (upah)
Para ulama telah menetapkan syarat-syarat upah:
1. berupa harta tetap yang dapat diketahui.
2. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijjaroh, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.

e. Pembagian dan hukum ijaroh
Ijaroh terbagi dua yaitu ijaroh terhadap benda atau sewa menyewa, dan ijjaroh atas pekerjaan atau upah mengupah .
1. Hukum sewa menyewa
Dibolehkan ijjaroh atas barang mubah, seperti rumah, kamar, kos-kosan dll, tetapi dilarang ijjaroh terhadap benda-benda yang diharamkan.
a. Ketetapan hukum akad dalam ijjaroh menurut ulama hanafiah keterangan akad ijjaroh adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah. Menurut malikiyah hukum ijjaroh sesuai dengan keberadaan manfaat. Ulama hanabillah dan syafi’iah berpendapat bahwa hukum ijjaroh tetap pada keadaannya dan hukum tersebut menjadi masa sewa seperti benda yang tampak.
Perbedaan pendapat diatas berlanjut pada hal-hal berikut:
1. Keberadaan upah dan hubungannya dengan akad
Menurut ulama syafi’iah dan hanabillah keberadaan upah tergantung pada adanya akad.
Menurut ulama hanafiah dsan malikiyah upah memiliki berdasarkan akad itu sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit tergantung pada kebutuhan akid.
2. Barang sewaan atau pekerjaan diberikan setelah akad.
Menurut ulama hanafiah dan malikiyah, ma’fud allaihi (barang sewaan) harus diberikan setelah akad.
3. Ijaroh berkaitan dengan masa yang akan datang.
Ijaroh untuk waktu yang akan datang dibolehkan menurut ulama hanafiyah,hanabilah, dan malikiyah, sedangkan syafi’iyah melarangnya selagi tidak bersambung dengan waktu akad.
2. Hukum upah mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian, membangun rumah dll. Ijaroh ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Ijarah khusus
Yaitu ijjarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.



b. Ijarah musytarik
Yaitu ijjarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melakukan kerja sama. Hukumnya diperbolehkan kerja sama dengan orang lain.

3. Hak menerima upah
Upah berhak diterima setelah memenuhi syarat-syatat sebagai berikut : Pertama, pekerjaan telah selesai. Dalam riwayat Ibnu Majjah Rosulullah bersabda: “Berikan upak kepada pekerja sebelum keringatnya mengering”. Kedua, mendapat manfaat jika ijarah dalam bentuk barang apabila ada kerusakan pada barang sebelum dimanfaatkan dan masih belum ada selang waktu, akad sewa tersebut batal. Ketiga, ada kemungkinan untuk mendapatkan manfaat. Jika jasa sewa berlaku, ada kemungkinan untuk mendapatkan manfaat pada masa itu sekalupun tidak terpenuhi secara keseluruhan. Keempat, mempercepat pembayaran sewa atau konpensasi. Atau sesuai kesepakatan kedua belah pihak sesuai dalam hal penangguhan pembayaran.

f. Berakhirnya ijarah
Adapun sesuatu yang menyebabkan berakhirnya ijarah (sewa menyewa) adalah sebagai berikut:
1. Menurut ulama Hanafiyah, ijarah habis dengan meninggalnya salah satu pelaku akad, baik yang menyewa atau yang menyewakan barang, sedangkam ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama ijarah tersebut tidak balal dan dapat diwariskan kepada ahli waris.
2. Pembatalan akad.
3. Terjadinya kerusakan pada barang yang disewa. Akan tetapi, menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti.
4. Habis waktu yang telah disepakati dalam ijarah.
g. Hikmah disyariatkan sewa menyewa
Syariat mengesahkan praktek sewa menyewa karena kehidupan sosial memang membutuhkannya. Masyarakat membutuhkan rumah untuk tempat tinggal, hewan utuk membantu pertanian dan lain sebagainya, yang pasti dengan adanya sewa menyewa membantu manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

IV. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa akad sewa menyewa memiliki syarat dan rukun, diantaranya adalah ada orang yang menyewakan, orang yang menyewa dan ada barang atau jasa yang disewakan, dalam itu semua diperlukan penjelasan-penjelasan baik mengenai barang dan jangka waktu yang disepakati oleh penyewa dan yang menyewakan kapan waktu berakirnya sewa-menyewa, karena sewa menyewa hanya menggunakan fungsi atau manfaat dari barang yang disewakan tanpa memiliki barang tersebut, jadi barang tetap milik orang yang menyewakann tetapi manfaatnya digunakan oleh orang yang menyewa dengan memberikan imbalan berupa upah dengan ketentuan waktu dan besarnya biaya sewa tergantung kesepakatan orang yang menyewakan dan orang yang menyewa barang maupun jasa.
Barang yang disewakan harus jelas, jika berupa barang harus jelas, ada manfaatnya dan dapat diserahkan kepada oarang yang menyewa. Jika berupa jasa juga harus jelas jenis pekerjaannya, jangka waktunya dan besaran biaya sewanya agar tidak terjadi perselisihan dikemudian hari.
Mengenai hikmah disyariatkannya sewa menyewa adalah membantu manusia untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar, sewa mwnyema juga memiliki fungsi saling melengkapi antara orang yang menyewa dengan orang yang menyewakan barang, orang yang menyewakan mendapatkan upah dan orang yang menyewa mendapatkan manfaat untuk memenuhi kebutuhannya.


V. PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu kritik yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfa’at bagi kita semua. Amin.



DAFTAR PUSTAKA

-Sabiq, Sayid. 2006. Fiqih Sunnah. Jakarta-pusat: Pena Pundi Aksara.
-Syafi’i, Rachmad. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA
-Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis. 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
-Imam Ghozali Said, Achmad Zainudin. 2007. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jakarta: PUSTAKA AMANI.
-Ahmad, Idris. 1969. Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i. Jakarta: WIDJAYA DJAKARTA.

No comments:

Post a Comment