Thursday, June 9, 2011

Hukum Jual Beli

I. PENDAHULUAN
Setiap muamalah pasti terjadi antara dua orang dengan kemungkinan-kemungkinan berupa pertukarab barang dengan barang, atau barang dengan sesuatu yang berda dalam tanggungan(utang), atau tanggungan dengan tanggungan.
Di dalam Al-Qur’an telah jelas memberitahukan kepada kita, bahwa Allah menghalalkan al-bai’a dan mengharamkan ar-ribaa. Dalam kehidupan sekarang ini, kita pasti akan berinteraksi dengan orang lain karena kita saling membutuhkan, Salah satunya adalah dalam hal jual beli. Allah swt telah mensyariatkan jula beli untuk memberikan kelapangan kepada hamba-hamba-Nya. Sebab, setiap orang dari suatu bangsa memiliki banyak kebutuhan berupa makan, minum, pakaiaan, dan lainnya yang tidak dapat diabaikan selama masih hidup. Kita tidak dapat memenuhi sendiri semua kebutuhan itu, sehingga perlu mengambilnya dari orang lain. Dan tidak ada cara yang lebih sempurna untuk mendapatkannya selain dengan pertukaran yang sekarang dikenal dengan jual beli.
Akan tetapi, saat sekarang ini banyak di antara kita yang mengabaikan ilmu tentang muamalah dan mengabaikannya. Mereka tidak peduli lagi antara mana yang halal dan mana yang haram, yang ada dalam pikiran nya adalah keuntungan yang di dapat. Hal semacam ini merupakan kesalahan besar yang harus dihindari oleh setiap orang yang menekuni perdagangan. Maka dalam makalah ini kami akan menjelaskan secara lebih terperinci tentang jual beli itu sendiri.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu jual beli?
2. Apa rukun dan syarat jual beli?
3. apa objek jual beli?
4. apa itu jual beli bathil dan fasid?
5. Apa macam-macam jual beli?

III. PEMBAHASAN
1. Pengertian jual beli
Secara bahasa, kata bai’a berarti pertukaran secara mutlak. Masing-masing dari kata bai’a dan syira’ digunakan untuk menunjuk sesuatu yang ditujukan oleh orang lain. Dan keduanya adalah kata-kata yang memiliki dua makna atau lebih dengan makna-makan yang saling bertentangan.
Jual beli dalam syaria’at maksudnya adalah pertukatan harta dengan harta dengan dilandasi saling rela, atau pemindahan kepemilikan dengan penukaran dalam bentuk yang diizinkan.
Fuqaha hanafiyah berpendapat, jual beli adalah “ menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu, atau mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagai al-bai, seperti melalui ijab dan saling menyerahkan” .
Dalil atas jual beli itu sendiri adalah:
والاصل فيه قبل الاجما ع ايات.كقوله تعالى (واحل الله البيع) واخبار كخبر:(سئل النبي صلى الله علىه وسلم اي الكسب اطيب؟فقال:عمل الرجل بيده.وكل بيع مبرور)اي لاغص فيه ولاخيانة
“Dalil asal mengenai masalah jual beli sebelum ada ijma’ ialah beberapa ayat, seperti firman-Nya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli” (Al-Baqarah:275). Dalil lainnya ialah beberapa hadis, antara lain yang menceritakan bahwa Nabi saw pernah di tanya, “pekerjaan apakah yang paling baik(halal)?” Nabi saw menjawab, “pekerjaan seorang lelaki yang dilakukan oleh tangannya sendiri, dan setiap transaksi jual beli yang mabrur,” tidak mengandung tipuan dan tidak pula pengkhianatan.”

2. Rukun dan syarat jual beli
a. Rukun jual beli
Jual beli dinyatakan sah apabila disertai dengan ijab dan Kabul.
Dalam ijab qabul tidak disyariatkan adanya kalimat tertentu yang harus digunakan, karena yang menentukan dalam akad adalah tujuan dari akad yang dilakukan, bukan kalimat yang diucapkan. Sesuatu yang penting dalam hal ini adalah kerelaan untuk melakukan pertukaran dan ungkapan yang menunjukkan pengambilan dan pemberian kepemilikan, seperti perkataan penjual “aku telah menjual,” “aku telah menyerahkan.” Dan perkataan pembeli, “aku tlah membeli,” “aku telah mengambil,” “aku telah menerima”.
Dalam ijab qabul juga terdapat syarat-syarat tertentu, syarat-syarat itu adalah:
1. Di antara penjual dan pembeli berada pada satu tempat yang tidak dipisahkan dengan sesuatu.
2. Di antara penjual dan pembeli terjadi kesepakatan bersama yang saling menerima baik dari sisi barang ataupun harganya. Apabila tidak ada kesepakatan di antara kesuanya, maka jual beli dinyatakan tidak sah.
3. Kalimat yang dipergunakan adalah bentuk kalimat masa lampau, seperti ucapan penjual, “aku sudah menjual, “ dan ucapan pembeli, “aku sudah menerima”.
b. Syarat jual beli
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi pada saat jual beli, sehingga jual beli yang dilakukan dinyatakan sah. Di antara syarat-syarat jual beli ada yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad dan ada yang berkaitan dengan barang yang dijadikan sebagai akad, yaitu harta yang ingin dipindahkan dari salah satu pihak kepada pihak lain.
1. Syarat-syarat orang yang melakukan akad
a) Berakal,
b) Mumayyiz,
akad yang dilakukan orang gila, orang mabuk, dan anak kecil yang belum mumayyiz dianggap tidak sah. Apabila seseorang terkadang sadar terkadang tidak, maka akad yang dilakukan ketika sadar dinyatakan sah dan akad yang dilakukan ketika tidak sadar dinyatakan tidak sah. Akad yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz dinyatakan sah, tetapi tergantung pada izin wali. Jika walinya member izin kepadanya untuk melakukan akad, maka akad nya dinyatakan sah oleh syariat.
2. Syarat-syarat barang yang diakadkan
1) Kesucian barang, barang yang ditransaksikan haruslah suci. Hal ini berdasarkan pada hadist jabir, bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw. Bersabda :”Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamar, bangkai, khinzir dan patung”.
2) Kemanfaatan barang, barang yang ditransaksikan harus memiliki manfaat, tidak boleh memperjual belikan sarang ular, atau tikus kesuali bisa diambil manfaatnya.
3) Kepemilikan orang yang berakad atas barang tersebut, barang yang ditransaksikan harus dimiliki oleh orang yang sedang melangsungkan akad atau mendapatkan izin dari yang memiliki barang. Apabila penjualan atau pembelian terjadi sebelum mendapatkan izin, maka hal ini termasuk akad fudhuli(orang yang melakukan aqad untuk orang lain tanpa izinnya).
4) Kemampuan untuk menyerahkan barang, barang yang ditransaksikan harus bisa diserahterimakan secara syar’I dan fisik. Barang yang tidak bisa diserahterimakan secara fisik tidak sah untuk diperjual belikan. Misalkan, ikan yang masih berada di dalam laut.
5) Pengetahuan tentang barang.
6) Telah diterimanya barang yang dijual, barang yang akan dijual harus sudah diterima oleh penjual apabila sebelumnya dia memperoleh barang tersebut dengan pertukaran.

3. Objek jual beli
Fuqaha hanafiyah membedakan objek jual beli menjadi dua:
1) mabi’, yakni barang yang di jual, dan
2) tsaman, atau harga.
Menurut mereka, mabi’ adalah sesuatu yang dapat dikenali(dapat dibedakan) melalui sejumlah kriteria tertentu. Sedangkan tsaman atau harga adalah sesuatu yang tidak dapat dikenali (dibedakan dari lainnya) melalui kriteria tertentu. Tsaman lazimnya berupa mata uang atau sesuatu yang dapat mengganti fungsinya, seperti gandum, minyak atau benda-benda lainnya yang ditakar atau ditimbang. Tsaman juga dapat berupa barang dengan kriteria tertentu yang ditangguhkan pembayarannya. Misalkan, jual beli setakar gula dengan harga Rp. 1000 atau dengan setakar kedelai secara tempo. Maka setakar gula adalah mabi’ sedangkan uang Rp. 1000 dan setakar kedelai sebagai tsaman.
4. Jual beli bathil dan fasid
Suatu akad jual beli secara syara’ sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukunnya. Dari sudut pandang ini jumhur fuqaha membagi hukum jual beli menjadi dua : 1) shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya. 2) ghairu shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya.
Fuqaha Hanafiyah membedakan akad jual beli menjadi tiga: 1)shahih, 2)bathil, 3)fasid. Yang mana mereka membagi kembali jual beli ghairu shahih menjadi dua, yakni bathil dan fasid.
Menurut Fuqaha Hanafiyah, jual beli yang bathil adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan tidak diperkenankan oleh syara’. Jual beli bathil ini sama sekali tidak menimbulkan akibat hukum peralihan hak milik dan tidak menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Sedangkan jual beli fasid menurut mereka adalah jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Contohnya, jual beli buah yang belim nampak, dan jual beli burung yang terbang di langit..
Sebagai mana Rasulullah saw pernah bersabda:
ان الله ورسوله حرما بيع الخمر والميتة والخنزير والاصنام.فقيل يا رسول الله ارايت شحوم الميتة فا نه يطلى به السفن ويستصبح بها:لعن الله اليهود حرمت الشحوم عليهم فباعوها واكول اثما نها

“sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang menjual khamar(arak), bangkai, babi, dan patung-patung.” Ditanyakan, wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang lemak-lemak bangkai, sesungguhnya ia digunakan untuk mencat kapal-kapal dan dijadikan lampu? Beliau menjawab, Allah mengutuk orang –orang Yahudi. Mereka dilarang memakan lemak, tetapi mereka menjual dan menikmati hasilnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
5. Macam-macam jual beli
Dari aspek objeknya, jual beli dibedakan menjadi 4 macam:
1) Bai’ al-muqhayadhoh, atau bai’ al-‘ain bil-‘ain, yakni jual beli barang dengan barang, yang lazim disebut jual beli barter, seperti menjual hewan dengan gandum.
2) Bai’ al-muthlaq, atau bai’ al-‘ain bil-dain, yakni jual beli barang dengan tsaman secara mutlak, seperti dirham, rupiah, dolar.
3) Bai’ as-sharf, atau bai’ al- dain bil-dain, yakni menjual belikan tsaman(alat pembayaran) dengan tsaman lainnya, seperti dinar, dolar, rupiah dan alat-alat pembayaran lainnya yang berlaku secara umum.
4) Bai’ al-salam, atau bai’ al-dain bil-‘ain, yakni jual beli barang secara tangguh dengan harga yang dibayarkan di muka, atau dengan bahasa lain jual beli di mana harga dibayarkan dimuka sedangkan barang dengankriteria tertentu akan diserahkan pada waktu tertentu.
Dari aspek tsaman(harga), jual beli dibedakan menjadi 4:
1) Bai’ al-murabahah, yakni jual beli mabi’ dengan harga pokok ditambah sejumlah keuntungan tertentu yang disepakati dalam akad.
2) Bai’ at-tauliyah, yakni jual beli mabi’ dengan harga asal tanpa ada penambahan harga atau pengurangan.
3) Bai’ al-wadhi’ah, yakni jual beli barang dengan harga asal dengan pengurangan sejumlah harga atau diskon.
4) Bai’ al-musawamah, yakni jua beli barang dengan tsaman yang disepakati kedua pihak, karena pihak penjual cenderung merahasiakan harga asalnya. Ini adalah jual beli paling popular yang berkembang di masyarakat sekarang ini.

IV. KESIMPULAN
Demikianlah penjelasan tentang jual beli secara terperinci menurut ajaran Islam, yang mana di zaman yang sekarang ini lebih banyak yang mencari keuntungan dengan cara yang tidak halal dengan alasan sulitnya mencari uang. Dari penjelasan di atas dapat kami simpulkan:
Jual beli dalam syaria’at maksudnya adalah pertukatan harta dengan harta dengan dilandasi saling rela, atau pemindahan kepemilikan dengan penukaran dalam bentuk yang diizinkan. Rukun jual beli adalah ijab Kabul. Syarat jual beli Syarat-syarat orang yang melakukan akad, dan Syarat-syarat barang yang diakadkan. Objek jual beli adalah mabi’ dan tsaman. Macam-macam jual beli:
Dari aspek objeknya, jual beli dibedakan menjadi 4 macam:Bai’ al-muqhayadhoh, Bai’ al-muthlaq, Bai’ as-sharf, Bai’ al-salam,
Dari aspek tsaman(harga), jual beli dibedakan menjadi 4:Bai’ al-murabahah, Bai’ at-tauliyah, Bai’ al-wadhi’ah,Bai’ al-musawamah.
Jual beli yang bathil adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan tidak diperkenankan oleh syara’. Sedangkan jual beli fasid menurut mereka adalah jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya.

V. PENUTUP
Demikianlah makala ini kami susun, semoga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita secara umumnya, dan khususnya bagi penulis. Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, maka kritik dam saran yang membangun sangatlah kami harapkan.













DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 5, Jakarta; Cakrawala Pulishing, 2009
Ash-shiddiqeqy, Muhammad Hasbi, Tengku, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang; PT. Pustaka Rizki Putra, 2001
Al-Fanani, Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fat-hul Mun’in, Bandung; Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung, 1994
A. Mas’adi, Ghufron, Drs, M.Ag, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid 2, Jakarta, Pustaka Amani, 2007

No comments:

Post a Comment