Thursday, June 9, 2011

AMR DALAM KAIDAH USHULIYAH LUGHOWIYAH

Kang Daus
I. PENDAHULUAN
Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan takhyir(pilihan). dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
dalam makalah ini, yang akan dibahas adalah masalah metode istinbath bila dilihat dari segi kebahasaan yang berbetuk amr(perintah).

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Amr
Amr menurut bahasa artinya suruhan, perintah dan perbuatan. Sedangkan menurut istilah yaitu tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan.
Makna yang cepat ditangkap dari lafal amr(perintah) adalah ijab artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan daripada tidak mengerjakan.
Amr adalah:
لفظ يراد به ان يفعل المامر ما يقصد من الامر
Lafal yang dikehendaki dengannya supaya orang mengerjakan apa yang dimaksud
atau

هو طلب الفعل من الأعلى الى الادنى
suatu permintaan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Jika Allah memerintahkan hamba-hambanya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan, artinya menunjukkan kepada kewajiban mematuhi perintah-Nya, kalau ia sudah mukallaf mendapat pahala jika ia mengerjakan dan mendapat siksa jika ia meninggalkan. Jumhur ulama berkata:
الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل على غيره الا تدل على غيره الا بقرينة
pada dasarnya amr itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada yang selain wajib kecuali dengan qarinah.
seperti:
    ... 
"...dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat..."(Qs. An-Nisa’:77)
kalimat ini menunjukkan kepada wajib mengerjakan sholat dan mengeluarkan zakat, tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada ketidak wajiban shalat dan zakat.
Sedangkan menurut mayoritas ulama’ Ushul Fiqh, amr adalah:
الفظ الدال على طلب الفعل على جهة الاستعلاء
Suatu tuntutan(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.

B. Bentuk Amr
Adapun bentuk kata yang digunakan untuk meminta sesuatu perbuatan agar dikerjakan, ada kalanya dengan:
a. Bentuk fi’il amr, seperti firman Allah :Qs. An-Nisa’:4 :
   ... 
“berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan...”
b. Bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja untuksekarang dan yang akan datang) yang disertai oleh lam al-amr (huruf yang berarti perintah), seperti firman Allah : Qs. Ali-Imran :104 :
  •         ... 
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar”
c. Bentuk isim fi’il amr, seperti firman Allah : Qs. Al-Maidah : 150 :
...عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“...Jagalah dirimu, tiadalah orang yant sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk...”
d. Bentuk masdar pengganti fi’il, seperti firman Allah : Qs. Al-Baqarah :83 :
  
“dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapakmu...”
e. Bentuk jumlah khabariyah-kalimat berita yang mengandung arti insyaiyah, perintah atau permintaan. contoh firman Allah SWT, Qs. Al-Baqarah : 228:
     
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'...”
Kata-kata yang mengandung makna suruhan atau perintah, wajib, fardlu, seperti :
a) Kata amrun pada firman Allah SWT, Qs. An-Nisa’ :58 :
 •        
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...”
b) Kata fardlun pada firman Allah SWT, Qs. Al-Ahzab: 50 :
       
“...Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka...”
c) Kata kataba pada firman Allah, Qs. Al-Baqarah :183:
      
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”
d) Memberitahukan tentang adanya kewajiban dengan memakai kata ‘ala, contoh firman Allah, Qs. Ali-Imran :97:
   ••        
“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah”
e) Jawab syarat seperti firman Allah, QS. Al-Baqarah : 196 :
      
“jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat..”

C. Kaedah-Kaedah Yang Berhubungan Dengan Amr
Bentuk perintah menurut bahasa tidak menunjukkan lebih dari tuntutan mewujudkan sesuatu yang diperintahkan, tidak menunjukkan tuntutan mengulangi perbuatan yang diperintahkan, juga tidak menunjukkan kewajiban berbuat dengan seketika. Ada beberapa kaidah istinbath yang berhubungan dengan amr, yakni :
a. Amr menunjukkan kepada wajib
“Al-ashlu fil amri lilwujubi” yang artinya “yang asal pada perintah untuk wajib”
Meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan. Seperti firman Allah :
   
“Dirikanlah sembahayang dan tunaikanlah shalat...”
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan shalat lima waktu dan menunaikan zakat.

b. Amr menunjukkan pada sunnah
“Al-ashlu fil amri lin nadbi” yang berarti “yang asal pada perintah untuk sunnah”. Seperti sabda Rasulullah SAW : “jika tidaklah memberatkan terhadap umatku, sungguh aku perintahkan kepada mereka menggosok gigi setiap akan melaksanakan shalat” (H.R Bukhari).
Amr disini menunjukkan kepada sunnah, karena ada musyaqat(kesulitan). Dan dapat disimpulkan, suatu perintah yang tidak ada qarinahnya menuju pada wajib.
c. Amr tidak menunjukkan untuk berulang-ulang
Adalah suatu perintah haruslah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja. Menurut jumhur ulama’ Ushul Fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kesuali ada dalil untuk itu. karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meskipun hanya dilakukan satu kali. Contohnya, ayat 196 surat Al-Baqarah :
     
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah...”
Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah terpenuhi dengan melakukan satu kali haji selama hidup. Adanya kemestian pengulangan, bukan ditunjukkan oleh perintah itu sendiri tetapi oleh dalil lain.
d. Amr tidak menunjukkan untuk bersegera
Adalah suatu perintah haruslah dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan. Dalam kewajiban yang dibatasi dengan waktu, dapat diambil pengertian “segera” dari batasan waktu untuk kewajiban yang habis dengan habisnya waktu itu, seperti firman Allah Al-Baqarah: 148:
   
“...Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan...”

e. Amr dan perantara (wasilah) nya
Kadang-kadang ada perintah yang tak dapat terwujud tanpa adanya perbuatan-perbuatan lain yang mendahuluinya atau alat-alat tertentu untuk dapat melaksanakan perintah-perintah tersebut.
Perbuatan-perbuatan lain ataupun alat-alat tertentu disebut wasilah (perantara). Karena itu kaedah yang berbunyi:
“Al-amru bisyai amrun biwasailihi” (memerintahkan sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh wasilahnya).
Wasilah-wasilah itu bisa berupa :
1. Syarat, seperti bersuci atau berwudlu untuk syahnya shalat
2. Adat kebiasaan, seperti memakai payung bila ingin menghindari panas matahari atau basah karena hujan.
Wasilah-wasilah ini wajib dikerjakan apabila manusia mampu mengerjakannya seperti bersuci untuk syahnya shalat. Kalau wasilah itu di luar kemampuan kekuasaan manusia maka kewajiban itu menjadi hapus seperti hapusnya wajib berdiri tegak untuk shalat bagi seseorang tidak berdiri tegak karena kakinya cacat. Disini kesungguhan berbuat demikian di luar kehendak dan kekuasaan manusia.
f. Amr sesudah larangan
Ada perbedaan pendapat ulama’ tentang dalalah amr sesudah nahi (larangan). Ada yang mengatakan bahwa amr itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat. Namun demikian yang masyhur dikalangan ulama; Ushul ialah amr sesudah nahi adalah ibadah. Seperti firman Allah SWT :
          
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah...” (Qs. Al-Jumu’ah:10)
               
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli...”(Qs. Al-Jumu’ah:9)
Pada ayat pertama ada perintah atau suruhan untuk bertebaran di muka bumi padahal sebelumnya ada larangan berjual beli yang juga mencakup pekerjaan-pekerjaan lain. Dengan demikian, perintah pertama boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan (mubah). Dan jumhur ulama’ mengatakan bahwa ibadah.

III. KESIMPULAN
Amr menurut bahasa artinya suruhan, perintah dan perbuatan. Sedangkan menurut istilah yaitu tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan. Makna yang cepat ditangkap dari lafal amr(perintah) adalah ijab artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan daripada tidak mengerjakan.
Adapun bentuk kata yang digunakan untuk meminta sesuatu perbuatan agar dikerjakan, ada kalanya dengan:
1. Bentuk fi’il amr,
2. Bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja untuksekarang dan yang akan datang) yang disertai oleh lam al-amr (huruf yang berarti perintah),
3. Bentuk isim fi’il amr,
4. Bentuk masdar pengganti fi’il,
5. Bentuk jumlah khabariyah-kalimat berita yang mengandung arti insyaiyah, perintah atau permintaan.
Ada beberapa kaidah istinbath yang berhubungan dengan amr, yakni :
a. Amr menunjukkan kepada wajib
b. Amr menunjukkan pada sunnah
c. Amr tidak menunjukkan untuk berulang-ulang
d. Amr tidak menunjukkan untuk bersegera
e. Amr dan perantara (wasilah) nya
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah ini saya buat, semoga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita secara umumnya dan khususnya bagi penulis. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, maka saran dan kritik yang membangun sangatlah kami harapkan. dan terakhir saya ucapkan terima kasih.









DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria, Prof, Dr, H, M.ZEIN, M.A, Ushul Fiqh, 2008, Kencana, Jakarta
Khallaf, Abdul Wahhab, Prof, Dr, Ilmu Ushul Fiqh, 2003, Pustaka Amani, Jakarta
Syarifuddin, Amir, Prof, Dr, H, Ushul Fiqh, 2009, Kencana, Jakarta

No comments:

Post a Comment