Wednesday, June 8, 2011

Gender di Mata Islam


I. PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan makhluk-Nya dengan berpasang-pasangan. Begitu juga dengan manusia. Manusia diciptakan Tuhan atas laki-laki dan perempuan. Penciptaan atas jenis kelamin ini menjadi rahasia Tuhan, dan perlu ditegaskan bahwa jenis kelamin inilah yang secara prinsip benar dalam kemakhlukan, bukan jenis-jenis lain seperti waria atau banci seperti dikenal belakangan. Manusia secara jasmani diciptakan dengan alat dan jenis kelamin yang berbeda. Kenyataan ini sudah seharusnya menumbuhkan konsekuensi ruhani yakni kepribadian yang berbeda pula. Kelaki-lakian dan keperempuan bukan sekedar perbedaan jasmani saja, melainkan perbedaan mental spiritual, perbedaan kadar otonomi dan tentu saja perbedaan tanggung jawabnya. Dengan demikian perlu diperhitungkan pula mengenai bagaimana laki-laki dan perempuan memberikan tanggapan terhadap alam dan dunianya atau menghayati hubungannya dengan Tuhan. Laki-laki dan perempuan bukan sesuatu yang berlawanan satu sama lain, melainkan mereka berpasangan dalam rangka menunjang tugas kemanusiaan itu sendiri. Pernyataan-pernyataan mengenai hal tersebut di atas akan berkaitan erat dengan apa yang disebut kemudian dengan kebebasan, karena bagaimanapun juga manusia menuntut kebebasan dalam hidup dan kehidupannya, yang sesuai dengan konteks mana kebebasan itu dapat digunakan dengan sebagaimana mestinya.
II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan wanita dalam Islam
Yusuf Qardhawi sendiri menyatakan bahwa tidak ada satupun agama langit atau bumi yang memuliakan perempuan seperti Islam memuliakan, memberikan hak, menyayangi dan memeliharanya, baik sebagai anak perempuan, perempuan dewasa, ibu, dan anggota masyarakat. Islam memuliakan perempuan sebagai manusia yang diberi tugas dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya.
Allah swt berulangkali menyebutkan prinsip kesetaraan dalam Islam, di antaranya pada surat:
 Ali Imran ayat 195: “Allah tidak menyia-nyiakan amal laki-laki dan perempuan” dan ayat 124: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun”
 An Nahl ayat 97: “Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
 Al Ahzab ayat 35: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berkuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah akan menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”
Namun sangat disayangkan bahwa masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum perempuan dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara’. Padahal, syariat Islam sendiri telah menempatkan perempuan pada proporsi yang sangat jelas, yaitu sebagai manusia, sebagai perempuan, anak perempuan, istri atau ibu. Hal yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan perempuan tersebut sering disampaikan dengan mengatasnamakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu Islam hadir di dunia untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Jika ada norma yang dijadikan pegangan oleh masyarakat, tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, norma itu harus ditolak. Demikian pula bila terjadi berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Praktik ketidakadilan dengan menggunakan dalil agama adalah alasan yang dicari-cari. Sebab, menurut Al Quran, hubungan antar manusia di dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, persaudaraan dan kemaslahatan.
B. Peran Perempuan Dalam Hubungan Antar Gender
Sejarah Perempuan Permasalahan perempuan sesungguhnya menjadi problematika yang paling penting dewasa ini, apalagi menghadapi tantangan jaman yang membawa dampak pada merosotnya moralitas manusia khususnya perempuan. Di sisi yang lain permasalahan ini menjadi perlu untuk dicari solusinya seiring dengan banyaknya pandangan-pandangan mengenai perempuan dan perannya dalam masyarakat, terutama sudah banyak kacamata yang mengamati dan dirasa menjadi berat sebelah ketika yang didapatkan pandangan-pandangan mengenai perempuan dari kacamata laki-laki. Sejarah telah membawa berita pada manusia mengenai masa-masa lampau, secara ekstrim bahwa perempuan tidak berharga sama sekali dalam masyarakat. Berbagai bangsa telah beranggapan bahwa perempuan merupakan sumber penyakit dan fitnah. Perempuan adalah sesuatu yang paling hina. Perempuan adalah makhluk sekunder. Ada penilaian sosial yang keliru bahwa pria lebih baik dari perempuan. Dengan pandangan seperti itu maka dapat dimaklumi bila eksistensi perempuan menjadi tidak diperhitungkan. Bangsa-bangsa lalu menjadi kasar memperlakukan perempuan dengan perbudakan, memaksa mereka bekerja tanpa pertimbangan kodrat dan manusiawi, dan menurunkan harkat dan martabat kemanusiaan perempuan. Dalam pandangan orang Romawi, perempuan adalah wujud yang tidak berjiwa. Mereka tidak akan mengalami kehidupan di akhirat, sebagai kotoran dan tidak mempunyai hak untuk berbicara sehingga mereka harus mengunci rapat mulutnya. Perempuan hanya mempunyai tugas terbatas dalam rumah tangga sehingga harus mengurung diri di dalam rumah. Keadaan yang demikian terus berkelanjutan sampai datangnya Islam yang mengangkat derajat perempuan dengan memberikan hak-haknya, memberi kesempatan menikmati kehidupan dan kebahagiaan, kemanusiaan dan kehormatannya Islam ingin menghapus bentuk-bentuk kekerasan, perbudakan, kezaliman,dan sebagainya. Islam hendak merombak konsep-konsep yang meniadakan eksistensi perempuan pada jaman Jahiliyah.
Dalam perjalanan dunia yang penuh dengan konflik-konflik, kekerasan, kezaliman, dan segala macam peristiwa-peristiwa tragis telah menimpa masyarakat dewasa ini, terutama sangat dirasakan oleh kaum perempuan. Saling melemparkan tanggung jawab, saling melegitimasi wilayah “kekuasaan” masing-masing, menihilkan harkat dan martabat serta kodrat masing-masing sebagai perempuan atau laki-laki, atau bahkan dengan dalih ‘kelemahan perempuan” maka segala bentuk aktivitas kehidupan perempuan harus tunduk pada aturan-aturan tertentu yang dilegitimasi sebagai “prioritas” bagi kaum perempuan. Demikianlah perempuan sebagai anak jaman selalu mengalami lika-liku kehidupan di tengah-tengah kehidupan bersama dengan laki-laki. Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat dan Pembangunan Telah diadakan konferensi perempuan sedunia yang pada umumnya bertujuan untuk mengusahakan perbaikan nasib kaum perempuan seluruh dunia. Tujuan ini diawali oleh munculnya fenomena-fenomena menurunnya kesejahteraan perempuan yang tampak pada antara lain:
• peningkatan pendidikan perempuan yang tidak diimbangi dengan tingkat pekerjaan yang sesuai
• krisis politik dan ekonomi membawa dampak pada berkurangnya pelayanan jasa masyarakat dan ini lebih berpengaruh buruk pada perempuan.
Kenyataan ini pada dasarnya sangat tidak sesuai dengan pernyataan yang dicanangkan PBB mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Diskriminasi terhadap perempuan adalah bentuk pelakuan yang tidak sesuai dengan martabat manusia dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat, mencegah partisipasi perempuan dalam pembangunan, dan merupakan hambatan bagi berkembangnya potensi perempuan dalam pengabdiannya sebagai manusia terhadap keluarga, bangsa, dan negara. Perbedaan, pengecualian maupun pembatasan atas dasar jenis kelamin merupakan pelanggaran hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan asasi manusia dalam segala bidang. Bentuk-bentuk pranata sosial dan kebudayaan yang munculnya dari ide inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin adalah keliru dan harus dihapus. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan, mengubah dan mempertahankan nasionalitas . Kesadaran mengenai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat dan peran serta tanggung jawab sebagai perempuan sudah mulai tampak. Hal ini seperti di Indonesia diawali oleh R.A. Kartini yang dikenal sebagai seorang pengemban peradaban masyarakat. Tuntutan emansipasi bagi perempuan bukanlah hasrat untuk menggantikan posisi kaum laki-laki, tetapi membangun tatanan setara. Seperti tercantum dalam UUD 1945, kedudukan perempuan dan laki-laki sama dalam hukum. Masalahnnya sekarang adalah sulitnya merealisasi pernyataan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Perempuan-perempuan didesa kurang menyadari hak-haknya sebagai perempuan untuk hidup bersama dengan laki-laki. Justru muncul anggapan bahwa tempat perempuan adalah di rumah, harus diterima sebagai nasib. Untuk itu mereka tidak memahami jalan untuk menunjukkan eksistensi dan potensinya dalam masyarakat. Kadangkala mereka hanya puas dengan menerima aturan-aturan dalam adat dan tradisi. Secara hakiki kaum perempuan dengan kepribadian yang khas mempunyai peranan yang sama penting dengan laki-laki. Dengan begitu dalam rangka pembangunan nasional pun perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama untuk mengaktualisasikan diri. Hal yang membedakan mereka adalah bentuk kodrati yang membawa pada konsekuensi yang berbeda, misalnya perempuan mempunyai kekuatan fisik yang lebih lemah dari pada pria, maka perempuan tidak diberi beban tugas fisik yang lebih berat daripada laki-laki. Menjadi jelas bahwa perempuan dan laki-laki berbeda tetapi saling membutuhkan, sehingga mereka harus saling tolong-menolong, saling mengisi kekurangan masing-masing (saling melengkapi) karena masing-masing dari mereka mempunyai hakikatnya. Dengan demikian tidak perlu diperdebatkan secara mendasar antara perempuan dan laki-laki, karena masing-masing mempunyai kesempatan yang sama dalam mengisi pembangunan dalam bidang apapun, sepanjang tidak menyimpang dari kodrat masing-masing.
Menemukan jati diri sebagai kaum perempuan bukan harus diwujudkan dalam keberhasilannya dalam jabatan-jabatan tertentu yang menunjukkan persamaan derajat dengan laki-laki, namun lebih melihat pada aspek otonomi dirinya dalam melaksanakan tugas kemanusiaan dan keperempuannnya sesuai dengan hati nurani yang tulus. Perempuan tidak harus tampil di depan mempimpin kaum laki-laki. Perempuan tidak menyadari bahwa “keberhasilannya” itu justru implisit ia dilecehkan kaum laki-laki. semua itu pada hakikatnya lebih berkaitan dengan otonomi perempuan dalam pengambilan keputusan tindakannya, karena selama ini nyaris perempuan dengan predikat “sukses” tidak membedakan realitas kodrati. Dengan keadaan yang demikian ini, maka baik perempuan maupun laki-laki sama-sama dapat menentukan masa depan bangsa, dan sama-sama menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat.
Perempuan dan Kebebasan Manusia secara jasmani diciptakan atas perempuan dan laki-laki. Dengan perbedaan alat dan jenis kelamin ini seharusnya membawa konsekuensi ruhani mengenai kodrat dan kepribadian yang berbeda. Perempuan memiliki kepribadian yang khas, memiliki kelembutan, menjalani menstruasi setiap bulan, hamil, dan melahirkan serta menyusui anak. Laki-laki mempunyai kodrat dan kepribadian sendiri yang berbeda dengan perempuan, ia kekar, gagah, mempunyai otot yang lebih kuat, mempunyai bentuk tubuh yang lebih besar, dan sebagainya. Kelaki-lakian dan keperempuanan ini tidak hanya merupakan perbedaan secara jasmani, tetapi juga mental spiritual, perbedaan kadar otonomi dan tanggung jawabnya. Konsekuensi ini sudah semestinya tidak digugat sebagai pertentangan atau perlawanan antara perempuan dan laki-laki, karena masing-masing memiliki konsekuensi atas kodratnya. Justru kekurangan masing-masing individu inilah yang memicu untuk menjadi satu dan menjalin pasangan yang serasi antara perempuan dan laki-laki, bukan persaingan meraih persamaan antara perempuan dan laki-laki. Justru perempuan dan laki-laki dengan kekhasannya itu menumbuhkan karakteristik tugas pada masing-masing jenis kelamin, yang secara permanen tidak perlu diubah-ubah lagi. Kodrat perempuan untuk hamil secara otomatis membawa konsekuensi bahwa perempuan lebih pantas mengasuh anak dari pada laki-laki, sedangkan pria tidak perlu merasa iri dengan kenyataan itu. Laki-laki lebih mempunyai tugas di luar rumah untuk mencari nafkah. Kenyataan ini pun perempuan tidak perlu merasa tersaingi karena merasa laki-laki lebih “bebas” di luar. Aturan-aturan dalam agama yang menyatakan laki-laki sebagai pemimpin perempuan dalam rumah tangga merupakan prinsip dasar realitas yang sifatnya umum. Namun bila dilihat dalam realitas kehidupan individual tidak sedikit perempuan yang melebihi laki-laki dalam bidang ilmu, amal, bahkan dalam mencari nafkah. Tuntutan kebebasan pada wanita pada hakikatnya muncul akibat adanya perlakuan ketidakadilan. Ketidakadilan ini dirasakan perempuan terutama dalam Jurnal Filsafat, yang menyatakan :
1) Perbedaan sistem imbalan antara laki-laki dan perempuan walaupun beban kerja yang dikenahi sama. Laki-laki mendapat upah lebih besar daripada perempuan.
2) Terjadinya sub-ordinasi pada perempuan. Perempuan tidak mempunyai hak mempimpin, mendapatkan pendidikan yang tinggi, persaksian; yang semua itu dilakukan dengan dalih agama.
3) Terjadinya stereotype terhadap jenis kelamin tertentu yang menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah, maka semua yang dilakukan perempuan dianggap sekedar “tambahan” sehingga boleh saja dibayar rendah.
4) Munculnya kekerasan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun bentuk-bentuk pelecehan. Ini dilakukan karena laki-laki dianggap lebih kuat daripada perempuan, sehingga korban selalu tertimpa kepada perempuan.
5) Keyakinan bahwa peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja lebih banyak dan lama.
Fenomena ketidakadilan ini sangat kerkaitan dengan masalah otonomi, yakni kemandirian manusia dalam mengambil keputusan tindakannya. Ketidakadilan muncul pada dasarnya karena ada pihak yang merasa diperlakukan tidak semestinya. Dalam hal ini perempuan ingin diberi keluasan dan kesempatan otonomi sebagai manusia dalam menentukan keputusan tindakannya, tanpa tekanan dan keterpaksaan. Kesempatan ini mestinya digunakan sepenuhnya dalam upaya mengisi pembangunan. Kadar otonomi perempuan sebagai manusia bukan terletak pada keharusan perempuan untuk tampil di depan atau cukup di belakang saja menjaga rumah. Karena ada bahaya yang dikhawatirkan bahwa perempuan tidak menyadari bahwa kaumnya telah diperlakukan tidak adil oleh laki-laki, kekhawatiran justru tertuju pada perempuan yang lebih tertarik pada iming-iming materi tanpa mempertimbangkan kodratnya, dan keputusan ini justru yang merupakan kebanggaan bagi kaum perempuan. Di sisi lain banyak perempuan yang dengan terpaksa bekerja sebagai buruh rendahan ataupun sebagai tenaga kerja di luar negeri yang sering menjadi ‘santapan” laki-laki. Tampak dari luar mereka adalah perempuan-perempuan yang tegar, perempuan yang sukses dalam karier. Tidak dilihat mengapa mereka melakukan itu dan faktor apa yang mendasari tindakannya itu. Justru faktor-faktor di belakang tindakannya yang tidak diketahui itulah yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani dan otonominya sebagai manusia. Tindakannya lebih dilakukan karena faktor keterpaksaan dan keterdesakan saja. Sementara kodrat yang menyangkut harkat dan martabatnya sebagai perempuan tidak disadari sama sekali atau bahkan dilalaikan. Lain permasalahannya jika orang melihat suatu keluarga yang demikian. Seorang ibu rumah tangga dengan ketulusan hatinya menunaikan tugasnya di rumah, menjaga dan mendidik anak-anak dengan baik sehingga mereka berhasil dalam hidupnya, menjaga nama baik suami dan keluarganya, menjaga martabatnya sebagai perempuan dan istri serta ibu bagi anak-anaknya, sementara suami dengan penuh tanggung jawab mencari nafkah di luar rumah, bertanggung jawab dari segi ekonomi dan sosial. Peran Perempuan luas, tetapi pengabdiannya terukir dalam di dasar sanubari suami dan anak-anaknya. Semua yang dilakukannya tidak didasari oleh suatu tekanan dari luar, tidak ada keinginan bersaing secara lahiriah dengan laki-laki, dan perlakuannya semata-mata didasari oleh keinginan mengaktualisasikan potensinya sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ia bukan sebagai perempuan karier, tetapi memiliki otonomi sebagai manusia. Melihat dua fenomena yang saling bertentangan sebenarnya dapat dilihat bahwa kemungkinan mengaktualisasikan diri bagi perempuan sangat benyak dan luas tanpa harus menghilangkan kodrat untuk dalih persamaan hak-dan kewajiban dengan kaum laki-laki, kesejajaran dalam segala bidang, dan sebagainya, namun lebih ditekankan pada bagaimana perempuan menggunakan otonominya sebagai manusia dalam menentukan keputusan tindakannya dengan tidak ada tekanan atau ambisi apapun apalagi bila tindakan dilakukan semata-mata karena “dendam” pada laki-laki karena sekian lama telah menindas kaum perempuan. Otonomi dalam penentuan keputusan tindakan akan lebih disentuh dengan hati nurani dengan pertimbangan baik-buruk dan benar-salah.
III. KESIMPULAN
Perempuan dan laki-laki sesungguhnya mempunyai kesempatan yang sama dalam pembangunan, sedangkan bagaimana menggunakan kesempatan itu tergantung pada masing-masing individu dalam mengambil keputusan tindakannya, sesuai atau tidaknya dengan hati nurani dengan parameter baik-buruk dan benar-salah dengan tidak mengesampingkan faktor kebebasan.
Perempuan lebih mengutamakan pencapaian persamaan derajat dengan laki-laki secara keliru sehingga ada kecenderungan mengabaikan kodratnya sendiri sebagai perempuan. Bagaimanapun perempuan dan laki-laki berbeda dalam hal-hal tertentu yang menyangkut realitas kodrati sehingga kenyataan ini tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dalam kehidupan bermasyarakat, perempuan dalam kedudukannya sebagai makhluk individu belum sepenuhnya menjalani perannya berdasarkan otonominya sebagai manusia. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya keputusan-keputusan tindakan mereka dalam wujud tindakan riil yang masih diwarnai oleh tekanan-tekanan, keterpaksaan, ataupun ambisi bersaing dengan lawan jenis sehingga hal ini membawa akibat kurangnya aktualisasi potensi diri sepenuhnya.


V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini saya buat, semoga membawa manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, maka kritik dan saran yang membangun sangatlah penulis harapkan.
















DAFTAR PUSTAKA
Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan, penerjemah Yessi HM. Basyaruddin LC. Penerbit Amzah,2005
Solusi Problematika Aktual Hukum Islam keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999) penerbit: LTN NU Jawa Timur
Diterbitkan PSJ Iain Walisongo, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, Penerbit Gama Media Yogyakarta,2002

Ash-Shiddieqy Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 9, Pt.Pustaka Rizki Putra, Semarang
Ilyas, Hamim dkk, Perempuan Tertindas?, 2003, PSW IAIN Sunan KalijagaYogyakarta, Yogyakarta
Google ( 86 peran perempuan dalam hubungan antara gender tinjauan Filsafat )

No comments:

Post a Comment