Thursday, June 9, 2011

PENYESUAIAN FIQIH ISLAM DALAM MASYARAKAT MODEREN

I. PENDAHULUAN
Islam memiliki sejarah yang beraneka ragam, dari masa keemasannya lalu keruntuhannya hingga masa kebangkitan kembaliny islam, begitu pula denga hukum-hukum fiqihnya, ada saat kecemerlangannya dan ada pula saat kemundurannya.
Sebagai ummat Muslim, yang mana makin lama kita akan selalu mengikuti perkembangan zaman yang begitu pesatnya. Maka sudah tentu hukum-hukum islam perlu juga ada penyesuaian dengan zaman sekarang ini, karena permasalahan-permasalahan yang terjadi pada masa sekarang ini sangat berbeda dengan permasalahan yang terjadi di masa lalu ketika munculnya hukum itu.
Maka ijtihad sangat berperan penting dalam hal ini. Melihat dari perkembangan zaman maka ijtihad menjadi hal yang penting dan diperlukan bagi kaum Muslim, sebagai usaha untuk menghadapi dan memberi solusi atas permasalahan-permasalahn baru yang timbul, baik itu mencakup hukum, polotik, ekonomi, teologi dan sebagainya. Karena sesungguhnya ijtihad dalam islam muncul karena interaksi antara ajaran islam di satu sisi dengan tuntunan realitas kesejahteraan kaum Muslimin di sisi lain.
Karena begitu pentingnya ijtihad, maka jika pintu untuk berijtihad itu ditutup maka suatu kau akan mengalami kemunduran atau keruntuhan dalam bidang hukumnya, karena tidak sesuainya antara hukum yang ada dengan realita yang terjadi dalam masyarakat. Maka dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang penyesuaian antara fiqh islam dengan kebutuhan masyarakat yang moderen pada zaman sekarang ini.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Peranan Ijtihad
2. Faktor-faktor kemunduran kaum Muslim Moderen
3. Sumber-sumber hukum dan pembentukan hukum moderen
III. PEMBAHASAN
1.Peranan Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata jahada, yang berarti pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan. Secara umumnya ijtihad yaitu upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami dan menafsirkan sumber-sumber dan dalil-dalil.
Yang mana dapat dikemukakan bahwa fiqih islam didasarkan atas berbagai sumber atau hukum, diantaranya dari sumber-sumber agama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, sebagian lagi dari sumber sekunder yang disepakati oleh sebagian besar para ahli fiqih, yaitu ijma’ dan qiyas. Disamping itu ada juga sumber-sumber lain yang dipakai oleh beberapa mazhab tetapi didasarkan atas keperluan yang tidak dapat ditinggalkan, adapt kebiasaan dan keadilan, seperti istihsan dalam mazhab Hanafi, Maslahah Mursalah dalam mazhab Maliki.
Ijtihad merupakan salah satu alasan yang mendukung pengembangan materi-materi hukum Islam untuk menanggulangi kasus-kasus atau perkara-perkara baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan juga merupakan factor penting dalam pengembangan hukum islam itu, sesuai dengan kebutuhan di berbagai Negara dan kenyataan-kenyataan sejarah yang senantiasa berubah.
Jadi sudah jelas bahwa ijtihad telah berhasil mendorong perkembangan ilmu fiqih, terutama pada masa-masa pertama Khalifah Abbasiyah.
Ada beberapa sebab yang sering disebutkan orang berkenaan dengan tertutupnya pintu ijtihad, antara lain:
1) terbaginya Negara islam pada abad ke-4 H ke dalam beberapa kerajaan kecil serta terjadi percekcokan para raja dalam merebut kekuasaan, hal ini telah memaksa mereka mengabaikan dukungan kepada gerakan penetapan hukum.
2) Adanya fanatisme mazhab
3) Meluasnya berbagai penyakit etis di kalangan ulama, ras dengki serta egois
4) Tersebarnya sikap mencari hidup dari fatwa dan jabatan qadli
5) Kekhawatiran para ulama akan lemahnya penyokongan agama, yang bisa jadi malah membawa keruntuhan fiqih, karena itu mereka berfatwa agar ointu ijtihad ditutup untuk mencegah ikut sertanya orang-orang yang tidak ahli dalam ijtihad.
Pada masa abad ke 7 H, ketika pemerintahan Baghdad jatuh, pemerintahan Islam menjadi mati sama sekali, sikap taqlid dan kejumudan berpikir di bidang hukum dan studi keislaman lainnya membelenggu kalangan kaum muslim. Itu disebabkan karena para fuqaha dari kalangan Ahli Sunnah secara aklamasi menyetujui ditutupnya pintu ijtihad itu dan merasa cukup dengan empat buah mazhab yang sudah ada, yaitu mashab-mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.
Kalau kita perhatikan, dengan menutup pintu ijtihad, maka itu berlawanan dengan maksud dan kosep-konsep fiqih Islam itu sendiri dan menempatkan kaum Muslim seluruhnya dalam kebekuan terhadap berlakunya hukum-hukum perkembangan. Dengan menutup pintu ijtihad, maka memaksa mereka untuk berkeyakinan bahwa kondisi-kondisi yang ada harus dianggap sama seperti pada masa para fuqaha terdahulu, dan memaksa mereka untuk mengikuti pola-pola yang telah mereka terapkan pada masa mereka dahulu dalam menghadapi permasalahan kaum muslimin sesudahnya dan bahkan sampai kapanpun.
Kekeliruan secara keseluruhan justru terletak pada sikap ikut-ikutan tanpa mengetahui alasan dan bertahan dengan pendapat-pendapat mereka itu atau sering disebut taqlid a’ma. Maka seharusnya pintu ijtihad itu sekarang harus dibuka lebar-lebar bagi siapa saja yang memiliki kemampuan yang dapt diandalkan di bidang hukum itu.

2. Faktor-faktor kemunduran kaum Muslim moderen
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kaum muslim moderen menjadi mundur, antara lain:
a. Pengacuan kepada Nash-nash yang meragukan
Berdasar pada larangan Nabi untuk menulis hadis, maka itu merupakan penyebab terjadinya perbedaan pendapat dibidang hukum. Sehingga pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau tidak bersedia melakukan pengumpulan hadis, dia khawatir seandainya masyarakat lantas mengagungkan-agungkan nya dan meninggalkan Al-Qur’an.
Walaupun demikian, tetap saja kumpulan-kumpulan hadis itu bermunculan dalam jumlah yang besar selama masa-masa tertentu dalam sejarah Islam. Diantaranya adalah untuk melayani kepentingan dan mendukung kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu atau kalangan-kalangan tertentu. Banyak hadis lemah dan palsu yang tidak dapat dijadikan pegangan atau alasan.
Maka muncullah ‘ilmu al-Musthalah al-hadits yang dibuat oleh para ahli hukum islam, yang tujuannya untuk mempelajari dan meneliti keontentikan dan kebenaran hadis-hadis itu. Mereka melakukan aturan-aturan dasar yang ilmiah untuk menilai dan menentukan keaslian dan kebenaran hadis-hadis itu. Dan para fuqaha juga mengingatkan para pembaca bahwa pada kumpulan hadis-hadis itu terdapat hadis-hadis yang tidak benar dan dha’if. Dan akhirnya timbullah kesepakatan di kalangan para fuqaha terhadap kebenaran sejumlah hadis dan ketidak sepakatan terhadap hadis-hadis lainnya.
Maka dari itu, para pembaharu Islam harus membebaskan dirinya dari keterkaitan pada hadis-hadis yang salah, palsu dan yang direka-reka oleh manusia. Hadis-hadis yang bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan asas yang dikandungnya haruslah dibuang, karena merupakan rujukan bagi fiqih Islam.
b. pengacuan pada Formalisme dan penafsiran-penafsiran
salah satu kemunduran Islam adalah karena dasar-dasar materi dalam fiqih Islam lebih banyak dari penafsiran-penafsiran para fuqaha dari pada atas nash-nash Al-Qur’an dan Hadis. Nash-nash itu hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan aturan-aturan yang bersifat umum, sedangkan perinciannya dan bagiannya didasarkan atas penafsiran para fuqaha melalui kesepakatan atau ijma’, qiyas atau sumber-sumber fiqih Islam lainnya. Uraian tentang rincian dan bagian itu memenuhi berjilid-jilid buku tentang fiqih, sehingga membutuhkan waktu yang lama dan usaha yang gigih untuk melakukan penelitian terhadap karya-karya itu.
penjelasan mengenai rincian-rincian yang banyak itu sering kali melampaui prinsip-prinsip umumnya, dan dengan taqlid yang berulang0ulang, ia membentuk suatu pemikiran yang kaku dan formalistik serta berlawanan dengan materi yang asli. Yang mana sejumlah fuqaha masa lampau mengacu kitab-kitab lama dan melalui taqlid mengambil alih isi kitab-kitab itu sebagai hal yang banyak bersifat mengikat dan mendasar, tanpa melakukan pembedaan atau penelitian yang didasarkan atas asas-asas hukum islam yang asli dan nash yang berkaitan, dan tanpa mempertimbangkan ukuran penalaran dan pemikiran yang berlaku.
c. Perbedaan-perbedaan Mazhab
Perbedaan mazhab juga merupakan salah satu sebab timbulnya perpecahan dan kemunduran kaum Muslim. Walaupun, dengan adanya perbedaan mazhab sebenarnya menunjukkan bukti dari kemampuan fiqih islam untuk menyesuaikan diri, dan juga merupakan factor pendorong dari kebebasan berpikir pada masyarakat. Sebagaimana sabda Nabi: “perbedaan pendapat di kalangan ummatku adalah rahmat.”
Akan tetapi walupun pintu ijtihad itu diperbolehkan, untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad, dibutuhkan kejujurab intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk maslah ijtihad. Paling tidak calon mujtahid harus dengan jelas mampi membedakan di man ia seharusnya berijtihad.
Perbedaan pendapat dalam islam di kalangan para mazhab tidak terjadi dalam dasar-dasar atau ushul ajaran islam, akan tetapi hanya pada rincian-rincian atau furu’ sebagai akibat dari adanya perbedaan penafsiran dan pandangan.
Di antara rahmat Allah kepada ummat Islam ialah bahwa dia tidak mempersempit umat dalam masalah-maslah furu’, tetapi justru menjadikan kelonggaran bagi pemdapat-pendapat dan paham yang berbeda-beda.
Akan tetapi perbedaan pendapat antara mazhab yang satu dengan yang lain tersebut ternyata tidak hanya menimbulkan dampak yng positif, tetapi juga muncul dampak yang negatif. Yang paling terlihat jelas adalah adanya perpecahan dalam sekte-sekte dengan segala kebencian, kedengkian dan permusuhan di antara sekte-sekte itu. Mereka menunjukkan perasaan fanatisme yang kuat terhadap mazhab-mazhab tersebut dan menyerang mazhab-mazhab dan imam-imam yang lain dengan permusuhan.

3. sumber-sumber hukum dan pembentukan hukum moderen
dengan adanya factor-faktor di atas, maka berbagai upaya harus dilakukan guna mengobati hati kaum Muslim dan menyatukan berbagai macam mazhab itu. Dan itu dapat terlaksana dengan mengembalikan mereka pada sumber-sumber hukum islam yang asli. Ada beberapa landasan yang perlu diperhatikan dalam menyatukan kembali umat Muslim, antara lain:
a) kandungan Al-Qur’an harus diakui sebagai landasan pertama dari ajaran-ajaran dan hukum Islam, dalam hal ini harus ditunjukkan secara jelas perbedaan-perbedaan antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan hal-hal yang wajib, sunnah ataupun petunjuk-petunjuk yang lain sebagaimana telah dilakukan oleh para mufasir dan ulama ahli ushul fiqih, lalu ayat-ayat itu diterapkan sesuai dengan tingkat kepentingan nya masing-masing.
b) Segenap kaum Muslim hendaknya mengikuti sunnah-sunnah yang mengemukakan hal-hal yang wajib, selama sunnah-sunnah itu shahih dan diakui seshahihannya oleh mazhab-mazhab yang beraneka ragam itu, dan yang isinya tidak bertentangan dengan nash-nash Al-Qur’an.
c) Sunnah-sunnah lainnya yang keasliannya diperselisihkan para imam mazhab-mazhab itu hendaknya diakui adanya dan berlakunya oleh kaum muslimin, asalkan sunnah-sunnah itu sejalan dengan penalaran dan diterima oleh para ulama dan ahli ushul fiqih berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, yang menyatakan bahwa hadis yang shahih selalu sejalan dengan hasil penalaran yang rasional.
d) Aturan-aturan hukum yang didasarkan atas penafsiran-penafsiran para ahli fiqih harus dipilih yang paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat moderen, dengan kepentingan umum dan sesuai pula dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebersamaan.
Dengan berubanya zaman, maka bagian dari Al-Qur’an dan hadis yang disampaikan pada suatu waktu selalu perlu dihubungkan dengan bagian-bagian yang lain, yang disampaikan pada waktu, situasi atau kondisi yang lain. Dan ada kalanya satu bagian berbeda dengan yang lain, karena memang berbeda aspek permasalahannya.


IV. KESIMPULAN
dari penjelasan di atas dapat di ambil analisis, bahwa faktor terpenting yang menimbulkan kemunduran kaum muslim adalah kelalaian mereka akan perintah-perintah yang ada dalam islam, seperti dalam masalah ijtihad. Yang mana pengembalian dapat dilakukan kembali dengan mengajak kembali kepada ajaran-ajaran agama yang benar dan membuang jauh-jauh segala rujukan yang tidak pasti atau masih samara-samar.
Maka dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
ijtihad yaitu upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami dan menafsirkan sumber-sumber dan dalil-dalil. Dan faktor-faktor kemunduran kaum Muslim moderen
1. Pengacuan kepada Nash-nash yang meragukan
2. pengacuan pada Formalisme dan penafsiran-penafsiran
3. Perbedaan-perbedaan Mazhab
maka berbagai upaya harus dilakukan guna mengobati hati kaum Muslim dan menyatukan berbagai macam mazhab itu. Dan itu dapat terlaksana dengan mengembalikan mereka pada sumber-sumber hukum islam yang asli.

V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini disusun, semoga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita secara umumnya dan bagi penulis secara khususnya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalh ini, maka kritik dan saran yang membangun sangatlah penulis harapkan.








DAFTAR PUSTAKA
A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqih Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1995
Muzadi, A. Muchith, KH, NU dan Fiqih Kontekstual, Yogyakarta, LKPSM NU DIY, 1994
Yusdani, Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta, UU Press, 2005
Qardhawi, Yusuf, DR, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 1995
Al Dzarwy, Ibrahim Abbas, Dr, Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam, Semarang, CV. Toha Putra Semarang, 1983

No comments:

Post a Comment