Tuesday, June 7, 2011

HUKUM MENURUT PARADIGMA POSITIVISTIK



A.    PENDAHULUAN
Hukum ada pada masyarakat manusia dimanapun juga di muka bumi ini. Bagaimanapun primitifnya dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti muempunyai hukum. Oleh karena itu, keberadaan dan eksitensi hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, tetapi justru mempunyai hubungan timbal balik.
Dalam kehidupan bernegara, salah satu hal yang harus ditegakkan adalah suatu kehidupan hukum dalam masyarakat. Pandangan ini diyakini tidak saja disebabkan negeri ini menganut paham negara hukum, melainkan melihat secara kritis kecenderungan yang akan terjadi dalam kehidupan bangsa indonesia yang berkembang kearah suatu masyarakat yang modern.
Begitu besar pengaruh hukum dalam tatanan sebuah masyarakat. Maka disini akan sedikit mengungkapkan pengertian hukum menurut pandangan positivistik.
B.     PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum
Pada umumnya, pengertian hukum dapat diartikan sangat beragam sebagai berikut:
1.    Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.
2.    Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan jurisprudence (yurisprudensi).
3.    Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas. Pandangan ini sering dijumpai di dalam masyarakat tradisionil.
4.    Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan: “setiap orang yang kos, hukumnya harus membayar uang kos”. Sering terdengar dalam pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.
5.    Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah; kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini dapat berupa norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang berlakunya mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi pelanggar.
6.    Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda dengan penjelasan angka 1, dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku (hukum positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan mengikat yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum, keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk hierarkis.
7.    Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung nilai tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang berlaku secara umum.
8.    Hukum diartikan sebagai ilmu; hukum yang diartikan sebagai pengetahuan yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut adalah syarat ilmu pengetahuan.
9.    Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum); sebagai sistem ajaran, hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan das-sein. Sebagai das-sollen, hukum menguraikan tentang hukum yang dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan. Sedangkan sisi das-sein mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat. Antara das-sollen dan das-sein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus sejalan. Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum.
10.          Hukum diartikan sebagai gejala sosial; hukum merupakan suatu gejala yang berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertuuan untuk mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik. Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota masyarakat dapat berjalan aman dan tertib.
Hukum secara terminologis pula masih sangat sulit untuk diberikan secara tepat dan dapat memuaskan. Ini dikarenakan hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu definisi. Kenyataan ini juga adalah apa yang diungkapkan Dr. W.L.G. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”.
Akan tetapi, walaupun tidak mungkin diadakan suatu definisi yang lengkap tentang apakah hukum itu, namun Drs. E. Utrecht, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, telah mencoba membuat sebuah batasan, yang maksudnya sebagai pegangan bagi orang yang sedang mempelajari ilmu hukum. Batasan tersebut adalah “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”.

B.     Positivisme Hukum
Istilah Positivisme Hukum pertama kali oleh Saint Simon (1760-1825) dari prancis sebagai metode dan sekaligus sebagai perkembangan dalam arah pemikiran filsafat. Positivisme Hukum sebagai sebuah aliran pemikiran filsafat hukum mendasarkan pemikirannya pada pemikiran seorang ahli filsafat Prancis terkemuka yang pertama kali menggunakan istilah Positivisme, yaitu August Comte (1798-1857). Pemikiran Comte merupakan ekspersi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan diwarnai perkembangan pesat ilmu-ilmu eksakta berikut penerapannya. Comte membagi perkembangan pemikiran manusia kedalam tiga taraf/ fase, yang menurutnya hal tersebut merupakan sebuah rentetan ketentuan umum yang sudah ditetapkan. Tiga tahap tersebut melalui teori comte tentang kemajuan manusia adalah sebagai berikut[1]:
1. Tahap teologis (dimana manusia dan alam seisinya di jelaskan oleh supranatural).
2. Tahap metafisis (menjelaskan alam serta gejala didalamnya dengan mengandalkan kemampuan rasio atau akal budi).
3. Tahap positif/ ilmiah (tahapan dimana seluruh pengalaman memberikan inspirasi kepada manusia untuk merumuskan hukum).
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala (diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sejarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu :
a. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
b. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus-meneurs dari syarat-syarat hidup
c. Metode ini berusaha ke arah kepastian
d. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Sehingga positivisme adalah merupakan sebagai ilmu pengetahuan sehingga menurut pandangan para pakar positivism. Tugas pokok filsafat adalah menemukan prinsip umum bagi semua ilmu pengetahuan dan yang selanjutnya digunakan panduan prilaku manusia, sekaligus menjadi basis organisasi sosial.[2] Pengertian pokok dalam istilah positivisme hukum (Morawetz) dan Legal Positivism (Paul Edwards), adalah sebagi berikut:[3]
1. Positivisme hukum digunakan untuk menunjuk konsep hukum yang mendefinisikan hukum sebagai komando, sebagaimana diperkenalkan oleh pakar filsafat inggris yaitu John Austin. Akan tetapi pemikiran ini ditolak oleh H.L.A Hart, karena definisi Austin tidak cukup memadai dikarenakan mengabaikan peraturan lainnya yang berfungsi sebagai hukum meskipun tidak harus dalam artian komando dari seorang yang berdaulat. Jadi menurut Hart semua undang-undang dan kontitusi serta hukum Internasional dapat dimasukkan dalam kategori positivisme. Dan dapat diperluas meliputi hukum adat dan hukum yang dibuat oleh hakim dalam proses pengadilan (Yurisprudensi).
2. Istilah positivisme digunakan untuk menandai perkembangan penting dalam konsep hukum terdapat dua ciri, yaitu (a). Hukum harus netral dipisahkan dari moral dan politik hukum yang disebut hukum murni dikembangkan oleh Hans Kelsen. Dan (b). Hukum tidak mengenal hukum yang ideal, melainkan hukum denga aktual (hukum yang ada). Pemisahan tersebut positivisme untuk hukum dari pernyataan moral yang tidak ilmiah (konsep fundamental seperti halnya hak, kewajiban, kepemilikan, dan person hukum).
3. Positivisme hukum merupakan cara berfikir dalam proses judisial dimana hakim menasarkan putusannya kepada peraturan yang ada (pengandalan kemanpuan berfikir yang logis).
4. Positivisme hukum juga merupakan cara pandang berfikir penilaian moral kalau dipandang perlu harus didasarkan dengan bukti-bukti faktual atau argument rasional. Sebagaimana pandangan Joseph Raz melalui gagasannya ”mitos moralitas bersama” (the myth of common morality), bahawa kesatuan tercipta karena adanya moralitas yang diterima dalam masyarakat.
5. Positivisme sosiologis, yaitu positivisme menuntuk menunjuk pandangan hukum yang ada bila tidak adil harus dipatuhi. Dengan kata lain validitas hukum tidak tergantung dengan validitas moral sebagaimana yang dituntul oleh hukum kodrat.
Bagi Comte yang penting adalah stadium/ tahap ilmiah, sebagai tahap terakhir dan tertinggi pemikiran manusia, dimana pada tahap ini pemikiran manusia sampai pada suatu pengetahuan yang ultim. Dasar dari pengetahuan adalah fakta-fakta yang dapat diobservasi. Pemikiran Ilmiah berikhtiar untuk mencari dan menelusuri hubungan-hubungan dan ketentuan-ketentuan umum antara fakta-fakta melalui cara yang dapat diawasi, artinya melalui metode eksperimental.
Melalui positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak. Artinya adalah ilmu pengetahuan hukum adalah undang-undang positif yang diketahui dan disistematikan dalam bentuk kodifikasi-kodifikasi yang ada. Positivisme hukum juga berpandangan bahwa perlu dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya / antara das Sollen dan das Sein). Dalam kacamata positivis tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command from the lawgivers). Bahkan bagi sebagian aliran Positivisme Hukum yang disebut juga Legisme, berpendapat bahwa hukum itu identik dengan Undang-undang. Positivisme Hukum juga sangat mengedepankan hukum sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik.
Salah satu pemikir Positivisme yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859). Bagi Austin hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurutnya terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Austin menyatakan “ a law is a command which obliges a person or person. Laws and other commands are said to proceed from superior, and to bind or oblige inferiors”[10]. Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis :
1. Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws), dan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang dibagi lagi kedalam dua bagian:
a. hukum yang sebenarnya.
b. hukum yang tidak sebenarnya.
Penjelasan hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum positif) meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum.
Senada dengan Austin, tokoh dari aliran Positivisme Hukum lainnya yaitu Hans Kelsen (1881-1973), mengatakan bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir asing yang non-yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikirannya ini dikenal sebagai Teori Hukum Murni (the pure theory of law).[12] Bagi Kelsen hukum adalah suatu sollens kategori (kategori keharusan) bukannya sein kategorie (kategori faktual). Hukum dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukalah ”bagaimana hukum itu seharusnya“ (what the law ought to be) melainkan “apa hukumnya” (what is the law). Dengan demikian hukum itu merupakan hukum positif an sich.
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu dijunjung apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut, karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi
C.    Karakteristik Hukum
Para ahli hukum di Indonesia berkesimpulan bahwa Hukum itu memiliki unsur-unsur dan ciri-ciri hukum.
Unsur-unsur hukum meliputi :
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam bermasyarakat
2. Peraturan tersebut dibuat oleh badan yang berwenang
3. Peraturan itu secara umum bersifat memaksa
4. Sanksi dapat dikenakan bila melanggarnya sesuai dengan ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku.
Maksud dari uraian unsur-unsur hukum di atas adalah bahwa hukum itu berisikan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, hukum itu diadakan oleh badan yang berwenang yakni badan legislatif dengan persetujuan badan eksekutif begitu pula sebaliknya, secara umum hukum itu bersifat memaksa yakni hukum itu tegas bila dilanggar dapat dikenakan sanksi ataupun hukumna sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan Ciri-ciri hukum antara lain :
1. terdapat perintah ataupun larangan dan
2. perintah atau larangan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang
Tiap-tiap orang harus bertindak demikian untuk menjaga ketertiban dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang dapat disebut juga kaedah hukum yakni peraturan-peraturan kemasyarakat.
Selain hal diatas. Bahwa agar terciptanya tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat, maka haruslah peraturan-peraturan itu dipatuhi oleh tiap-tiap orang. Tetapi karena pada zaman dahulu pun sudah banyak yang tidak mau mematuhi hukum, maka hukum harus mempunyai suatu sifat yang memaksa.

Dengan demikian, hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Hukum itu mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Hukum itu juga dapat memaksa tiap-tiap orang untuk mematuhi tata tertib atau peraturan dalam kemasyarakatan. Sehingga bila terdapat orang yang melanggarnya dapat dikenakan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang tidak menaatinya.
Tetapi mungkin banyak yang bertanya-tanya, mengapa masih banyak orang yang melanggar hukum tetapi tidak dikenakan sanksi. Kami akan sedikit memberikan penjelasan mengenai hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.
Hukum di Indonesia ini terbentuk atau ada dengan mengadopsi sebagian besar hukum Belanda. Hukum Belanda sendiri mengadopsi dari hukum di negara Perancis. Hukum Perancis menjiplak Hukum yang berlaku di zaman Romawi terdahulu. Mungkin Anda bertanya-tanya mengapa demikian. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari faktor penjajahan oleh negara lain, yakni berlakulah azas konkordasi. Azas konkordasi adalah azas yang menyatakan bahwa ketentuan perundang-undangan negara penjajah berlaku pula di negara yang dijajahnya.
Tetapi bukankah kita telah lepas dari penjajahan Belanda, mengapa kita masih mengadopsi hukum Belanda. Hal inilah yang sebenarnya menjadi tugas para ahli hukum di Indonesia. Pendapat kami sementara ini adalah hukum di Indonesia yang mengadopsi hukum Belanda adalah sebagian besar dari hukum yang ada di Indonesia. Misalnya KUHPidana, KUHPerdata dan lain-lain. Dapat dikatakan tidaklah mudah untuk mengubah suatu sistem yang berlaku begitu lama dengan waktu yang singkat. Akan tetapi kami yakin suatu saat nanti hukum yang berlaku di Indonesia seperti hukum pidana, perdata, dagang benar-benar dibuat oleh orang Indonesia sendiri.
Kembali ke pertanyaan, mengapa masih banyak para pelanggar hukum yang tidak dikenai sanksi. Kami berpendapat hal ini disebabkan oleh masih banyaknya oknum-oknum korup di balik para pelanggar hukum atau para pelaku kejahatan tersebut. Mereka sebenarnya merupakan ahli di bidang hukum yang memanfaatkan kelemahan-kelemahan hukum. Semoga saja di masa mendatang lebih banyak ahli hukum yang peduli akan hukum di Indonesia.[4]

C.    KESIMPULAN
Positivisme adalah merupakan sebagai ilmu pengetahuan sehingga menurut pandangan para pakar positivism. Tugas pokok filsafat adalah menemukan prinsip umum bagi semua ilmu pengetahuan dan yang selanjutnya digunakan panduan prilaku manusia, sekaligus menjadi basis organisasi sosial. Pengertian pokok dalam istilah positivisme hukum (Morawetz) dan Legal Positivism (Paul Edwards).
Adapun hukum juga mempunyai karakteristik tersendiri, yang mana terdiri dari unsur, ciri-ciri, dan sifat hukum itu sendiri.
D.    PENUTUP
Demikianlah makalah yang saya buat, semoga apa yang saya sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya, maupun bagi pembaca pada umumnya. Saya menyadari bahwa didalam makalah ini masih banyak kesalahan, baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif saya harapkan  untuk kesempurnaan makalah selanjutnya, semoga dapat bermanfaat. Amin




DAFTAR PUSTAKA
§  Prasetyo, Teguh. Abdul Halim Barkatullah.  Ilmu Hukum dan Fiksafat Hukum. Cet ke-2, Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2007.
§  Ujan, Andre Ata., Pembangunan Hukum membela keadilan filsafat hukum, Cet ke-5, Yogyakarta: Kanisius. 2008




[1] Andre Ata Ujan, 2008, Pembangunan Hukum membela keadilan filsafat hukum, Cet ke-5, Yogyakarta: Kanisius, hlm.64.
[2] Ibid,. Hlm, 65
[3] Ibid,. Hlm, 66-68

No comments:

Post a Comment