Thursday, June 9, 2011

Interrelasi Nilai Jawa dan Islam Dalam Bidang Politik

firdausss
I. Pendahuluan
kita sering melihat adanya reformasi-reformasi ataupun unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa terutama di pulau jawa, yang mana para mahasiswa itu sedang menyuarakan hati nurani yang membela keadilan, keinginan rakyat banyak dll. Seluruh yang ditunjukkan mahasiswa memang bukan bagian dari sopan santun yang cenderung local dan bagaimana tampil didepan orang lain, tetapi adalah perjuangan nilai-nilai moral yang universal, kebenaran dan nilai-nilai kemanusiaan.
Term-term reformasi polotik seperti HAM, demonstrasi, keterbukaan, analisis gender, dan sebagainya adalah term yang tidak njawawi, wajar jika kemudian banyak elit Negara ini yang tidak berkenan karena sudah terbiasa dengan model njawawi-nya.
Oleh karena itu, wajar kiranya ketika Islam dipahami oleh orang jawa, maka nilai-nilai kejawaa tidak sepenuhnya hilang. Terlebih lagi salah satu teori tentang masuknya Islam ke Indonesia adalah melalui jalur Gujarat yang memiliki nuansa mistik sebagai kecenderungan orang jawa. Oleh karena itu, politik Indonesia, khususnya jawa, tak lepas dari unsure Jawa dan Islam, di samping unsur-unsur lain.
II. Rumusan Masalah
A. Kedatangan Islam dan Pengaruhnya Terhadap Politik
B. Struktur Masyarakat Jawa
C. Sistem Politik di Jawa
D. Sinkretisme Politik Jawa Islam
E. Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
III. Pembahasan
A. Kedatangan Islam dan Pengaruhnya Terhadap Politik
Menurut legge, agama islam menjadi menarik bagi kota-kota pesisir dari dua segi. sebagai lambang perlawanan terhadap majapahit dilain pihak karena agama islam merupakan alternatif terhadap keseluruhan pandangan dunia hindu. islam berhadapan muka dengan allah tanpa adanya imamat perantara atau ritual yang ruwet. Islam mempunyai suatu ajaran kesamaan yang sangat ampuh untuk mencairkan tatanan hirarkis masyarakat majapahit.
Vleke masih menunjuk pada segi lain, berabad-abad lamanya pangeran-pangeran jawa telah terbiasa untuk memahami kegiatan-kegiatan religius untuk menambah tenaga batin atau kekuatan gaib mereka. Dapat dimengerti bahwa mereka melihat agama islam dalam cahaya yang sama. Pengaruh agama baru yang besar diseluruh asia tenggara membuktikan relevansinya yang ampuh. Namun mereka tidak menerima islam begitu saja. Ada dua keuntungan ketika mereka memeluk islam yaitu mereka akan menjadi sama kedudukan rohaninya dengan lawan-lawan potensial yang beragama islam dan mereka juga dapat memperoleh bantuan kekuatan-kekuatan muslim yang sama terhadap lawan-lawan mereka yang bukan islam. Jadi memeluk agama islam tidak dengan sendirinya mesti merupakan suatu pemutusan hubungan sama sekali dengan masa lampau hindu jawa, melainkan dapat diintegrasikan tanpa kesulitan yang terlalu besar, kedalam usaha jawa tradisional untuk menambah kekuatan-kekuatan gaib.
Dalam hubungan ini menguntungkan bagi agama islam bahwa kedatangannya kejawa bukan dalam bentuk murni sebagaimana beberapa abad kemudian dipelopori oleh kaum wahabi di arab. Melainkan melalui Gujarat di India dan dalam bentuk yang sangat dipengaruhi oleh sufisme, mistik islam. Oleh karena itu agama islam tanpa kegoncangan-kegoncangan besar dapat diterima dan diintegrasikan kedalam pola budaya,social, dan politik yang sudah ada. Kepercayaan baru mendapat pewaris-pewaris penting dalam diri kyai-kyai dari kaum ulama. Mereka memprtahankan sebagian besar kebudayaan hindu jawa ( dalam tradisi jawa pewarta-pewarta agama islam, para wali, bahkan sebagian dianggap sebagai penemu wayang dan gamelan ) dan ciri agama islam mencocokkannya tanpa kesulitan kedalam pandangan dunia jawa tradisional. Dari proses integrasi itu lahirlah kebudayaan santri jawa, kebudayaan itu semula terbatas pada kota-kota utara jawa, tetapi lama kelamaan melalui pedagang-pedagang dan tukang-tuknag, juga mulai berakar dalam kota-kota lain dan akhirnya juga dibeberapa daerah pedalaman jawa.
Pada akhir abad XVIII hampir seluruh pulau jawa secara resmi beragama islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda, secara umum ada dua proses yang telah terjadi mengenai kedatangan islam pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama islam dan menganutnya. Kedua, orang-orang asaing yang memeluk agama islam tinggal secara tetap dsuatu wilayah, kawin dan mengikuti gaya hidup local sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang jawa . Pusat islam yang paling besar adalah kota-kota pesisir utara, disitulah titik berat kebudayaan santri. Juga dalam semua kota dipedalaman jawa terdapat kampung-kampung santri. kebudayaan santri tersebut berhadapan dengan kebudayaan keraton dan pedalaman jawa. Walaupun keraton secara resmi memeluk agama islam, tetapi dalam gaya kehidupan pengaruh tradisi hindu-jawa lebih menonjol. Krato-kraton itu menjadi pusat kebudayaan jawa klasik dengan tari-tarian dan pertunjukkan wayang dengan gamelan dan dengan ritual keagamaan yang memang diadakan pada hari-hari raya islam besar. Tetapi yang isinya berasal dari zaman hindu-jawa. Agama islam dianggap sebagai salah satu persiapan untuk memperoleh kesatuan yang ilahi dan apabila kesatuan itu telah tercapai, bentuk persiapan itu dianggap tidak begitu penting lagi. Dikraton-kraton khususnya di surakarta berkembanglah kesusastraan mistik yang sangat dipengaruhi oleh mistik islam. Tetapi pada hakekatnya bersifat heterodoks .
Budi Utomo dari tahun 1908 bertujuan memajukan cita-cita kebudayaan jawa. Pada tahun 1913 dibentuk pengelompokan politik petama dengan nama sarikat islam. Dalam waktu sepuluh tahun dalam tubuh sarikat islam terjadi konfrontasi antara yang berpedoman agama isalam dan yang berpedoman komunis. Yang berakhir dengan kelompok komunis meninggalkan sarikat islam. Sejakitu organisasi politik di Indonesia berkembang menurut garis islam dan abangan. Sesudah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, polarisasi itu beberapa kali mengakibatkan krisis yang berat.. sejak semula terdapat unsure-unsur islam radikal yang menolak republic Indonesia yang baru lahir sebagai kafir. Pada tahun 1950 kelompok itu dibawah pimpinan kartosuwiryo orang asal jawa timur memulai suatu pemberontakan dibawah bendera darul islam di jawa barat, yang meluas sampai ke aceh dan sulawesi selatan. Dan yang sisa-sisanya baru tertumpas habis sekitar tahun 1960-an.
B. Stuktur Masyarakat Jawa
D.H. Burger dalam bukunya “Perubahan-Perubahab Struktur dalam Masyrakat Jawa” menulis bahwa struktur masyarakat Jawa dibagi atas empat tingkatan, yaitu raja, bupati, kepala desa, dan rakyat jelata. Raja menjadi kedudukan yang tertinggi.
Segala sesuatu ditanah Jawa, bumi tempat hidup, air yang diminum, rumput, daun, dan lain-lain yang ada di bumi adalah milik raja. Lebih lanjut Pangeran Puber mengatakan bahwa raja adalah wakil atau penjelmaan Tuhan. Untuk lebih meyakinkan diri bahwa kedudukannya sah dan aman dari ancaman, raja perlu menunjukkan pusaka yang ada padanya dan yang dapat menjadi sumber kesaktian bagi dirinya dan kewibawaan bagi pemerintahannya. Raja berkuasa karena ia dianugerahi wahyu kedaton (wahyu khusus bagi calon raja) oleh tuhan, yang katanya dinyatakan dalam bentuk cahaya. Mungkin sekali konsep-konsep mengenai kedudukan kedudukan raja ini berakar dai kebudayaan Hindu, walupun pada zaman Mataram banyak konsep diambil dari agama Islam, terutama dari segi mistik. Mistik Islam dijadikan dasar untuk menjelaskan hubungan antara rakyat dan raja. Menurut praktek mistik sufi, tujuan manusia yang tertinggi adalah untuk bersatu dengan tuhan atau manunggali kawula gusti.
Inilah yang menyebabkan orang yawa memilih pemimpin bukan atas dasar pilihan rasional tetapi emosional. Oleh karena itu, charisma lebih penting dari pada kemampuan dalam memimpin, wajar jika pemimpin kharismatik lebih disukai dari pada pemimpin rasional. Dalam konteks keagamaan pun kehidupan seperti ini tampak kuat, terutama di lingkungan pesantren. Hal ini memperlihatkan betapa kuatnya posisi seorang kiai yang sering juga menampilkan kehidupan yang cendrung feodalime.tidak mengherankan jika kemudian sulit membedakan antara sopan santun dengan prilaku feudal.
C. Sistem Politik di Jawa
Secara administratif, desa di Jawa disebut kelurahan yang dikepalai oleh seorang lurah istilah untuk daerah lainnya adalah petinggi. Kelompok desa (15 sampai 25 desa) membentuk suatu kesatuan administratif yang disebut kecamatan. Kecamatan ini dikepalai seorang pamong praja yang disebut camat. Di bawah kabupaten ada kesatuan daerah yang disebut kawedanan yang dikepalai seorang wedanan. Sebuah kawedanan terdiri dari beberapa kecamatan. Namun, tidak di setiap daerah ada kawedanan.
Di dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, kepala desa dan pembantunya (pamong desa) mempunyai dua tugas pokok, yaitu tugas kesejahteraan desa dan tugas kepolisian untuk memelihara ketertiban desa. Lurah dipilih dari dan oleh penduduk desa sendiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan memilih dan dipilih yang berlaku.
Untuk memelihara dan membangun desa, para pamong desa di Jawa sering meminta bantuan penduduk desa untuk bekerja sama dalam gugur gunung atau kerik desa. Dengan cara ini, mereka membuat, memperbaiki, atau memelihara jalan-jalan desa, jembatan-jembatan, bangunan sekolah, balai desa, menggali saluran air, merawat makam desa, mesjid atau surau, dan mengadakan upacara bersih desa.
Yogyakarta merupakan wilayah yang berstatus kerajaan. Rajanya bergelar Sultan. Untuk menyesuaikannya dengan garis politik RI yang berdiri sejak 1945, status kesultanan Yogyakarta diubah menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepala pemerintahannya bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pemerintahan di Yogyakarta diatur dalam UU No. 3 tahun 1950.
Di Jawa, seorang lurah biasanya dibantu oleh.
1. Carik, yang bertugas sebagai pembantu umum dan sekretaris desa.
2. Sosial, yang bertugas memelihara kesejahteraan penduduk, baik rohani
maupun jasmani.
3. Kemakmuran, yang mempunyai kewajiban memperbesar produksi pertanian.
4. Keamanan, yang bertanggung jawab atas ketentraman lahir batin penduduk desa.
5. Kaum, yang mengurus soal nikah, talak, rujuk, serta kegiatan keagamaan.
D. Sinkretisme Politik Jawa Islam
Simbol sinkretisme politik jawa islam tampak mencolok pada gelar-gelar raja di jawa islam seperti gelar sultan, kalifatullah sayyidin panatagama, tetunggul khalifatul mu’minin , susuhunan dan sebagainya. Gelar ratu tetunggul khalifatullah dipakai oleh sunan Giri ketika menjadi raja padda masa transisi antara dari kerajaan Majapahit ke kerajaan islam demak . Sunan Giri berkuasa dalam keadaan vakum. Pada masa ini tidak ada pimpinan yang berdaulat , baik dari raja hindu maupun islam . kerajaan Majapahit yang hindu telah runtuh sedangkan kerajaan islam yang nantinya kerajaan Islam Demak belum berdiri. Sunan Giri hanya berkuasa dalam waktu empat puluh hari pasca keruntuhan Majapahit tahun 1478 M oleh serangan seorang raja Grinderawardhana dan Keling Kediri. Setelah masa peralihan 40 hari ini, Sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada raja islam yang permanent yaitu Raden Fatah. Dialah raja kerajaan Islam Demak.
Ada beberapa analisis mengapa Sunan Giri yang seorang wali berkenan menjadi raja pada waktu itu, padahal dia bukan keturunan raja. Pertama, mengkhiaskan dengan nabi Yusuf AS yang juga bukan keturunan raja, tetapi naik tahta, mereka memproklamasikan diri sebagai raja dalam keadaan sudah ada raja karena mengibaratkan diri mereka pada nabi Musa AS yang menamakan diri sebagai raja menandingi kerajaan Fir’aun. Seorang muslim tidak boleh mengambil seorang kafir menjadi pimpinan.
Kedua, para wali khususnya sunan giri nampaknya berkeyakinan bahwa tidak baik suatu komunitas tanpa pemimpin , entah pemimpin itu mukmin ataupun kafir. Umat yang berpemimpin lebih baik bahkan jika pemimpin itu dzalim sekalipun. Jika diruntut pada masa klasik islam, Ibnu Taimiyyah sebagai mana dikutip oleh Fazlur Rahman, pernah mengatakan bahwa enam puluh hari dibawah pemimpin yang dzalim masih lebih baik dari pada satu malam tanpa pemimpin.Ibn Khaldun dalam muqadimahnya juga mengatakan bahwa menyangkut suatu pemimpin bagi suatu komunitas itu wajib.
Ketiga, Sunan Giri hanya mengantarkan keadaan transisi menuju berdirinya kerajaan Islam Demak. Buktinya dia hanya berkuasa 40 hari, setelah keadaan mapan kekuasaan diberikan kepada Raden Fatah yang masih keturunan raja Brawijaya Kertabumi. Jadi jika kemudian para wali yang suci tampil sebagai penguasa Negara atau pemimpin politik itu hanya bermotifkan Yekti Mung Amrih Ayu bukan tujuan dan tugas pokok mereka. Sebagai mana nabi Muhammad menjadi kepala Negara disamping menjadi Rasul.tugas wajib beliau adalah menyampaikan risalah bukan pemimpin politik adapun kalau kemudian beliau diangkat sebagai pemimpin Negara adalah karena kemampuan beliau dalam memimpin diakui oleh umat, baik muslim maupun non muslim ketika itu.
Simbol sinkrtitisme politik islam jawa juga terdapat pada raja-raja jawa yang dipegang Sri Sultan Hamengkubuwono, istilah sultan dari bahasa arab sulthan yang berarti raja atau penguasa menjadi istilah dalam kerajaan-kerajaan islam diarab pada masa lalu. Sri Sultan Hamengkubuwono selain sebagai raja ( kekuasaan politik ) juga sebagai sayyidin panatagama ( pemimpin agama ). Dengan demikian raja yogya juga Islam karena tidak mungkin non islam menjadi sayyidin panatagama, sebab yang dimaksud dengan sayyidin panatagama disini adalah panatagama untuk islam . inilah strategi pollitik jitu dari para pendahulu kita. Suatu proses islamisasi dengan cara yang amat arif, cultural, walaupun sinkretis.
Dalam konstalasi perpolitikan nasional Indonesia sinkretisme politik jawa islam tetap berlangsung khususnya pada rezim Soeharto. Simbol-simbol dan istilah jawa menjadi simbol-simbol politik nasional
D. Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
1. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit, dengan ibukota di Jawa Timur, berkembang pada akhir apa yang dikenal sebagai 'zaman klasik' Indonesia. Ini adalah periode dimana agama Hindu dan Buddha adalah pengaruh budaya dominan. Dimulai dengan penampilan pertama dari kerajaan Hindu di kepulauan di abad ke 5, ini zaman klasik adalah untuk berlangsung selama lebih dari milenium, sampai keruntuhan akhir Majapahit di abad ke-16 karena serangan kerajaan Demak kesultanan pertama Islam Jawa di Demak .
2. Kerajaan Demak
Sekitar tahun 1500, kekuasaan Majapahit sudah sangat lemah sekali. Kemudian dengan dukungan Walisanga, Raden Patah mengambil alih tahta Majapahit dan memindahkan ibu kota kerajaan ke Demak. Sejak saat itu, maka kerajaan Demak resmi berdiri dan Raden Patah dinobatkan menjadi Raja yang pertama dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah. Pemerintahan Kerajaan Demak sangat didukung oleh Walisanga yang sebelumnya sangat mendambakan kepemimpinan Islam di tanah Jawa.
Sebagai sebuah kerajaan Islam, Kerajaan Demak berusaha untuk membebaskan Malaka dari pendudukan Portugis. Pada tahun 1513, Raden Patah mengirim putranya yang bernama Pati Unus untuk memimpin penyerangan ke Malaka. Namun, usaha tersebut gagal karena Portugis lebih unggul. Meski demikian, karena keberaniannya menyerang Portugis di Utara, Pati Unus kemudian dijuluki Pangeran Sabrang Lor (Pangeran yang menyeberang ke Utara).
3. Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir dengan mengalahkan Arya Penangsang. Sebagai raja, Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya. Masa pemerintahan Hadiwijaya dihabiskan untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang kerap dilakukan oleh beberapa bupati yang sebelumnya merupakan pendukung Arya Penangsang.
Sepeninggal Hadiwijaya, kerajaan ini mengalami huru-hara besar akibat adanya perebutan kekuasaan antara Pangeran Benawa putra Sultan Hadiwijaya dengan Arya Pangiri putra Pangeran Prawoto yang merasa lebih berhak untuk menduduki tahta. Namun huru-hara besar tersebut akhirnya dapat dikendalikan oleh Sutawijaya yang sebelumnya telah menjadi pendukung keluarga Jaka Tingkir. Arya Pangiri pun dapat dikalahkan dan menghantarkan Pangeran Benawa menjadi raja. Namun, karena Pangeran Benawa merasa dirinya tidak pantas menduduki tahta raja, ia menyerahkan tahta pada Sutawijaya. Sutawijaya pun naik tahta dan ibu kota kerajaan dipindahkan ke Mataram. Peristiwa ini menandai berakhirnya pemerintahan Kerajaan Pajang dan dimulainya Kerajaan Mataram yang bercorak Islam.
4. Kerajaan Mataram
Kerajaan mataram islam yang didirikan oleh panembahan senopati pada tahun 1575, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan sultan agung, raja ketiga, memerintah pada tahun 1613-1645, pada waktu itu wilayah kekuasaan kerajaan meliputi jawa tengah, jawa timur dan sebagian dari jawa barat.
Naiknya Sutawijaya yang bukan golongan bangsawan sebagai raja mendapat tentangan dari sebagian besar kalangan bangsawan, terutama para bupati. Selain itu, Sutawijaya berkeinginan untuk mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Akibatnya, pada masa pemerintahannya, Sutawijaya lebih sering berada di medan perang daripada di istana. Berkali-kali ia harus bertempur untuk menundukkan bupati Kediri, Madiun, Kedu, Bagelen, Pasuruan, dan Surabaya yang tidak mau tunduk pada kekuasaannya. Kemudian, kawasan Blambangan dan Panarukan yang saat itu belum Islam berhasil didudukinya dan diislamkan. Sebagai raja, Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati. Beliau wafat pada tahun 1601.
Setelah wafatnya Panembahan Senopati, tahta jatuh kepada putranya yang bernama Mas Jolang. Berturut-turut, Mas Jolang harus menghadapi pemberontakan yang dilancarkan oleh Demak, Ponorogo, Surabaya, dan Gresik. Tahun 1613, dalam sebuah perjalanan pulang dari Surabaya setelah menumpas pemberontakan, Mas Jolang meninggal dunia di Desa Krapyak. Oleh karena itu, beliau dijuluki Panembahan Seda Krapyak. Kemudian, tahta beralih pada putra Mas Jolang yang bernama Raden Mas Rangsang.
Di bawah pemerintahan Raden Mas Rangsang, cita-cita leluhurnya untuk mempersatukan seluruh wilayah Jawa di bawah Mataram dapat terlaksana. Masa kejayaan Mataram pun tercapai di bawah pemerintahannya. Sebagai raja besar yang sangat disegani, Raden Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusuma Senopati ing Alaga Ngabdurrahman Khalifatullah Pranotogomo. Sultan Agung wafat tahun 1645. Setelah itu, Mataram diperintah oleh raja-raja yang lemah. Hingga akhirnya pada tahun 1755, Mataram dipecah menjadi empat kerajaan, yakni Jogjakarta, Surakarta, Paku Alaman, dan Mangkunegaran. Maka, berakhirlah riwayat Kerajaan Mataram.
5. Kerajaan Cirebon dan Banten
Pada awal masa perkembangan Islam di Pulau Jawa, Cirebon dan Banten merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Kehadiran Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati di Cirebon perlahan mengubah agama dan kebudayaan masyarakat yang tinggal di sana. Hingga akhirnya, pada masa Kerajaan Demak, Sunan Gunung Jati memisahkan Cirebon dari Kerajaan Pajajaran dan menyatakan Cirebon sebagai wilayah bagian dari kekuasaan Demak.
Karena perkembangan Kerajaan Demak yang terus diliputi oleh konflik berdarah, Sunan Gunung Jati melepaskan wilayah Cirebon, Jayakarta, dan Banten dari kekuasaan Demak. Menjelang wafatnya, Sunan Gunung Jati menyerahkan wilayah Banten dan Jayakarta untuk diurus oleh putranya yang bernama Hasanuddin, sementara wilayah Cirebon diserahkan pada putranya yang lain, yakni Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat dan digantikan oleh putranya, Panembahan Giri Laya. Setelah Panembahan Giri Laya wafat, Kerajaan Cirebon terpecah menjadi dua, yakni Kasepuhan dan Kanoman. Di Banten, Hasanuddin berhasil mengembangkan kawasan tersebut menjadi pusat perdagangan baru.
IV. Kesimpulan
Simbol sinkretisme politik jawa islam tampak mencolok pada gelar-gelar raja di jawa islam seperti gelar sultan, kalifatullah sayyidin panatagama, tetunggul khalifatul mu’minin, susuhunan dan sebagainya.
Dalam konstalasi perpolitikan nasional Indonesia sinkretisme politik Islam-Jawa tetap berlangsung, khususnya pada masa rezim Soeharto. Symbol-simbol dan istilah Jawa menjadi symbol-simbol politik nasional, Sementara simbolisme keislaman mereka ditampilkan pada label Haji di depan namanya. Demikian juga hari besar Maulid Nabi Muhammad SAW dan Nuzulul Qur’an diperingati secara kenegaraan.
V. Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun, semoga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita secara umumnya, dan bagi penulis secara khususnya. Kami sadar dalam makalah ini masih banyak kekurangan, maka kritik dan saran yang membangun sangatlah kami harapkan.



Daftar Pustaka
Amin, Darori, Drs, H, M, 2000, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media
Bambang Sumadio dkk. 1975.Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidiksn dan Kebudayaan
F.A. Sutjipto dkk. 1975.Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidiksn dan Kebudayaan
Satio Wahono dkk. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Srambi Ilmu Semesta.

No comments:

Post a Comment