Wednesday, February 15, 2012

Problematika nikah sirri dalam perspektif hkum positif

PENDAHULUAN
Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.
Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam, di samping harus dilakukan menurut hukum Islam, juga setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).
Pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada di antara masyarakat muslim dengan berbagai alasan melakukan pernikahan di bawah tangan, dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Fenomena semacam ini dalam masyarakat kita lebih dikenal dengan istilah nikah sirri.
RUMUSAN MASALAH
  1. Pengertian Nikah Sirri
  2. Faktor Terjadinya Nikah Sirrii
  3. Kedudukan Nikah Sirri dalam Perpekstif Hukum Positif



PENGERTIAN NIKAH SIRRI
Dalam bahasa Indonesia istilah pernikahan sering disebut juga perkawinan. Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.
Secara literal Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah. Sedangkan kata Sirri berasal dari bahasa Arab “Sirr” yang berarti rahasia. menurut Fariidl pengertian nikah sirri adalah nikah yang hanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama, tidak dilakukan pengawasan dan pencatatan KUA atau pengertian lain adalah nikah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama dan dilakukan pencatatan serta pengawasan oleh KUA, tetapi tidak dipublikasikan dalam bentuk walimah.[1]
Dengan demikian nikah sirri yang hanya berdasarkan ketentuan agama tanpa dicatat dan diawasi oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Negara pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan hukum formal. Sehingga pernikahan tersebut banyak menimbulkan masalah bagi perempuan yang menjalaninya. Berbagai masalah yang muncul sebagai akibat dari nikah sirri antara lain, suami tidak memberi nafkah bulanan kepada istri, laki-laki dengan mudah dapat menyangkal dari anak yang telah  dilahirkan dengan perempuan yang dinikah secara sirri, jika terjadi perceraian penyelesaian harta bersama menjadi tidak jelas.[2]
Hal itu dapat diketahui dari beberapa kasus yang dialami, antara lain oleh R dan M seorang pmain sinetron yang melakukan nikah sirri, tetapi setelah melahirkan seorang anak, M sebagai siami tidak mengakui anaknya sebagai anak kandung dan meninggalkan anak dan istrinya begitu saja. Data dari hasil jejak yang dilakukan oleh harian jawa pos, menunjukkan i90,9 persen dari 430 responden menganggap bahwa dalam nikah sirri, yang banyak diriugikan adalah pihak perempuan berada pada posisi yang lemah dan tidak berdaya untuk menuntut haknya. Sebanyak 2i8,7 persen responden lainnya mengemukakan bahwa perempuan diriugikan karena statusnya tidak jelas dan anak yang dilahirkan sulit memperoleh pengakuan dari ayahnya, karena tidak ada bukti dari pernikahan tersebut. Sisanya, sebesar 25,3 persen respoinden menganggap bahwa perempuan yang kelakukan nikah sirri rawan untuk ditinggal begitu saja atau ditelantarkan dan perempuan kesulitan untuk menuntut hak-haknya.
Menurut Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap wanita, atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Wanita, sebenarnya kasus yang muncul sebagai akibat nikah sirri dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan. Tampak dengan jelas bahwa dalam nikah sirri hak-hak perempuan sebagai istri tidak terlindungi oleh hukum.[3]
Faktor Penyebab Nikah Sirri
Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas.. Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu:
b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur bernama Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan yang ada, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan kedua, beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun sudah jelas calon isteri tersebut masih di bawah umur.
Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh seorang public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas kasus yang menimpa Syekh Puji adalah tepat agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum.
c. Ketentuan Pencatatn Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.
Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah membuat RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya.
Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya.
Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.
d. Ketatnya Izin Poligami
UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami hanrus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:
  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)
Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:
  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;
Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.
Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu.
Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.
Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.
Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal. Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu (poligami: Pen) menunjukkan menurun drastis namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:
1. tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;
2. bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;
3. tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;
Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:
1. hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, wanita simpanan;
2. bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami tanpa pencatatan nikah.
Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu factor timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau pernikahan yang tidak dicatat, alias nikah sirri.
2. Kedudukan Hukum Nikah Sirri Dalam Pespektif Hukum Positif
Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan illegal dan tidak sah.
Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternative, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemic berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.
Bagi umat Islam, kepentingan pencatatan itu sendiri sebenarnya mempunyai dasar hukum Islam yang kuat mengingat perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat tinggi. Artinya, Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa. Dalam Islam, perkawinan itu merupakan perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan). Bagaimana mungkin sebuah ikatan yang sangat kuat dipandang enteng? Mengapa logika sebagian umat Islam terhadap wajibnya pencatatan perkawinan seperti mengalami distorsi? Perlu kita yakinkan kepada umat Islam bahwa pencatatan perkawinan hukumnya wajib syar’i. Sungguh sangat keliru apabila perkawinan bagi umat Islam tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan ikatan perjanjian biasa, misalnya semacam utang piutang di lembaga perbankan atau jual beli tanah misalnya saja perlu dicatat, mengapa ikatan perkawinan yang merupakan perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Adalah ironi bagi umat Islam yang ajaran agamanya mengedepankan ketertiban dan keteraturan tapi mereka mengebaikannya.
Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’ Ayat: 59 yang berbunyi sebagai berikut:
يا ايها الذين امنوا اطيعواالله و اطيعوا الرسو ل و اولى الأ مر منكم
Artinya : Wahai orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian.
Berdasarkan dalil Firman Allah SWT tersebut di atas, tampak bahwa Allah swt telah menunjukkan untuk kemaslahatan manusia, seseorang tidak hanya  taat kepada Allah dan taat kepada Rasul SAW  namun juga harus taat kepada ulil amri yaitu pemerintah atau Negara dengan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sampai pada tahapan ini kita semua sepakat bahwa sebagai umat yang beriman memikul tanggung jawab secara imperative (wajib) sesuai perintah Allah SWT tersebut. Akan tetapi ketika perintah taat kepada Ulil Amri diposisikan sebagai wajib taat kepada pemerintah, otomatis termasuk di dalamnya perintah untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan, maka oleh sebagian umat Islam sendiri terjadi penolakan terhadap pemahaman tersebut sehingga kasus pernikahan di bawah tangan masih banyak terjadi dan dianggap sebagai hal yang tidak melanggar ketentuan hukum syara’. Permasalahan masih banyaknya nikah sirri di kalangan umat Islam adalah terletak pada pemahaman makna siapakah yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut di atas. Ada banyak pendapat mengenai siapakah ulil amri itu, antara lain ada yang mengatakan bahwa ulil amri adalah kelompok Ahlul Halli Wa Aqdi dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri adalah pemerintah.
Dalam konteks ini perlu kiranya memahami penalaran hukum pada ayat tersebut di atas secara komprehensif. Oleh sebab itu, pendekatan terhadap penalaran makna Ulil Amri dalam hubungannya dengan kewajiban pencatatan perkawinan bagi umat Islam, dapat kita pahami bahwa Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan itu adalah merupakan produk legislasi nasional yang proses pembuatannya melibatkan berbagai unsur mulai dari Pemerintah, DPR, Ulama dan kaum cerdik pandai serta para ahli lainnya yang keseluruhannya merupakan Ahlul Halli wal Aqdi. Dengan demikian, apabila Undang-undang memerintahkan perkawinan harus dicatat, maka wajib syar’i hukumnya bagi umat Islam di Indonesia untuk mengikuti ketentuan undang-undang tersebut.
Pernikahan bagi umat Islam adalah sebuah keniscayaan dan ia merupakan sesuatu yang haq. Oleh karena pernikahan adalah suatu kebenaran (haq) dalam Islam, maka perlu ada nizham atau system hukum yang mengaturnya. Sungguh sangat relevan penulis nukilkan Atsar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, r.a.:
الحق بلا نظام سيغلبه الباطل باالنظام
ِArtinya : Sesuatu yang hak tanpa nizham (system aturah hukum yang baik) akan dikalahkan oleh kebatilan dengan nizham.

E. SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diturunkan beberapa kesimpulan bahwa pernikahan sirri atau pernikahan tanpa pencatatan baik nikah tunggal maupun karena poligami, adalah pernikahan yang illegal, Ini terjadi disebabkan kurangnya pemahaman hukum dan minimnya kesadaran hukum dari sebagian masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan mereka. Pernikahan di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi, pernikahan sirri merupakan perbuatan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum dalam sebuah Negara hukum bernama Indonesia. Oleh sebab itu masyarakat Islam Indonesia harus menghindari praktek perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri.
Masyarakat Islam Indonesia perlu diyakinkan bahwa pencatatan perkawinan adalah wajib hukumnya, bukan saja dipandang dari perspektif hukum positif melainkan juga dalam perspektif hukum Islam itu sendiri.
Perkawinan adalah awal terbentuknya rumah tangga yang merupakan unit masyarakat terkecil dari sebuah bangsa besar Indonesia. Oleh karena itu penguatan aturan hukum perkawinan merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Pandangan masyarakat terhadap “nikah sirri adalah perbuatan yang sah-sah saja” perlu diluruskan agar tidak menjadi preseden bagi generasi masa depan.


No comments:

Post a Comment