Sunday, February 19, 2012

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

Photobucket

FIQH MUAMALAH
Nama: Abdul Majid
Nim: 092111003
Lembar Jawab
1.       a.  Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
    Dibawah ini beberapa perbedaan antara bunga dan bagi hasil, yaitu:
Sistem Bunga
Sistem Bagi hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan

Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Bunga bank dikatan riba’ ialah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen dari modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh agama Islam. Riba’ disini ialah ketika adanya pelipatan ganda terhadap bunga itu sendiri, namun ada juga yang mengatakan bahwa bunga itu riba’ karena apapun yang bertambah dari asalnya dikatakan sebagai riba’.
b. Pendapat para ulama’ terhadap bunga bank.
1. Pendapat yang Mengharamkan Bunga Bank
Muhammad abu zahrah, abul a’la al-maududi, muhammad abdul al-arobi, dan muhammad neja tulloh siddiqi adalah kelompok yeng mengharamkan bunga bank, baik yangmengambilnya maupun yang mengeluarkannya.
 Alasan-alasan bunga diharamkan menurut muhammad Neta-Jullah Siddiqi adalah sebagai berikut :
·         bunga bersifat menindas (dolim) yang menyangkut pemerasan. Dalam pinjaman konsumtif seharusnya yang lemah (kekurangan) di tolong oleh yang kuat (mampu) tetapi bunga bank pada awalnya orang lemah ditolong kemudian diharuskan membayar bunga, itu tidak titolong, tetapi memeras. Hal ini dapat dikatakan bahwa yang kuat menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Dalam pinjaman produktif dianggap pinjaman tidak adil, mengingat bunga yang harus dibyar sudah ditentukan dalam meminjam, sementara keuntungan dalam usaha belum pasti.
·         Bunga memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang kaya (kuat) yang kemudian dapat menciptakan ketidakseimbanagan kekayaan. Ini bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak Allah yang menghendaki pnyebaran pendapat dan kekayaan yang adil. Islam menganjurkan kerja sama dan persaudaraan dan bunga bertentangan dengan itu.
·         Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam modal dapat menerima setumpukan kekayaan dari bunga-bunga modalnya sehingga nereka tidak bekerja untuk menutupi kebutuhannya. Cara seperti ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi orang tersebut.
      Muhammad abu zahrah menegaskan bahwa rente (bunga) bank termasuk Riba nas’iah yang diharamkan dalam agama Islam oleh Allan dan Rasul-Nya.
2. Pendapat yang Mensamarkan/Mensyubhatkan Bunga Bank
Pendapat Musthafa Ahmad al-zarqa bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya dan sebaliknya termasuk masalah musytabihat. Masalah musytabihat adalah perkara yang belum ditemukan kejelasan hukum halal atau haramnya, sebab mengandung unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan sebagai perkara yang haram. Namun, ditinjau dari lain, ada pula unsur-unsur lain yang meringankan keharamannya. Di pihak lain bunga masih termasuk riba sebab merupakan tambahan dari pinjaman pokok. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi disisi lain bunga yang relatif kecil itu bukan merupakan keuntungan perorangan, melainkan keuntungan yang digunakan untuk kepentingan umum.
Pertimbangan besar kecilnya bunga dan segi penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat larangn riba yang unsur utamanya adalah pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin meskipun bunga bank dianggap musytabihat tidak berarti umat Islam diberikan kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi Saw. Memerintahkan umat Islam hati-hati terhadap perkara subhat dengan cara mejauhinya.
3. Pendapat yang Menghalalkan Bunga Bank
Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang menghalalkan pengambilan atau pembayaran bunga di bank yang ada dewasa ini, baik bank negara maupun bank swasta. Pendapat ini dipelopori oleh A.Hassan yang juga dikenal dengan Hasan. Alasan yang digunakan adalah firman Allah Swt.
Artinya: Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (Ali-imran: 130)
 Jadi, yang termasuk riba menurut A. Hassan adalah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen dari modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh agama Islam.
c.  Boleh: ketika ia menganggap bunga bukan bagian dari riba’ dan dan ketika      dalam keadaan dharurat.
Haram: ketika ia yakin bahwasannya bunga bank ialah riba’.
Namun alangkah lebih baiknya menggunakan bank syari’ah yang mana telah diketahui dengan pasti bagaimana sistem yang ada dalam bank syari’ah ialah untuk memajukan Islam itu sendiri dan bank syari’ah juga mengaplikasikan huklum-hukum yang ada di dalam agama Islam.

2.      a. Tindakan A yang menjual rumah yang masih disewakan kepada B, tidak dapat dibenarkan menurut Fiqh Muamalah yang mana sesuai dengan hadis rasul yang berarti: “Janganlahseseorang menjual dalam transaksi orang lain, sehingga ia membelinya atau meninggalkan transaksi tersebut.” Ha; ini dikarenakan A masih mempunyai akad dengan B yang belum batal atau selesai akadnya
b.  Menurut saya akad sewa antara A dan B tidak dapat batal demi hukum karena ia masih ada dalam kesepakatan akad yang dibuat diawal, dan masa akad belum usai dengan  akad yang telah ditentukan. Namun ketika transaksi A dengan C atas sepengetahuan B maka dapat dibenarkan.

3.      a.  Hal ini (profesor yang mendaftarka penemuan atas nama dirinya) tidak dapat dibenarkan karena di daalam penelitiannya ia di biayai oleh perguruan tinggi yang mengutusya, dan semua apa yang di dapat oleh sang profesor ialah hak dari perguruan tinggi, yang mana ia disini hanya bekerja dan di beri upah oleh perguruan tinggi tersebut. Dan kitapun tidak dapat melanggar akad yang telah ditentukan oleh kedua pihak. Dan ketika ia memiliki hak intelektual tersebut ia telah melanggar akad yang ada dan ini tidak dibenarkan oleh fiqh muamalah. Dan di dalam akad sendiri mengandung asas janji yang mengikat.
b. Ulama’ kontemporer berpendapat bahwa hak intelektual ialah bagian dari harta kekayaan disebut juga al-maal. karena kekayaan intelektual mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis . Kebanyakan ulama’ kontemporer dan juga berbagai badan fiqih internasional sebut saja sebagai contoh fiqih council dibawah Rabithah Alam Islami (Muslim World League) pada sidang rutin mereka yang ke-9, yang diadakan di kantor pusatnya di kota Mekkah, pada tanggal 12/71406 H s/d 19/7/1406 H, juga telah menegaskan akan pengakuan terhadap kekayaan intelektual tersebut.
             Saya sangat setuju dengan hal ini dikarenakan pengakuan terhadap hak intelektual adalah sesuatu yang wajib dilakukan dan merupakan hal terbaik untuk melindungi apa yang telah orang lain temukan dan ciptakan yang mana sesuai dengan hadis nabi:
مَنْ سَبَقَ إِلَى مُبَاحٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
Barang siapa telah lebih dahulu mendapatkan sesuatu yang mubah (halal) maka dialah yang lebih berhak atasnya.” Maka untuk melindungi uasaha menemukan hak intelektual tersebut dan sebagai apresiasi atas apa yang ia kerjakan maka diadakan pengakuan terhadap hak intelektual dan juga hukuman bagiu yang melanggranya.

4.      a.




No comments:

Post a Comment