Tuesday, February 7, 2012

HUKUM ORANG DAN KEKERABATAN



       I.            PENDAHULUAN
Hukum adat yang timbul dan berkembang di masyarakat, telah menimbulkan berbagai peraturan-peraturan yang harus di taati oleh masyarakat adat tersebut. Dan didalamnya ada yang mengatur tentang hubungan satu individu masyarakat dengan individu lain.
Dan di antara peraturan tersebut ialah tentang tentang hukum orang dan kekerabatan, dimana hal itu untuk melindungi hak-hak individu sebagai subyek hukum adat dan bagaiman sebuah kekerabatan dalam hukum adat itu bisa di wujudkan.
Di bawah ini kami berusaha menyajikan beberapa hal tentang kedua topik di atas.
    II.            PEMBAHASAN
A.    Definisi Hukum Orang
Di dalam hukum adat, hukum orang di bagi menjadi dua:
a.       Orang sebagai subyek hukum
b.      Badan hukum sebagai subyek hukum
Yang masing-masing mempunyai karakteristik dan pengertian yang berbeda-beda.
1.      Orang sebagai subyek hukum
Pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang hukum yang sama, yang oleh Djojodigoeno memakai istilah “kecakapan berhak” tetapi dalam kenyataannya di beberapa daerah terdapat pengecualian- pengecualian seperti :
- Di Minangkabau orang perempuan tidah berhak menjadi Penghulu Andiko
atau Mamak kepala waris.
- Di daerah-daerah Jawa Tengah yang berhak menjadi kepala desa anakanak
laki-laki.
Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (Djojo Digoeno menggunakan istilah “kecakapan bertindak”). Menurt hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang-orang yang sudah dewasa. Ukuran dewasa dalam hukum adat bukanlah umur tetapi kenyataan-kenyataan tertentu.
Soepomo memberikan cirri-ciri seseorang dianggap dewasa yaitu :
kuat gawe (dapat mampu bekerja sendiri), cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta dapat mempertanggungjawabkan sendiri segala perbuatannya.
Cakap mengurus harta bendanya dan keperluannya sendiri.
Tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang
    tuanya.
Di Jawa seseorang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri (sudah mentas atau Mencar). Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam Keputusannya tertanggal 16 Oktober 1998 menetapkan khusus bagi wanita untuk dapat dianggap cakap menyatakan kehendaknya sendiri sebagai berikut :
a. Umur 15 tahun
b. Masak untuk hidup sebagai isteri
c. Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatannya.
Keputusan Raad van Justitie tersebut menunjukkan adanya pemakaian dua macam criteria yaitu criteria barat dengan criteria adat, yang memberikan perkembangan baru bagi hukum adat khususnya mengenai criteria dewasa.
2.      Badan Hukum sebagai Subjek Hukum
Badan Hukum sebagai subjek Hukum dikenal ada dua macam yaitu :
a. Badan Hukum Publik
b. Badan Hukum Privat
a. Badan hukum publik merupakan subjek hukum ciptaan hukum untuk :
1. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersama dalam setiap kegiatankegiatan bersama.
2. Adanya tujuan-tujuan idiil yang ingin dicapai secara bersama.
Contoh badan hukum publik adalah masyarakat hukum adat, seperti dusun, marga, desa, dan sebagainya, masyarakat hukum adat merupakan satu kesatuan penguasa yang mempunyai kekayaan tersendiri berupa benda-benda materiil maupun benda immaterial yang diurus oleh pengurus yang dipimpin oleh Kepala Adat.
Dengan demikian badan hukum publik mempunyai :
1. Pemimpin/ Pengurus
2. Harta kekayaan sendiri
3. Wilayah tertentu
2. Badan Hukum Privat

B.     Hukum Kekerabatan
Sistem kekeluargaan di dalam hukum adat ada tiga yaitu Patrilineal, Matrilineal dan Bilateral. Patrilineal yang merupakan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari keturunan pihak laki-laki yang jika terjadi sesuatu pihak ayah yang akan bertanggungjawab. Matrilineal, sistem garis keturunan yang menarik garis keturunan dari garis keturunan ibu yang juga jika tejadi sesuatu pihak ibu yang bertanggungjawab. Sistem tersebut dianut oleh masyarakat minangkabau. Sedangkan Bilateral sendiri tidak ada dominasi antara pihak laki-laki dan perempuan.
Beberapa hal penting dalam hukum kekerabatan antara lain:
1. Keturunan
Keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada hubungan darah antara seseorang dengan orang lain. Keturunan merupakan unsure penting bagi suatu clan, suku atau kerabat yang menghendaki dirinya tidak punah serta mempunyai generasi penerus.
Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga, misalnya boleh ikut menggunakan nama keluarga, saling bantu membantu dan saling mewakili dalam suatu perbuatan hokum dengan pihak ketiga dan sebagainya. Dalam keturunan setiap kelahiran merupakan tingkatan atau derajat, misalnya sorang anak merupakan keturuan tingak I dari bapaknya, cucu merupakan keturunan tingkat II dari kakeknya. Tingkatan atau derajat demikian biasanya dipergunakan untuk kerabat-kerabat raja, untuk menggambarkan dekat atau jauhnya hubungan keluarga dengan raja yang bersangkutan. Keturunan dapat dibedakan beberapa macam, yatiu :
1. Lurus : yaitu apabila seseorang merupakan keturunan langsung dari atas kebawah atau sebaliknya, misalnya antara bapak dan anak sampai cucu, sebaliknya dari anak, bapak dan kakek disebut lurus ke atas.
2. Menyimpang atau bercabang
Yaitu apabila kedua orang atau lebih ada ketunggalan leluhur, misal bersaudara bapak atau ibu atau sekakek.
3. Keturunan garis bapak (patrilineal), yaitu hubungan darahnya dilihat dari segi laki-laki/ bapak.
4. Keturunan garis ibu : yaitu hubungan darahnya dilihat dari garis perempuan atau matrilineal .
5. Keturunan garis ibid an garis bapak (parental) yaitu apabila dilihat dari keturunan kedua belah pihak yaitu ibu dan bapak. Lazimnya untuk kepentingan keturunannya dibuat “silsilah” yaitu bagan dimana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang dari suami/ isteri baik yang lurus ke atas maupun yang lurus ke bawah, ataupun yang menyimpang.
2. Hubungan anak dengan orang tuanya
Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam somah/ dalam keluarga yaitu:
1. sebagai penerus generasi
2. sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari
3. sebagai pelindung orang tua kemudian hari dan lain sebagainya, apabila orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya tidak mampu bekerja lagi. Oleh karena itu maka sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan, kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat diadakan banyak upacara-upacara adapt yang sifatnya relegio-magis serta penyelenggraannya berurut-urutan mengikuti perkembangan fisik anak yang kesemuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibunya dari segala macam bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak anak dilahirkan, agar anak tersebut menjadi seorang anak dapat memenuhi harapan orang tuanya. Wujud upacara setiap daerah berbeda satu dengan daerah yang lainnya. Misalnya upacara-upacara daerah Priangan, masyarakat adapt Priangan mengadakan upacara secara kronologis sebagai berikut :
a. anak masih dalam kandungan : bulan ke 3, 5, bulan ke 7 dan ke 9,
pada bulan ke 7 disebut “Tingkep”.
b. Pada saat lahir : penanaman “bali” atau kalu tidak ditanam diadakan upacara penganyutan ke laut.
c. Pada saat “tali ari” diputus, diadakan sesajen dan juga pada saat pemberian nama.
d. Setelah anak berumur 40 hari, upacara cukur yang diteruskan pada saat anak menginjakkan kainya untuk pertama kalinya di bumi/ disentuhkan pada tanah.
Disamping upacara-upacara tersebut di atas, juga sangat diperhatikan hari-hari kelahiran anak, misalnya anak lahir pada hari kamis, maka tiap hari kamis diadakan sesajen.
3. Anak yang lahir tidak normal :
1. Anak lahir di luar perkawianan :
Bagaimana pandangan masyarakat adapt terhadap peristiwa ini dan bagaimana hubungan antara si anak dengan wanita yang melahirkan dan bagaimana dengan pria yang bersangkutan?
- pandangan beberapa daerah tidak sama, ada yang menganggap biasa, yang mencela dengan keras, di buang di luar persekutuan, bahkan dibunuh dipersembahkan sebagai budak dan lain-lain.
- Dilakukan pemaksaan kawin dengan pria yang bersangkutan
- Mengawinkan dengan laki-laki lain, dengan laki-laki lain dimaksudkan agar anak tetap sah.
2. Anak lahir karena hubungan zinah :
Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut hokum adapt, laki-laki itu menjadi bapak dari anak tersebut.
3. Anak lahir setelah perceraian
Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut hukum adat mempunyai bapak bekas suami si ibu yang melahirkan tersebut, apabila terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung.
4. Hubungan anak dengan Keluarga
Hubungan anak dengan keluarga sangat dipengaruhi oleh keadaan social dalam masyarakat yang bersangkutan yaitu persekutuan yang susunan berlandaskan tiga macam garis keturunan, keturunan ibu, keturunan bapak, dan keturunan ibu bapak.
5. Memelihara anak Yatim Piatu
Apabila dalam suatu keluarga, slah satu dari orang tuanya bapak atau ibunya sudah tidak ada lagi, maka anak-anak yang belum dewasa dipelihara oleh salah satu orang tuanya yang masih hidup. Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dalam keadaan demikian biasanya tergantung pada anak diasuh dimana pada waktu ibu dan bapaknya masih ada, kalu biasanya diasuh dikeluarga ibu, maka anak akan diasuh oleh keluarga ibu dan sebaliknya, demikianlah pengasuhan anak dalam system kekeluargaan parental.
Dalam keluarga matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasannya terhadap anak-anak yang belum dewasa. Jika ibunya yang meninggal dunia, maka anak-anak yang belum dewasa berada pada kerabat ibunya serta dipelihara terus oleh kerabat ibunya yang bersangkutan, sedangkan hubungan antara anak dengan bapaknya dapat terus dipelihara. Dalam keluarga yang patrilineal jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya terus memelihara anak-anak yang belum dewasa, jika ibunya meninggalkan rumah dan pulang kerumah lingkungan keluarganya atau kawin lagi, maka anak-anak tetap pada kekuasaan keluarga almarhum suaminya.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, makin hari atau lambat laun mengalami perubahan dan penyimpangan-penyimpangan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan cara berfikir masyarakat yang modern.
6. Mengangkat Anak (Adopsi)
Mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri dan menimbulkan akibat hukum. Pengangkatan anak dibedakan beberapa macam yaitu :
a. Mengangkat anak bukan warga keluarga :
- anak yang diangkat bukan warga keluarga
- menyerahkan barang-barang magis dan sejumlah uang kepada keluarga anak
- tujuan untuk melanjutkan keturunan
- dilakukan secara terang artinya dilakukan dengan upacara adat disaksikan oleh kepala adapt misalnya : daerah Gayo, Nias, Lampung, Kalimantan.
b. Mengangkat Anak dari kalangan keluarga :
- alasan “takut tidak punya keturunan”
- Di Bali perbuatan ini disebut “nyentanayang”
- Biasanya anak selir-selir yang diangkat
- Melalui upacara adapt dengan membakar benang melambangkan hubungan dengan ibunya putus
- Diumumkan (siar) kepada warga desa
c. Mengangkat anak dari kalangan Keponakan :
Alasan-alasan :
- tidak punya anak sendiri
- belum dikaruniai anak
- terdorong oleh rasa kasian
- perbuatan disebut “pedot” Jawa
- biasanya tanpa ada pembayaran
- biasanya anak laki-laki yang diangkat.

 III.            KESIMPULAN
Di dalam hukum adat, hukum orang di bagi menjadi dua:
1. Orang sebagai subyek hukum
2. Badan hukum sebagai subyek hukum
Yang masing-masing mempunyai karakteristik dan pengertian yang berbeda-beda.
Sedangkan hukum kekeluargaan lebih berbicara tentang bagaimana swbuah pertalian kerabat itu diperoleh, misal saja seperti keturunan, dan pengapdosian anak.



 IV.            PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat. Semoga dapat bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan bagi pembaca umumnya. Dan pastinya makalah ini terdapat kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.





DAFTAR PUSTAKA

Ø Hadikusuma, Hilman, Prof., S.H., 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia, Bandung, Mandar Maju.
Ø Hartono, Sumarjati,Dr.,S.H., 1989, Dari Hukum Antar Golongan ke
Hukum Antar Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Ø Kartohadiprodjo, Soediman, Prof. S.H., 1978, Hukum Nasional Beberapa
Catatan, Bandung, Bina Cipta.
Ø Muhammad, Bushar, Prof,S.H.,1986, Asas-Asas Hukum Adat Suatu
Pengantar, Jakarta, Pradnya Paramita.
Ø Pudjosewojo, Kusumadi, Prof..S.H., 1984, Pedoman Pelajaran Tata
Hukum Indonesia, Jakarta, Aksara Baru.
Ø  Soepomo, R, Prof, Dr, S.H., 1966, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
Jakarta, Universitas.

No comments:

Post a Comment