Sunday, February 19, 2012

Pencegahan Perkawinan

Photobucket

Pencegahan Perkawinan

1.  Tujuan
Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan

2.  Syarat
a.  Apabila calon suami atau isteri tidak memenuhi syarat-syarat hukum Islam dan perundang-undangan.
b.  Apabila calon mempelai tidak sekufu karena perbedaan agama

3.  Pihak yang dapat melakukan pencegahan
a.  Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.
b.  Saudara.
c.  Wali nikah.
d.  Wali pengampu.
e.  Suami atau isteri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau isteri tersebut.
f.   Pejabat pengawas perkawinan.

4.  Prosedur pencegahan.
a.  Pemberitahuan kepada PPN setempat.
b.  Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c.  PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.

1.      Akibat hukum: perkawinan tidak dapat dilangsungkan, selama belum ada pencabutan pencegahan perkawinan.

2.      Cara pencabutan dengan menarik kembali permohonan pencegahan perkawinan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah dan dengan putusan Pengadilan Agama.

3.      PPN tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan walaupun tidak ada pencegahan perkawinan, jika ia mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, 9,10 atau 12 UUP.

    Penolakan Perkawinan
a.  Penolakan dilakukan oleh PPN, apabila PPN berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut terdapat larangan menurut UUP.
b.  Acara :
1) Atas permintaan calon mempelai, PPN mengeluarkan surat keterangan tertulis tentang penolakan tersebut disertai dengan alasannya.
2) Calon mempelai tersebut berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama (wilayah PPN tersebut) dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut untuk memberikan.
3) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan berupa : menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan perkawinan tersebut dilangsungkan.

B.   Pembatalan Perkawinan

Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian dapat pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan bahwa Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.

1. Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 KHI), apabila:
a)   Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan Agama.
b)   Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c)   Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d)   Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan.
e)   Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak..
f)    Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

2. Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:
a)   Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai 4 orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang dalam iddah talak raji.
b)   Menikahi kembali bekas isteri yang telah di li an.
c)   Menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali (kecuali ?).
d)   Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan susuan.
e)   Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isterinya.

3. Pembatalan perkawinan karena adanya ancaman, pempuan atau salah sangka. Suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:
a)   Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b)   Pada waktu dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isterinya.
c)   Bila ancaman telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya, dan dalam waktu 6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya, maka haknya menjadi gugur.

4. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan:
a)   Pihak keluarga suami atau isteri dalam garis lurus ke atas dan ke bawah.
b)   Suami atau isteri
c)   Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan.
d)   Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacad pada rukun dan syarat perkawinan menurut hukum.

5. Acara pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan diajukan ke Pengadilan Agama dimana suami atau isteri bertempat tinggal atau di tempat perkawinan dilangsungkan.

6. Akibat hukum
a)     Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan kerabat dan bekas suami maupun isteri.
b)     Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan.
c)     Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap :
  Perkawinan yang batal karena suami  atau isteri murtad;
  Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
  Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.;
  Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan orang tua.
d)     Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum :
(1)   Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas suami  atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya dalam garis lurus ke atas, karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu bersifat selamanya.
(2)   Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah diajukan ke persidangan dan di dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.

e)     Catatan: Dalam pembatalan perkawinan ada istilah fasaakh dan fasid

No comments:

Post a Comment