Sunday, February 19, 2012

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG KEPERCAYAAN DAN RITUAL

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG KEPERCAYAAN DAN RITUAL

I.       PENDAHULUAN

Kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Sejarah islam diJawa berjalan cukup lama, selama perjalanan tersebut banyak hal menarik untuk dicermati, dan terjadi dialog budaya, antara budaya asli jawa dengan berbagai nilai yang datang dan merasuk kedalam budaya jawa. Proses tersebut memmunculkan berbagai uraian dialektika, sekaligus membuktikan  satu uraian dialektika bercorak hindu budha dengan corak khusus pengaruh budaya india. Demikian juga saat Islam dating dan berinteraksi dengan budaya jawa, melebur menjadi satu. Dalam hal ini ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya Jawa. Dalam kesempatan ini pemakalah akan membahas tentang interelasi nilai jawa dan islamdalam bidang kepercayaan dan ritual.

II.     RUMUSAN MASALAH

A.     keyakinan yang Berkembang dari Hasil Interelasi
B.     Respon Budaya Jawa Terhadap Islam
C.     Respon Islam terhadap Budaya Jawa
D.     Pengertian Santri, Abangan, Priyayi serta latar belakangnya
E.      Cirri-ciri Santri dan Abangan dalam Kepercayaan dan Amal Agama

III.   PEMBAHASAN

A.     keyakinan yang Berkembang dari Hasil Interelasi
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memeiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sacral yang suci atau yang ghaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan, sehiingga terdapatlah rukun iman yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau diimani oleh muslim.
Kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan animisme dan dinamisme dalam proses perkembangan Islam yang beriterellasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.[1]
Ritual-ritual yang dibuat atau dipakai orang-orang Jawa Islam yang masih disesuaikan dengan kebiasaan Hindu-Budhanya, yakni seperti adat mitoni (memperingati 7 bulan kehamilan) memperingati orang mati dengan ritual doa seminggu, 40 hari, nyatos, nyewu dan mendak, ada adat selamatan, gerebek Suro nyandran, kliwonan, sedekah bumi, nyekar (ziaroh kubur) dan masih banyak yang lainnya.
Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan Animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murnikarena telah tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati ataupun hidup.[2]
Menurut keyakinan Islam, orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur (alam barzah). Sebagai alam sebelum manusia mamasuki alam akhirat, hanya saja menurut orang jawa arwah-arwah orang tua sebagai nenek moyang yang meninggal dunia berkeliaran disekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetpa dimakam. Mereka masih mempunyai kontak dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu datang kekediaman anak keturunan, roh-roh yang baik yang bukan roh nenek moyang disebut dayang, baureksa, atau sing ngemong. Dayang dipandang sebagai roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa, dari sinilah muncul upacara bersih desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun sesaji. Disisi lain atas dasar kepercayaan  Islam orang meninggal dikirimi do’a, maka muncul tradisi kirim dongo (do’a), tahlilan, 40 hari, setahun dan seribu hari.
B.     Respon Budaya Jawa Terhadap Islam
Pulau jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk. Orang jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin kerjasama dengan sipapun. Termasuk ketika pedagang dan Alim Ulama yang bertubuh tingi besar, hidung mancung dan berkulit putih kemerahan. Mereka adalah para pedagang dan ulama dari timur tengah.kedatangan mereka ternyata membawa sejarah baru yang hampir merubah jawa secara keseluruhan.
Agam Islam masuk kejawa sebagaiamana Islam dating keMalaka, Sumatra dan Kalimantan.bukti adanya nisan-nisan raja-raja Aceh yang beragama Islam menunjukan bahwa Islam berkembang di Aceh sekitar abad ke 13 M. jadi bias diperkirakan mungkinIslam telah datang ke Indonesia sejak Abad itu atau bahkan sebelumnya.[3]
Bagi orang jawa hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Di jawa penyebaran agama Islam harus berhadapan dengan 2 jenis lingkungan budaya kejawen, yakni lingkungan budaya istana yang telah menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam animisme dan dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh oleh hinduisme.[4]
C.     Respon Islam terhadap Budaya Jawa
Agama Islam mengajrkan agar para pemeluknya melakukan kegiata-kegiatan ritualistic tertentu, yang dimaksud kegiatan ritualistic adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun islam. Khusus untuk sholat dan puasa romadhon, terdapat pula shalat dan puasa sunnah. Intisari dari sholat adalah do’a kepada Allah. Sedangkan puasa adalah pengedalian nafsu.
Islam adalah agamadamai yang tidak mengenal system kasta seperti hindu-budha. Namun pada realitanya terdapat beberapa golongan yaitu golongan santri, abangan dan priyayi. Walau golongan ini bukan untuk membedakan status social seseorang, tapi untuk mengetahui mana yang lebih pemahamannya tentang agama.
Sebagian besar orang Jawa memeluk agama Islam, namun terdapat beberapa ragam dalam pengalaman ajaran Islam. Mereka mengaku orang Islam dalam ketegori umum, pengakuan semacam itu mereka sendiri dengan jelas membedakan antara santri yaitu para orang muslim yang taat menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh dan para abangan yang tidak seberapa ibadahnya, sementara cara hidupnya masih dipengaruhi oleh tradisi jawa pra Islam.[5]
D.    Pengertian Santri, Abangan, Priyayi serta latar belakangnya
·        santri yaitu para orang muslim yang taat menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh
·        abangan adalah orang muslim yang ibadahnya belum seberapa, sementara cara hidupnya masih dipengaruhi oleh tradisi jawa pra Islam.
·        Priyayi adalah status social atau golongan social dalam komunitas Jawa dan tidak menunjukkan salah satu trdisi keagamaan khusus.[6]



Latar Belakang
Agar dapat mengerti timbulnya santri dan abangan sebaiknya diusahakan memeriksa struktur pengislaman diJawa sehubungan dengan kebudayaan jawa sebagai asal ususl lingkungan bagi golongan tersebut. Pertama-tama kita harus memastikan arti sebuah kebudayaan sebagai latar belakang lingkungan bagi sebuah kebudayaan sebagai latar belakang lingkungan bagi sebuah masyarakat. Kita menggambarkan kebuadayaan dalam hal ini, sebagai hubungan-hubungan antara manusia dengan lingkungannya (baik social atau fisik). Serta antara pranata yang diciptakan oleh manusia dalam menjalankan hubungan tersebut.
Sampai ukuran tertentu, kita juga memandang kebudayaan sebagai pranata, pola perilaku perseorangan dan antar pribadi. Serta sebagai satu system kepercayaan yang semuanya mempunyai hubungan antara satu dengan yang  lainnya. Dengan kata lain kebudayaan sebagai latar belakang lingkungan bagi suatu masyarakat. Tidak begitu saja merupakan sekelompok cirri-cir yang mandiri, sebaliknya adalah rangkaian perwujudan social yang saling terjalin. Dalam hubungan ini latar belakang social bagi golongan santri dan abangan sebaiknya diperiksa melalui telaah yang mendalam tentang masyarakat jawa, agar orang dapat mengerti orang jawa, guru mengenali peradabannya, serta untuk menganalisa  segi-segi masyarakatnya.[7]
E.     Cirri-ciri Santri dan Abangan dalam Kepercayaan dan Amal Agama
Agar dapat membentuk pengertian dasar tentang kepercayaan dan amal para santri dan abangan agaknya ada gunanya jika menempatkan agama-agama yang mempengaruhi orang jawa dalam waktu secara kronologis.[8]
Setelah zaman prasejarah serta kurun kepercayaan animis, hinduisme tiba di pualu  Jawa. Menurut kebanyakan dugaan Jawa dan pulau-pulau sekitarnya menganut agama Hindu dimulai pada abad pertama masehi. Sebaliknya peradaban india mulai abad ke 5. Kerajaan jawa hindu berlangsung dari abad ke 8 sampai ke 16 dan dibagi menjadi dua bagian yaitu: kerajaan jawa tengah dan jawa timur. Pada abad ke 16 suburlah kebudayaan hindu dan budha, jadi jelaslah bahwa hindu budha yang dibawa india ke jawa diterima baik oleh orang Jawa.
Roh-roh lain yang tidak terhitung banyaknya yang baik atau jahat, hidup dalam setiap benda dalam rimbah gua dan tanah tandus. Agar tidak menjadi koraban roh-roh jahat tersebut kebanyakan orang Jawa begadang sampai tengah malam.selama mereka berjaga mereka membaca ayat Al-Qur’an atau mendengungkan pujian-pujian sambil berdo’a kepada Tuhan agar terhindar dari segala penyakit. Missal kadang ada yang mengguanakan jimat yang isinya mantera, dari kata dalam bahasa Arab azimah, Zimat ini berasal dari ayat Al-Qur’an dan salah satu rumus arab lainnya. Tujuannya adlah agar hidup damai dan bias berjalan lancer.[9]
Ibadah yang abangan meliputi upacara perjalanan penyembahan roh halus, upacara cocok tanam dan tata cara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan pada roh jahat. Upacra pokok dalam agama jawa tradisional dalah slametan. Orang jawa khususnya abangan percaya atas kemampuan dukunyaitu seorang pengendali roh-roh.
Kepercayaan agama abangan dengan santri sangatlah berlawanan. Perbedannya dilihat dari berbagai segi. Diantra para santri perhatian terhadap ajaran islam hamper seluruhnya mengatasi segi-segi upacaranya. Bagi santri arti penting buakan saja terletak pada pengetahuan tentang seluk beluk upacara tetapi juga pada penerapan ajaran Islam dalam kehidupan.
Para santri lebih memperhatikan ajaran Islam dari pada upacaranya. Sementara para abangan lebih menekan perincian upacara. Pesanteran pada awalnya   berdiri merupakan pranata keagamaan tradisional yang terbaik guna mempersiapkan pemuda yang sedang muncul dalam masyarakat.[10]
Kepercayaan-kepercayaan religious para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsure-unsur alamiyah secara animis yang berkal dalam agama hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh jajaran Islam.
Roh-roh yang disembah oleh orang jawa pada umumnya disebut Hyangi atau yang berarti “Tuhan”. Tuhan dalam bahasa Jawa terkadang dinamakan hyang maha kuwasa (tuhan yang maha kuasa). Sohlat sehari-hari disebut sembahyangdalam bahasa jawa kata ini berasal dari sembah yang berarti penyembahan dan yang artinya Tuhan.[11]
Tak seorangpun yang menhitung jumlah para Tak seorangpun yang menhitung jumlah para yang. Diantaranya terdapat danyang desa (roh pelindung esa). Orang jawa menganggap bahwa setiap desa mempunyai roh pelindung yang tinggal dalam sebatang pohon yang rindang.
Adanya Interrelasi terhadap bidang kepercayaan dan ritual karena zaman dahulu itu belum mengenal agama melainkan kepercayaan mereka terletak pada animisme dan dinamisme. Contoh dari adalah dapat dilihat dari teater di Indonesia yang berawal dari teater ritual itu sendiri. Ritual dalam teaterdi Indonesia merupakan manifestasi yang bersifat religi dan sosial. Teater di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan bentuk baku kebudayaan di Indonesia yang merupakan persekutuan antara dimensi religi, sosial, politik hingga ekonomi. Teater modern maupun kontemporer dan eksperimental di Indonesia membangun keterlibatan yang lebih spesifik terhadap dimensi religi, sosial dan politik. Apa yang di presentasikan dalam teater tersebut adalah apa yang ada didalam diri kita masing-masing dan memiliki konskuensi apa keberadaan dan kemakhlukan didalam teater itu, memasuki konsekuensi keberadaan kemakhlukan yanh lain. Contoh dari kepercayaan adalah: adanya upacara dalam penyembahan roh halus dimana dalam upacaran tersebut mereka menganggap bahwa mereka akan terhindar dari perasaan hendak menyerang orang lain atau dari gangguan emosional dan tidak terganggu oleh kesulitan, alamiah, dan ganjalan ghoib.



IV.  KESIMPULAN

 Dari makalah diatas daoat disimpulkan bahwa Islam dijawa juga mengenal beberapa penggolongan tingkat ketaatan orang jawa bahwa dalam menjalankan ajaran Islam. Mereka disebut golongan santri dan abangan. Santria adalah para orang muslim yang taat menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh, sedangkan abangan adalah orang muslim yang ibadahnya belum seberapa, sementara cara hidupnya masih dipengaruhi oleh tradisi jawa pra Islam. Dan keyakinan yang berkembang dari hasil interrelasi adalah meliputi Animisme dan Dinamism. Animism adalah kepercayaan terhadap roh nenek moyang, dan Dinamisme yaitu kepercayaan terhadap yang ghaib.

V.     PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami buat, semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bermanfaat bagi semua. Kami sadar banyak kekeliruan dan kesalahan kami mohon maaf jika ada kesalahan dalam pengetikan makalah maupun dalam penyajian makalah. Kami hanyalah manusai yang tidak sempurna yang tak luput dari kesalahan. Oleh karena itu kami mohon kritik dan saran agar  pembuatan makalah besok lebih sempurna.
Dan akhirnya kami meminta maaf apabila terdapat banyak kesalahan baik dalam sistematika penulisan, isi dari pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi. Semoga wadah ini dapt bermanfaat bagi pemakalah sendiri pada khususnyadan para pembaca sekalian yang budiman pada umumnya dalam mengarungi kehidupan ini. Amiiin…







DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. Durori, Islam dan Kebudayaan Jawa. Gema Media. Yogyakarta: 2002
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. Jakarta Pusat: 1981
Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Bumi Aksara. Jakarta: 1999
Muchtarom, Zaini. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Salemba Diniyah. Jakarta: 2002
Ridin, Sufyan, dkk.  Merumuskan Kembali Interrelassi Islam Jawa. Gramedia. Yogyakarta: 2004



[1] Amin, M. Durori, Islam dan Kebudayaan Jawa. Gema Media.hlm :10-19
[2] “Ibid”
[3] Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa.hlm:10-15
[4] “Ibid”
[5] “ibid”
[6] Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar.hlm:11-20
[7] “ibid”
[8] Muchtarom, Zaini. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan.hlm:15-18
[9] “ibid”
[10] Ridin, Sufyan, dkk.  Merumuskan Kembali Interrelassi Islam Jawa.hlm:20-24

[11] “ibid”

No comments:

Post a Comment