Tuesday, February 21, 2012

DALALAH YANG JELAS DAN YANG SAMAR


A.       PENDAHULUAN
Di dalam mempelajari Ilmu Ushul Fiqh nash syara’ atau undang-undang harus dilaksanakan sesuai dengan pemahaman dari ungkapan, isyarat adalah petunjuk atau tuntutannya. Karena sesuatu yang dipahami dari nash dengan salah satu diantara empat cara tersebut adalah pengertian nash.
Arti global dari kaidah ini adalah bahwa nash syara’ atau undang-undang kadang-kadang mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena cara pengambilan makna yang berbeda pengertiannya tidak hanya dipahami dari ungkapan hurufnya saja, bahkan ia sendiri jika mungkin menunjukkan beberapa makna yang diambil dari isyarat. Setiap pengertian yang diambil dengan cara tersebut adalah merupakan makna nash, sedangkan nash itu adalah dalil dan argumen dan makna itu. Makna itu harus dilaksanakan, karena seorang mukalaf dengan nash undang-undang dituntut untuk melaksanakan sesuatu yang ditunjuk oleh nash dengan berbagai cara mengambil makna yang ditetapkan dari aspek bahasa.
Bila ia telah melaksanakan makna nash itu menurut suatu cara pengambilan makna tetapi ia mengabaikan makna lain yang menggunakan cara pengambilan yang lain, maka  berarti ia menyia-nyiakan nash dari sebagian sisi. Oleh karena itu para Ulama’ Ushul berkata: wajib melaksanakan makna yang ditunjukkan oleh ungkapan jiwa dan rasionalitas nash. Sedangkan arti kaidah itu secara rinci adalah menjelaskan maksud dan masing-masing teori pengambilan makna yang empat dengan contoh dari nash undang-undang syara’.[1]

B.       PEMBAHASAN
A.  Dalalah Yang Jelas.
Dalalah yang jelas ialah makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar. Maka jika nash itu mengandung ta’wil, dan yang dimaksudkan bukan tujuan asal itu disebut azh-zhahir  dan jika mengandung takwil, yang dimaksud adalah tujuan asal redaksi katanya, itu disebut an-nash.dan jika tidak mengandung kakwil serta hukumnya menerina naskh (penghapusan), itu disebut al-mufassar (yang ditafsirkan). Dan tidak mengandung takwil serta hukumnya tidak mengandung naskh, disebut al-muhakkam (yang ditentukan hukumnya).
Setiap naskh yang jelas dalalahnya, harus diamalkan menurut makna yang jelas atas naskh itu sendiri.
Asas perbedaan antara yang jelas dalalahnya dan yang tidak ialah makna itu senderi dengan memperhatikan faktor. Makna nash yang  dapat di pahami dengan bentuk nashk itu sendiri  tanpa memperhatikan faktor luar, adalah nash yang jelas dalalahnya.sedangkan nash yang maksudnya tidak dapat dipahami kecuali dengan memperhatikan faktor luar, adalah nashk yang tidak jelas dalalahnya.
Sedangkan asas perbedaan didalam tingkatan- tingkatan kejelasan itu, ialah ada dan tidak adanya kemungkinan mentakwilinya. Maka nash yang maknanya dapat dipahami bentuk nash itu sendiri adalah yang lebih jelas dalalahnya dari pada nash yang lainnya, serta ada kemungkinan dapat dipahami dari arti yang lainnya. [2]
Asas yang berlaianan pada tingkat kesembunyiannya  yaitu kemampuan untuk menhilangkan yang tersembunyi dan meniadakannyat. tidak ada jalan untuk menghilangkan yang tersembunyi itu kecuali kembali pada sumbernya yaitu syari’. untuk menghilangkan yang tersembunyi itu ialah dengan pembahasan dam ijtihad.[3]



Bagian nash yang jelas dalalahnya

a)     Azh-Zhahir
Azh-Zhahir dalam istilah usul yaitu apa yang menunjukkan maksut dari pada sighot itu sendiri, tanpa menghentikan maksud yang menjadi pokok pembicaraan. Dia mengandung takwil.bila ada maksud memahami kata- kata tanpa memerlukan qarinah.maka.kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.
 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Yang artinya :Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.(q,s 2).

Pada zahirhya dihalalkan jual beli itu, dengan diharamkan setiap riba. Karena pengertian inilah yang cepat dipahami dari lafadznya. Dihalalkan dan diharamkan tanpa memerlukan qarimah. Bukan maksud pokok dari ayat tersebut. Ayat ini sebagaimana yang dikemukakan di atas menjadi pembicaraan orang banyak. Untuk menafikan apa yang dikatakan orang,- bahwa jual beli itu adalah seperti riba. Bukan untuk menyatakan hukum kedua hal ini. Berfiman Allah dalam Al- Qur’an (Qs. An-nisa: 3)
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (
#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja

Pada zahirnya diperbolehkan mengawini perempuan-perempuan yang halal, karena ini pengertian yang cepat difahamkan dari lafadz,- maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi, tanpa memerlukan Qarinah. Bukan maksud pokok pembicaraan ayat. Maksudnya yang asli ialah mencukupkan jumlah empat atau seorang, sebagaimana yang dikemukakan diatas. Berfiman dalam Al-Qur’an:
!$¨B!r ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah(QS. Al-Hasr:7)[4]

pada zahirnya wajib taat kepada rasul, segala apa yang diperintahkannya dan segala apa yang dilarangnya. Karena inilah yang dapat dipahamkan dari ayat tersebut. Bukan ini maksud pokok dari pembicaraan. Yang menjadi pokok adalah hrta rampasan yang diberikan oleh rosul, ketika ia membagi-bagikannya, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya maka hentikanlah. Kata Nabi SAW. Tentang air laut: “laut itu suci airnya dan halal mayatnya”.
Pada zahirnya hanya masalah hukum memakan bangkai ikan laut. Karena tidak merupakan maksud pokok dari pembicaaan, jika pertanyaan itu khusus air laut. Hukum zahir itu wajib beramal dengannya yaitu menurut apa yang dizahirkannya, tanpa memerlukan dalil untuk menjelaskannya. Yang penting tidak ada penyimpangan lafadz dari pernyataan, kecuali dengan mempergunakan dalil. Dia mengandung ta’wil artinya penyimpangan dari zahirnya dan ada maksud lain dari artinya itu. Yang zahir itu pada umumnya mengandung hal-hal yang khusus. Yang muthlak itu mengadung hal-hal yang dikaitkan. Yang hakikat itu mengandung yang dimaksud dengannya makna majazi(arti kiasan). Selain itu adalah dari bentuk ta’wil. Dia menerima nasikh. Artinya, hukum itu jelas dan sahpada risalah dan pada zaman tasyrik’. Lalu dinasikhkan dan ditasyri’kan. Hukum itu diganti, apabila ada hukum-hukum furu’iyah juz-iah yang berubah-ubah dengan perubahan mashalih dan menerima nasikh.

b)   Nash
Menurut istilah ulama’ ushul , ialah nash yang di bentuknya itu sendiri telah dapat menunjukkann kepada makna yang dimaksud oleh asal redaksi katanya, dan bisa menerima takwil. Maka ketika telah terdapat maksud yang segera dapat dipahami dari lafazh, dan untuk memahaminya tidak mempehatikan faktor luar, sedangkan itu adalah tujua asal redaksi kata, maka lafazh itu di anggap sebagai nash atau makna tersebut firman Allah SWT:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Yang artinya :Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.(q,s 2)

Ini adalah nash yang meniadakan persaman antara jual beli dan riba, karenaitu adalah makna yang segera dapat dipahami dan lafazh, dan pejual asal redaksi kata. Firman Allah:
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.


Adalah nash untuk membatasi maksimal batas bilangan istri kepada empat karena itu adalah makna yang segera difahami dari lafazh dan tujuan dari redaksi kata.
Hukum An-nas iu adalah hukum zhahir, jadi wajib mengamalkan makna yang dinash oleh hukum zahir itu. Hukum zahir itu mungkin bisa di takwili, artinyadimaksudkan dari padanya selain makna yang dinash olehnya. Jiga bisa menerima nash menurut keterangan yang telah kami jelaskan dalam azhahir.
     Jadi masing-masing azhahir dan An-nash itu adalah jelas dalalahnya menurut artinya. Artinya pemahaman trhadap yang dimaksud oleh masing-masing azhahir dan An-nash itu tidak memperhatikan faktor luar. Dan wajib mengamalkan makna, yang menunjukkan dalalah masing-masing azhahir dan An-nash telah jelas menunjukkan kepadanya masing-masing azhahir dan An-nash itu bisa menerima takwil. Yaitu jika dimaksuskan dari padanyaselain arti yang telah jelas dalalahny kepadanya apa bila tidak terdapat suatu yang menghendaki pentakwilan. Takwil menurt bahasa artinya menjelaskan suatu yang kembali kepada sesuatu hal. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah memalingkan lafazh dan zhahirnya lantaran ada dalil.
     Diantara contoh-contoh takwil yang shahih yaitu mengkhususkan ke umuman jual beli dalam firman Allah SWT
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Yang artinya :Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.(q,s 2). [5]

Dengan hadits-hadits yang melarang jual beli ghoror, jual beli seorang akan benda yang tidak ada bedanya, dan jual beli buah sebelum jelas kebaikannya. Takwil seperti ini adalah termasuk takwil zhahir, karena ayat itu seperti yang telah kami terangkan diatas, adalah nash yang jelas dalam menghalalkan setiap bentuk jula beli, dan sebagai nash dalam meniadakan persamaan.


c)    Mufasir
Dalam istilah ushul yaitu apa yang menunjukkan dengan sendirinya atas makna yang terpisah dan terperinci. Tidak ada yang tinggal hal-hal yang mengandung sesuatu untuk ditakwilkan. Maka dari itu ada sighat yang menunjukkan dengan sendirinya dalil-dalil yang jelas atas pengertian yang terpisah. Didalamnya apa yang menafikan maksud yang trekandung, yang bukan maknanya. Seperti firman tuhan mengenai mengkhasaf perempuan yang tidak bernoda. Didalam surat An-nur ayat empat yang artinya:”maka deralah (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Kalimat ini jelas, tidak mengandugn penambahan dan pengurangan. Firman tuhan yang berbunyi,- bunuhkah olehmu orang musyrik itu semuanya.  Kata-kata semua disi menafikkan hal-hal yang mengandung takhsis. Banyak teks pasal undang-undang yang mengenai saksi hukuman yang membatasi saksinya itu terhadap kejahatan yang sudah terbukti.

d)   Muhkam
Dalam istilah ushul yaitu apa yang menunjukkan atas arti yang tidak menerima pembatalan dan tidak boleh dipertukar-tukarkan dengan sendirinya oleh dalil-dalil nyata. Dan disamping itu tidak mengandung hal-hal takwil. Ia tidak mengandung takwil. Artinya maksud arti lain, selain apa yang dinyatakannya itu. Karena orang yang menguraikan dan menafsirkan itu, disini tidak lapanganya untuk ditakwilkan. Dan tidak menerima nash dimasa risalah dan di zaman fitrah dan pada masa sesudah itu hukum mempergunakanya.
     Dan ada hukum asasi dari peraturan agama. Tidak mengalami perubahan, seperti ibadat kepada Allah AWT. Beriman kepada kitab-kitabnya dan rasul-rasulnya. Atau fadilah-fadilah yang penting. Disini tidak terdapat perbedaan dengan perbedanya keadaan. Memulyakan ibu dan bapak. Berlaku adil. Atau hukum furu’ yang terperinci taapi syari’ menunjukkan untuk menguatkan tasyriknya, seperti firman tuhan tentang mengkazaf perempuan yang tidak bermodal. Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
     Hukum diwajibkan secara Qathi’ Tidak mengandung hal-hal yang menyimpang dari zhahirnya. Dan tidak boleh dinasikhkan. Kami katakan tidak menerima nasih. Karena sesudah Rasulullah SAW wahyu sudah terputus turunya, hukum-hukum syariat yang terdapat dalam Al-qur’an itu, begitu sunah menjadi muhkam, tidak menerima nasikh dan tidak boleh dibatalkan. Sesudah Rasulullah tidak tedapat kekuasaan tasyrik yang dapat membatalkan apa yang dibawa oleh Rasulullah dan mengubah-ubahnya. [6]

B.  Dalalah Yang Tidak Jelas
Nash yang tidak jelas dalalahnya yaitu nash yang bentuknya itu sendiri tidak bisa menunjukkan kepada arti yang dimaksud dari padanya bahkan untuk memahami maksud dari padanya itu diperlukan faktor dari luar. Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut al-khafi,atau al-musykil. Dan jika kesamarannya itu tidak bisa dihilangkan kecuali dengan mengambil penjelasan dari syari’ itu sendiri, maka dalil itu disebut al-mujmal. Dan jika tidak ada jalan yang sama sekali untuk menghilangkan kesamarannya itu, maka dalil itu disebut al-mutasyabih.
Di dalam kaidah telah kami terangkan, bahwa tingkatan dalil yang jelas dalalahnya itu berbeda dalam kejelasannya. Disana juga telah terangkan bagiyan- bagiyan dalil itu. Dan disini akan kami jelaskan bagian-bagian yang tidak jelas dalalahnya serta tingkatan-tingkatan kesamarannya dan hal- hal yang dapat digunakan untuk menghilangkan kesamarannya itu.
Bagian nash yang tidak jelas dalalahnya.
Para  ulama’ telah membagi dalil yang tidak jelas dalalahnya itu kepada empat bagian:
a)    Al-khafi
Menurut uluma’ ushul ialah lafal yang menunjukkan kepada artinya secara jelas, tetapi dalam menerapkan artinya itu kepada sebagian dari beberapa person merupakan macam yang samar dan tidak jelas. Yang untuk menghilangkan kesamaran dan ketidak jelasan itu merupakan upaya berfikir secara mendalam. Maka demikian lafazh itu dianggap samar apabila dihubungkan kepada sebagian dari beberapa person itu. Tempat lahirnya kesamaran ini, ialah bahwa satuan didalam lafazh itu merupakan sifat tambahan atas satuan-satuan yang lain, atau satuan itu mengurangi sebuah sifat dari satuan itu, atau itu mempuyai nama yang husus. Maka tambahan atau pengurangan atau penamaan yang husus itu, menjadikan lafazh sebagai tempat kesamaran. Jadi lafazh itu samar bila dihubungkan kepada satuan ini, karena memperolehnya lafazh kepada satuan ini tidak dapat dipahami dari keadaan lazim itu sendiri, bahkan memerlukan faktor luar.
Umpamanya lafazh mencuri artinya jelas, yaitu mengambil milik orang lain secara secara sembunyi- sembunyi.tapi itu tertutup rapat kepada sebagian ifrad, semacam hal yang tersembuni. Seperti pencopet.dia mengambil harta orang lain itu diwaktu hadir dan jaga. Semacam kemahiran tangan dan kesigapan mata. sipencuri itu melakukan penipuan. Dalam hal ini sifatnya itu meningkat yaitu berani mencuri. Untuk ini dinamakan nama husus. Adakah orang yang membenarkan lafal mencuri ini, maka dipotong tangan. Atau jika tidak membenarkan maka dijatui hukuman. Ditetapkan dengan ijtihad denagan sepakat. Wajib potong tangan dengan berdasarkan dalil nash. karena  di utamakan dari pihak hukum ialah sebab pertentangan tangan menimbulkan rasa puas,
Dan seperti mencuri barang-barang dalam kubur. Dia mengambil harta dalam kubur orang mati. Hal ini tidak di benarkan oleh adat, mencuri kain kafan dan pakaian mayat. Dari situ pihak si pencuri ini tadak mengambil yang dimiliki dari orang yang menjaga. Untuk ini dinamakan dengan nama khusus. Apakah dibenarkan orang ini lafadz mencuri yang harus di potong tangannya? Atau tidak dibenarkan lalu dijatuhkan sanksi hukuman. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Yusuf orang ini mencuri harus di potong tangannya. Menurut ulama’ Hanafi orang ini bukan mencuri. Sanksi hukuman yang di jatuhkan kepadanya itu cukup berat, yaitu memasukkannya dalam penjara, tidak usah potong tangan. Karena dia mengambil harta itu bukan berdasarkan keinginan, dan tidak pula merupakan milik seorang. Dan tidak seorang juga yang menjaganya setelah jatuh ke liang lahat.
Oleh sebab itu, sebagian orang berpendapat bahwa orang yang mencuri barang barang dalam kubur itu adalah termasuk mencuri. Hal ini berdasarkan ijtihat. Untuk menghilangkan hal-hal yang masih diragukan ini yaitu ialah dengan ilat hukum dan hikmahnya. Hal ini bukan berdasarkan Nash, karena Nash tidak ada yang mengaturnya.[7]



b)   Musyakal.
Musyakal dimaksud dengan istilah ushul ialah lafadz yang tidak ditunjukkan dengan sighatnya tentang apa yang dimaksudnya itu. Tapi tidak dapat Qarinah luar yang menerangkan apa yang dimaksudnya itu. Qarinah ini masih dalam pembahasan sebab tersembunyi dalam persembunyiannya itu, bukan dari lafadz itu sendiri, tapi masih diragukan. Menutup rapat-rapat arti beberapa ifrad untuk pembuatan luar, adapun sebab tersembunyi pada musyakal, maka dari lafadz itu tersendiri karena menurut bahasa dia mempunyai beberapa makna. Orang tidak akan mengerti arti yang dimaksudnya itu dengan sendirinya atau karena bertentangan dengan apa yang dipahamkan dari Nash, disamping apa yang dipahamkan dari Nash lain.
Kadang-kadang timbul kesulitan pada Nash, karena dalam hal ini ada lafadz itu yang musytarak (mempunyai lebih dari satu arti) dalam sighatnya itu tidak terdapat sighat yang menunjukkan pengertian yang jelas dari apa yang di ucapkannya itu karena itu makna tidak dapat tidak harus ada qarinah luar yang menjelaskannya seperti lafadz Quruk dalam firman Tuhan yang berbunyi: (QS 2:228)

 وا للمطلقت يتر بصن با نفسهن ثلثة قروء

Yang arinya: Perempuan-perempuan yang ditalk itu hendaklah menunggu tiga kali quruk (QS Al- Baqoroh: 228)
Menurut bahasa Quruk ini artinya suci dan Haidh, dua arti yang dimaksudkan dalam ayat itu apakah masa Idah itu berlaku tiga kali haidh atau tiga kali suci. Menurut Syafi’i dan mujtahid-mujtahid yang dimaksud dengan quruk pada ayat ini adalah suci. Qarinah disini adalah tasniyah, yaitu isim adat ( kata benda yang menunjukkan bilangan) disini menunjukkan atas bilangan yang tersebut, yaitu suci bukan haidh. Menurut madhab hanafi dan sebagian mujtahid yang lain yang dimaksud quruk pada ayat ini ialah Haidh.
Seluruh nash itu pada zahirnya bertentangan. Jalan untuk menghilangkan kesulitan yang sulit memecahkannya itu ialah dengan ijtihad. Apabila terdapat dalam satu nash lafazh musytarak, maka harus dihubungkan qarinah dan  menunjukkan apa nyang dilakukan oleh syari’ untukn menghilangkan  kesulitan itu tidak menerangkan apa yang dimaksud. Sebagai mana penjelasan mayat. Dalam menerangkan masalah ini maka ternyata pendapat ulama’ berbeda- beda. Disini terdapat nash pada zahirnya ada pertentangan. Maka disini mujtahid harus mentakwilkan dengan takwil byang benar. Dicoba mencocokkan dan menghilangkan perbedaan itu. Dalam mentakwilkan itu harus ditunjukkan bahwa ada nash- nash lain atau qawa’i, atau hikmah tasyri’.

c)    Mujmal.
Yang dimaksud dengan mujmal dalam istilah ushul yaitu lafazh yang tidak ditunjutkan maksudnya oleh sighotnya itu. Disini tidak terdapat  qarinah yang berkenaan dengan lafazh, atau hal- hal yang menerangkan. Sebab tersembunyi. dalam hal ini ada lafazh yang dinukil oleh syari dari makna lughawi  (arti menurut bahasa). Dann menempatkannya bagi makna istilah syari’ husus. Seperti lafazh sembahyang, zakat, puasa, haji, dan riba.lain dari itu juga lafazh yang dimaksud syari’, arti syari’ husus, bukann makna lughawi.
Apabila terdapat mujmal pada nash syari’ sebelum ditafsirkan oleh syari’ itu sendiri, untuk itu dikemukakan oleh sunah amaliyah dan qauliah, menafsirkan sembahyang dan menerangkan rukun- rukunnya, syarat- syaratnya dan cara- caranya. Kata nabi SAW ,- sembangyang lah kamu sebnagaimana kamu lihat aku sembahyang. Demikian Nabi menafsirkan zakat, puasa, haji, riba dan segala yang dikemukakan secara mujmal oleh nash Al-Qur’an. Dalam hal lafazh mujmal, ada lafazh gharib (aneh) yang ditafsirkan oleh nash itu sendiri dengan arti khusus. Seperti lafazh Al Qarinah yang terdapat dalam firman Tuhan (Q S Al-Qoriah :1-4)
القرعة    ماالقارعة     وماادرىك ماالقارعة     يوم يكون الناس كالفرش المبثوث 


Yang artinya: hari qiamat. Apakah haari qiamat itu?tahukah kamu apa hari qiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai- anai yang berterbangan(Q S Al-Qoriah :1-4)

Lafadz halu’, yang terdapat pada ayat yang berbunyi:

ان لانسان خلق هلوعا    اذامسهالشرجزوعا    واذامسه الخيرمنوعا

Sesungguhnya manusia diciptakan keluh kesal lagi kikir, apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kesenangan dia amat kikir. (Q.S 70 : 19-21).
Pada mujmal ini juga terdapat dalam undang-undang hukkum positif wakaf itu terdapat dalam pasal 16 peraturan pemerintah tentang masalah hukum keluarga.
Mujmal dari salah satu sebab yang tiga tersebut di atas tidak ada jalan untuk menyatakanya dan membuangkan ijmalnya dan menafsirkan maksudnya, keculai dengan mengembalikan kepada syari yang mengijmalkanya itu. Karena ialah yang tidak menerangkan maksudnya itu, dan bukan pula menunjukkan dengan lafad-lafad dan bukan pula dari qarinah-qarinah luar. Kepadanya di kembalikan untuk menerangkan apa-apa yang masih diragukan. Apabila bersumber dari syari pernyataan bagi mujmal, maka pernyataan itu adalah cukup qathi. Denganya itu maka ia menjadi mujmal olaeh yang ditafsirkan, seperti pernyataan yang bersumberdari mufashal adalah unuk zakat, sembahyang , haji dan lain-lainya.
Apabila pernyataan itu bersumber dari syari tentang mujmal, tapi pernyataan itu tidak cukup untuk menghilangkan ijmal,, maka hal ini akan menjadi masalah yang sulit. Disini terbukalah jalan untuk membahas dan ber ijtihad, untuk menghilangkan kesulitan itu, pernyataan ini tidak akan terhenti dengan mengembalikan kepada syari, ketika syari menerangkan apa yang di ijmalkanya itu, membukakan pintu untuk melakukan ijtihad dan memperhatikan sungguh-sungguh.

d)   Mutasyabih.
Yang dimaksud dengan mutasyabih dalam istilah usul, yaitu lafazh yang tidak di tunjukkan oleh lafazh nya tiu sendiri kepada maksud itu. Dan tidak terdapat qarinah luar yang menerangkanya.disini syari’ di pengaruhi oleh ilmulnya. Bukan mentafsirkanya. Dengan pengertian ini, tidak satu juga Mutasyabih itu yang terdapat pada nash yang berkenaan dengan tasyri’. Lafazh mutasyabih itu tidak terdapat dalam ayat-ayat hukum dan hadist-hadits hukum. Tidak ada jalan untuk mengetahui maksudnya. Hanya terdapat pada tempat-tempat lain dari nash-nash itu. Misalnya pada huruf potong yang terletak pada permulaan surat
ا ل م - ق- ص- ح- م

Misalnya ayat-ayat yang menerangkan bahwa Allah serupa dengan makhluknya. Dalam hal, di mempunyai Mata, Tangan, dan tempat. Misalnya firman tuhan yang berbunyi,-
-          Tangan Allah di atas tangan mereka.
-          Dan bikinlah kapal itudengan mata kami dan wahyu kami.
-          Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan dia yang keempatnya. Tidak lima orang melainkan dia yang ke enamnya. Tidak ada pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu, dan tidak ula lebih, melainkan dia besertanya, diman mereka berada.
Huruf-huruf hija-iah potong yang terdapat pada permulaan surat itu, bukan ia sendiri yang menerangkan maksudnya. Allah tidak menerangkan apa maksdunya. Di sendirilah yang mengetahui maksudnya itu. Demikian pula ayat-ayat yang masih di keragui. Pada zhahirnya Allah itu serupa dengan makhluknya. Tidak mungkin difahami dari ayat itu arti lafazh itu secara lughowi. Karena Allah itu suci dari tangan, mata, tempat dan sekalian apa yang menyerupai makhluknya.[8]

C.       KESIMPULAN
Dalalah yang jelas dari nash ialah makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar. Setiap naskh yang jelas dalalahnya, harus diamalkan menurut makna yang itu adalah yang jelas atas naskh itu.tidak boleh menta’wili naskh yang mengandung takwil kecuali dengan adanya dalil. Asas perbedaan antara yang jelas dalalahnya dan yang tidak ialah dalalah nas itu senderi atas makna yang dimaksud dengan memperhatikan atau tidak tehadap faktor luar. Sedangkan asas perbedaan didalam tingkatan- tingkatan kejelasan itu, ialah ada dan tidak adanya kemungkinan mentakwilinya.
Bagian nash yang jelas dalalahnya
Zahir
Zahir dalam istilah usul yaitu apa yang menunjukkan maksut dari pada itu dengan sighot itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksutnya itu ialah hal- hal yang menjadi pokok pembicaraa
Nash
Menurut istilah ulama’ ushul , ialah nash yang di bentuknya itu sendiri telah dapat menunjukkann kepada makna yang dimaksud oleh asal redaksi katanya, dan bisa menerima takwil
Mufasir
Dalam istilah ushul yaitu apa yang menunjukkan dengan sendirinya atas makna yang terpisah dan terperinci. Tidak ada yang tinggal hal-hal yang mengandung sesuatu untuk ditakwilkan
Muhkam
Dalam istilah ushul yaitu apa yang menunjukkan atas arti yang tidak menerima pembatalan dan tidak boleh dipertukar-tukarkan dengan sendirinya oleh dalil-dalil nyata.
Bagian nash yang tidak jelas dalalahnya.
Para  ulama’ telah membagi dalil yang tidak jelas dalalahnya itu kepada empat bagian:
Al-khafi
Menurut uluma’ ushul ialah lafal yang menunjukkan kepada artinya secara jelas, tetapi dalam menerapkan artinya itu kepada sebagian dari beberapa person merupakan macam yang samar dan tidak jelas.
Musyakal.
Musyakal dimaksud dengan istilah ushul ialah lafadz yang tidak ditunjukkan dengan sighatnya tentang apa yang dimaksudnya itu
Mujmal.
Yang dimaksud dengan mujmal dalam istilah ushul yaitu lafazh yang tidak ditunjutkan maksudnya oleh sighotnya itu. Disini tidak terdapat  qarinah yang berkenaan dengan lafazh, atau hal- hal yang menerangkan.
Mutasyabih.
Yang dimaksud dengan mutasyabih dalam istilah usul, yaitu lafazh yang tidak di tunjukkan oleh lafazh nya itu sendiri kepada maksud itu





D.       PENUTUP
Demikianlah makalah yang saya buat, semoga apa yang saya sampaikan dalanm makalah ini daspat bermanfaat bagi penyusun khususnya, maupun bagi teman-teman sekalian. Saya menyadari bahwa didalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan, baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Untk itu kritik dan saran yang membangun saya harapkan  untuk kesenmpurnaan makalah selanjutnya, semoga dapat bermanfaat. Amin





DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah Kaidah Hukaum Islam, Jakarta:Rajawali,1998.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1993
Rasjid, sulaiman, fiqih islam, bandung: sinar baru Algen sido,1994.
Terjemah Al-Qur’an
r

[2] Abdul wahab khalaf, kaidah- kaidah hukum islam.jakarta: rajawali,1989,hlm:262-263.
[3] Abdul wahab khalaf, ilmu usul fikih: jakarta, PT rineka cipta,  1993, hlm: 200.
[4] Terjemah Al-Qur’an, surat Al-Hasr :ayat 7.
[5] Sulaiman rosjid, fikih islam: bandung, sinar baru Algensindo, 1994.hlm: 290.
[6] Opcit. Abdul wahab khalaf, kaidah-kaidah hukumn islam:hlm 264-276.
[7] Opcit.abdul wahab khalaf,ilmu usul fikih:hlm 210-212
[8] Ibid hlm: 218.,

No comments:

Post a Comment