Tuesday, February 7, 2012

DINAMIKA NILAI JAWA ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS


       I.            Pendahuluan
Sewaktu islam masuk ke tanah jawa masyarakat telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai yang bersumber pada kepercayaan animisme, dinamisme, hindu, budha. Dengan masuknya islam, maka pada wakyu selanjutnya terjadi perpaduan antara unsur-unsur pra hindu-budha, dan islam.
Budaya jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Dengan datangnya agama hindu dan islam, maka kebudayaan jawa kemudian menyerap unsur budaya-budaya tersebutsehingga menyatulah unsur pra Hindu, Hindu-Jawa, dan islam dalam budaya jawa tersebut.[1]Jadi, nilai jawa yang telah berpadu dengan islam itulah yang kemudian disebut budaya jawa islam.
Selain sifat dasar budaya yang terbuka, maka terjadinya perpaduan nilai budaya jawa islam tidak terlepas dari faktor sikap toleran para walisongo dalam menyampaikan ajaran islam di tengah masyarakat jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sinkretis itu.



    II.            Rumusan masalah
A.    Isi dan wujud budaya jawa islam
B.     Enkulturasi nilai budaya jawa islam
C.     Nilai budaya jawa islam di tengah modernisasi

 III.            Pembahasan
A.       Isi dan wujud budaya jawa Islam
Manusia dalam laku perbuatanya selalu memiliki tujuan yang berharga/ bernilai. Dan, nilai-nilai itulah yang menggerakan manusia untuk melahirkan konsep, gagasan, ide, perilaku, serta bentuk-bentuk kebudayaan fisik.
Koentjaraningrat menempatkan nilai budaya jawa pada lingkaran paling dalam, karena merupakan pusat dari unsur-unsur budaya lainnya. Kemudian disusul dengan lingkaran berikutnya yang disebut, “Sistem sosial” yang berupa pola tingkah laku dan tindakan ditempatkan pada lingkaran sesudahnya, dan lingkaran paling luar adalah “kebudayaan fisik” yang merupakan wujud konkret dari kebudayaan.[2]
Dengan menggunakan pola diatas, maka nilai budaya jawa islam yang religius magis menjadi penggerak dari munculnya corak pikiran, tingkah laku, maupun perbuatan manusia jawa Islam. Nilai budaya yang religius magis itu ikut memberikan arah pembentukan sistem budaya (gagasan atau knsep), sistem sosial (pola tingkah laku), dan hasil kebudayaan fisik (artifacts) yang bercorak jawa Islam.
Nilai budaya jawa islam yang “religius magis” itu telah tertanam begitu kuat dalam jiiwa masyarakat yang menganut  budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun-temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat jawa islam yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu, menurut kentjaraningrat, upaya mengganti nilai budaya jawa yang sudah mapan dengan nilai budaya lain memerlukan waktu yang lama.[3]
Dilihat dari proses pertumbuhan nilai budaya jawa islam, nilai itu muncul dalam masa transisi antara periode jawa Hinduisme dengan Islam. Oleh karena itu, nilai budaya pra Islam yang bercorak sinkretis tidak mudah untuk digantikan oleh budaya Islam yang bersumber pada asas monotheistis. Jadi, yang tercipta kemudian adalah perpaduan antara nilai budaya jawa dengan nilai budaya islam. Ketika nilai budaya jawa yang animistis magis berbenturan dengan nilai budaya islam yang monotheis, maka bentuk perpaduannya adalah akulturasi. Dimana  unsur budaya jawa masih tampak, demikian pula unsur islamnya. Misalnya puasa yang disertai puji dina.
Di kalangan orang jawa dikenal beberapa macam puasa seperti puasa mutih, patigeni, ngebleng, dan lain-lain, yang merupakan bentuk dari tirakat. Di antara puasa itu ada yang disertai dengan dzikir yang diambilkan dari asmaul husna. Seperti puasa yang dilakukan pada hari jum’at, dengan tidak makan nasi sehari semalam, disertai dzikir : Ya Kafiyu (Ya Qowiyyu= yang maha kuat) sebanyak 103 kali semalam. Orang  yang  melakukannya  dipercayai akan mendapat  anugerah Tuhan.[4]Selain bentuk akulturasi, ada pula nilai budaya jawa  yang berpadu dengan nilai budaya islam dalam bentuk asimilasi, di mana unsur-unsur dua budaya itu dapat menyatu sehingga tak dapat dipisahkan, misalnya gapura. Bentuk gapua itu tidak mengalami perubahan pada budaya jawa maupun islam. Gapura yang terdapat di tempat ibadah umat Hindu (pura), tidak berbeda dengan  yang ada di masjid maupun makam-makam.
B.       Enkulturasi nilai budaya jawa Islam

Nilai budaya jawa islam, yang terdiri dari gagasan atau konsep tentang berbagai hal, pada umunya dijadikan pedoman dalam kehidupan penganutnya. Agar dapat dijadikan pedoman, maka nilai yang masih bersifat abstrak itu diwujudkan dalam norma-norma untuk mengatur tindakan individu di berbagai lapangan. Maka muncul pranata-pranata bidang pendidikan, ekonomi, sosial, kesenian, agama, dan lain-lain. Pranata-pranata itu dipatuhi oleh penganut norma suatu kebudayaan.
Ditinjau dari sisi kepatuhan terhadap norma-norma beserta sanksinya, terdapat dua kategori norma, yaitu tata cara dan adat istiadat.[5]Norma yang berupa tata cara, jika dilanggar  tidak memiliki sanksi hukum yang berat. Pada umumnya hanya menjadi bahan gunjingan. Misalnya, menggunakan tangan kiri.
Berbeda dengan pelanggaran adat istiadat yang dapat dikenai hukum adat. Walaupun tidak terkodifikasikan, tetapi hukum adat telah diakui masyarakat pemakaiannya secara turun temurun. Jadi, bagi pelanggar adat, hukumannya lebih bersifat moral, yang mengakibatkan timbulnya ketegangan mental bagi para pelakunya. Misalnya tdak melakukan slametan pada peristiwa yang terkait dengan siklus kehidupan seperti mitoni, ruwatan, khitanan, perkawinan, kematian, dan lain-lain, dapat menimbulkan kekhawatiran akan datangnya malapetaka yang menimpa diri atau keluarganya.
Terkait dengan elkulturasi nilai budaya jawa islam, selain dilakukan secara individual oleh masyarakat, didukung pula oleh penguasa. Seperti yang di lakukan Sultan Agung, yang melakukan islamisasi budaya jawa, melalui berbagai cara, seperti penggantian kalender  tahun saka menjadi tahun jawa, yang mengadopsi hitungan tahun hijriah. Usaha islamisasi budaya jawa itu dilanjutkan sosialisasi sehingga budaya jawa islam tersebar secara luas di kalangan masyarakat. Upaya menumbuh suburkan budaya jawa islam itu dilanjutkan oleh keturunanya, yaitu raja-raja Surakarta dan Yogyakarta, pada abad 19. Diantaranya melalui penulisan serat-serat yang memuat ajaran moral maupun mistik jawa yang dipadukan dengan islam.
Adanya beberapa faktor yang mengancam eksistensi tradisi merupakan salah satu faktor yang mendorong kalangan kraton untuk menjaga kelestarian budaya jawa islam. Karena raaj-raja Surakarta pada masa itu, walaupun telah memeluk islam, tetapi masih mempertahankan budaya pra Islam karena adanya berbagai kepentingan.
Oleh karenanya pihak kraton mendukung penuh upaya enkulturasi nilai budaya jawa islam ke tenagah masyarakat. Karena raja memiliki pengaruh besar, maka penanaman nilai-nilai jawa islam berjalan lancar. Dalam konsep budaya jawa, raja memiliki kedudukan tertinggi dalam struktur masyarakat jawa. Raja sebagai penguasa tertinggi, tidak hanya menguasai wilayah, tetapi sekaligus rakyatnya. Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah kerajaan adalah milik raja. Maka mereka harus patuh terhadap perintah raja, termasuk untuk nguri-uri budaya jawa islam. Kepatuhan seseorang terhadap raja adalah mutlak. Dalam serat wulangreh, di ibaratkan seperti sarah munggeng jaladri, darma lumako sapakon, seperti sampah di laut, yang mengikuti ke mana air mengalir.[6]


C.       Nilai budaya jawa Islam di tengah modernisasi

Kebudayaan adalah hasil berpikir dan merasa manusia yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Wujud budaya tak terlepas dari situasi tempat dan waktu dihasilkan unsur kebudayaan tersebut. Oleh karenanya, dalam kebudayaan dikenal adanya perubahan. Seperti terjadinya penyempurnaan sehingga ditemukan adanya perkembangan budaya-budaya bangsa di dunia ini, dari tingkat yang paling sederhana ke arah yang lebih kompleks. Dengan terjadinya globalisasi di era modern ini, ada unsur budaya lokal yag memiliki nilai universal dan ditemukan pada bangsa-bangsa yang ada di belahan dunia yang lainnya.
Dalam proses perubahan kebudayaan ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah dan yang sukar berubah. Berkaitan dengan hal ini, linton membagi kebudayaan menjadi inti kebudayaan danperwujudan kebudayaan. Bagian ini terdiri dari sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang di anggap keramat, beberapa adat yang telah mapan dan telah tersebar luas di masyarakat. Bagian inti kebudayaan sulit berubah, seperti keyakinan agama, adat istiadat, Mupun sistem nilai budaya.[7]sementara itu wujud kebudayaan yang merupakan bagian luar dari kebudayaan, seperti alat-alat atau benda-benda  hasil seni budaya, mudah untuk berubah.
Dengan menggunakan kerangka teori di atas, maka nilai budaya jawa islam yang sulit berubah di masa modern ini adalah yang terkait dengan keyakinan keagamaan dan adat istiadat. Dalam konteks terjadinya perubahan ke arah modernisasi yang berciri rasionalistis, matrealistis, dan egaliter, maka nilai budaya jawa di hadapkan pada tantangan budaya global yang memiliki nilai dan perwujudan budaya yang pluralistik. Sebagai budaya lokal, budaya jawa islam memang memiliki nilai universal, di samping nilai lokalnya. Di antara nilai keuniversalan itu terletak pada nilai spiritualnya yang religius magis. Nilai yang religius magis pada era modern ini juga di temukan pada budaya-budaya negeri lain, tidak terbatas pada budaya jawa. Maka niai itu tampaknya masih akan hidup di masyarakat penganutnya karena adanya faktor penyebab, antara lain: nilai spiritual jawa islam yang sinkretis, yang realitanya tidak mudah hilang dengan munculnya rasionalisasi di berbagai segi kehidupan karena diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan hidup yang muncul di abad modern ini. Jadi, orang yang mengaku beragama islam, atau penganut budaya jawa islam, tidak dapat meninggalkan tradisi spiritualnya seperti slametan dan wetonan dengan membuat bubur abang putih agar mendapatkan keselamatan. Ketenangan batin mereka akan terusik jika tidak melaksanakan slametan pada hari-hari tertentu sebagaimana terdapat dalam adat istiadat jawa yang telah bertahun-tahun dilaksanakan oleh nenek moyang. Karena adat itu telah mengakar lama di masyarakat, yang oleh linton di masukan ke dalam wilayah inti kebudayaan yang sulit untuk di ubah. Namun, dalam kenyataan di masyarakat, ada pula adat istiadat jawa yang telah mengalami pergeseran sehingga dipandang tidak memiliki nilai magis lagi, tetapi sekedar bernilai seni. Misalnya rangkaian upacara dalam perkawinan seperti tarub, siraman, midodareni, kacar kucur, dan lain-lain, yang dulu memiliki nilai religius magis, tetapi di masa modern ini banyak yang memandang sebagai upacara yang hanya memiliki nilai seni
Kehidupan spiritual dibutuhkan pula oleh manusia modern di saat terjadi persaingan ketat yang menuntut profesinalisme dan kualitas tinggi di berbagai bidang. Hal ini menyebabkan banyak orang yang stres,dan mereka mencari ketenangan batin, di antaranya dengan kembali pada tradisi spritual jawa islam yang sinkretis. Tidak heran jika di era modern ini upacara yang sejak dulu telah mengakar di masyarakat, yang bersifat religius magis banyak di lakukan lagi, seperti ruwatan untuk membuang sial. Kepercayaan bahwa orang-orang yang termasuk dalam kelompok sukerta, seperti, anak tunggal, dapat menjadi beban dari batara kala, maka perlu di beri kekuatan batin. Hal ini mendorong orang-orang modern untuk melakukan ruwatan sebagai tolak bala.
Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, unsur budaya jawa islam dalam beberapa bidang memang memerlukan reinterpretasi agar sesuai dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Misalnya ungkapan-ungkapan yang selama ini ditangkap secara tekstual tidak sesuai lagi, perlu diberi pemaknaan yang rasional. Seperti slogan alon-alon waton klakon. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan etos kerja dan sikap orang jawa yang terkesan selalu lambat. Untuk masa sekarang, hal ini tentu tidak cocok lagi karena dalam kehidupan modern dituntut adanya efisiensi waktu sehingga pekerjaan perlu dilakukan secara cepat dan tepat. Ungkapan seperti ini kiranya perlu diberi makna baru, misalnya di masa modern ini segala pekerjaan perlu manajemen yang baik agar hasilnya optimal. Utuk itu diperlukan perencanaan dan evaluasi. Maka suatu pekerjaan tidak dapat dilaksanakan secara tergesa-gesa, tanpa perencanaan. Sebab kecermatan dalam merencanakan program sangat dibutuhkan agar target dapat tercapai. Mekanisme kerja yang seperti itu tentu memerlukan prosedur yang lebih lama, dibanding yang dilaksanakan tanpa perencanaan. Walapun demikian, jika hasilnya lebih maksimal, tentu akan timbul ungkapan “biarlah lambat asal hasilnya optimal”, yang senada dengan alon-alon waton kelakon.
Dengan sifat budaya jawa yang lentur, diharapkan nilai-nilai budaya jawa islam yang luhur masih dapat bertahan, sewaktu harus berhadapan dengan unsur budaya modern yang global. Dalam komunikasi antar budaya yang pernah terjadi antara budaya jawa dengan budaya hindu, budha, dan islam, ternyata tidak menyebabkan budaya jawa luntur, tetapi justru diperkaya dan diperhalus, melalui proses asimilasi maupun akulturasi. Dan untuk berkomunikasi itu budaya jawa memiliki prinsip yang mendukung elatisitas tersebut, misalnya filsafat tentang “keselarasan sosial” dan membangun kesejahteraan sosial umat manusia, seperti tergambar dalam ungkapan “memayu hayuning bawana”. 




 IV.            Kesimpulan
Budaya jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Dengan datangnya agama hindu dan islam, maka kebudayaan jawa kemudian menyerap unsur budaya-budaya tersebutsehingga menyatulah unsur pra Hindu, Hindu-Jawa, dan islam dalam budaya jawa tersebut.[8]Jadi, nilai jawa yang telah berpadu dengan islam itulah yang kemudian disebut buaya jawa islam.
Nilai budaya jawa islam yang “religius magis” itu telah tertanam begitu kuat dalam jiiwa masyarakat yang menganut  budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun-temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat jawa islam yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu, menurut kentjaraningrat, upaya mengganti nilai budaya jawa yang sudah mapan dengan nilai budaya lain memerlukan waktu yang lama.[9]
Nilai budaya jawa islam,yang terdiri dari gagasan atau konsep tentang berbagai hal, pada umunya dijadikan pedoman dalam kehidupan penganutnya. Agar dapat dijadikan pedoman, maka nilai yang masih bersifat abstrak itu diwujudkan dalam norma-norma untuk mengatur tindakan individu di berbagai lapangan. Maka muncul pranata-pranata bidang pendidikan, ekonomi, sosial, kesenian, agama, dan lain-lain. Pranata-pranata itu dipatuhi oleh penganut norma suatu kebudayaan.
Ditinjau dari sisi kepatuhan terhadap norma-norma beserta sanksinya, terdapat dua kategori norma, yaitu tata cara dan adat istiadat.[10]Norma yang berupa tata cara, jika dilanggar tidak memiliki sanksi hukum yang berat. Pada umumnya hanya menjadi bahan gunjingan. Misalnya, menggunakan tangan kiri.
Berbeda dengan pelanggaran adat istiadat yang dapat dikenai hukum adat. Walaupun tidak terkodifikasikan, tetapi hukum adat telah diakui masyarakat pemakaiannya secara turun temurun. Jadi,bagi pelanggar adat, hukumannya lebih bersifat moral, yang mengakibatkan timbulnya ketegangan mental bagi para pelakunya. Misalnya tdak melakukan slametan pada peristiwa yang terkait dengan siklus kehidupan seperti mitoni,brokohan, ruwatan, khitanan, perkawinan, kematian, dan lain-lain, dapat menimbulkan kekhawatiran akan datangnya malapetaka yang menimpa diri atau keluarganya.
Kehidupan spiritual dibutuhkan pula oleh manusia modern di saat terjadi persaingan ketat yang menuntut profesinalisme dan kualitas tinggi di berbagai bidang. Hal ini menyebabkan banyak orang yang stres,dan mereka mencari ketenangan batin, di antaranya dengan kembali pada tradisi spritual jawa islam yang sinkretis. Tidak heran jika di era modern ini upacara yang sejak dulu telah mengakar di masyarakat, yang bersifat religius magis banyak di lakukan lagi, seperti ruwatan untuk membuang sial. Kepercayaan bahwa orang-orang yang termasuk dalam kelompok sukerta, seperti, anak tunggal, dapat menjadi beban dari batara kala, maka perlu di beri kekuatan batin. Hal ini mendorong orang-orang modern untuk melakukan ruwatan sebagai tolak bala.

    V.            Penutup

Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu kritik yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiiin...










                    DAFTAR PUSTAKA
Kamajaya, Karkono, kebudayaan jawa; perpaduannya dengan islam, IKAPI, Yogykarta, 1995
Koentjaraningrat, pengantar antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
Harjowirogo,Marbangun, adat istiadat jawa, patma, Bandung,tt
Linton R, the study of man, Appleton, new york, 1936
Williams, walter L, javanes lives: women and man in modern Indonesia society, terj. Ramelan, pustaka Binaman pressindo, Jakarta, 1995


[1] Karkono kamajaya, kebudayaan jawa : perpaduan dengan islam, IKAPI, yogyakarta, 1995, hal 166.
[2] Koentjaningrat, pengantar antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 74-75.
[3] Ibid, hlm 76
[4] Karkono kamajaya, Op. Cit. Hal 269
[5] Koentjaraningrat, pengantar antropologi, Op. Cit, hlm 78.
[6] Sunan pakubawana IV, serat wulangreh. Pupuh VI, bait 14
[7] R. Linton, the studi of man. Appleton, new york,1936,hlm 357-360
[8] Karkono kamajaya, kebudayaan jawa : perpaduan dengan islam, IKAPI, yogyakarta, 1995, hal 166.
[9] Ibid, hlm 76
[10] Koentjaraningrat, pengantar antropologi, Op. Cit, hlm 78.

No comments:

Post a Comment