Sunday, February 19, 2012

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG SASTRA


I.                   PENDAHULUAN

Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi teori sastra ( membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra, jenis-jenis sastra dan perkembangan pemikiran sastra ), sejarah sastra ( membicarakan dinamika tentang sastra, pertumbuhan atau perkembangan suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan cirri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra).
Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’, yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/intruksi’. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ ( menjadi susastra ). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ ( tulisan yang indah dan sopan ).[1]
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari.Bentuk karya sastra juga ada beberapa macam, meliputi; (1) Karya sastra yang berbentuk prosa, (2) karya sastra yang berbentuk puisi dan (3) karya sastra yang berbentuk drama.Bicara mengenai sastra tidak lepas dari fungsi dan sifatnya. Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).[2]

  II.   PERMASALAHAN
1.      Perkembangan Sastra pada masa Hindu Budha
2.      Perkembangan Sastra Hasil Interrelasi Islam dan Jawa
3.      Periodesasi Perkembangan Sastra Pada Masa Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram

III.  PEMBAHASAN
   1. Perkembangan Sastra pada masa Hindu Budha
Karya sastra yang berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan ‘macapat’.Mantra dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.[3]
Mantra-mantra ini dianggap mengandung daya sakral/daya linuwih, sehingga tidak sembarangan orang dapat mengucapkannya. Hanya orang-orang tertentu (terpilih karena memiliki daya linuwih) sajalah yang diperbolehkan mengucapkannya, seperti seorang dukun, ‘orang pinter’ (memiliki daya linuwih), dan sebagainya.Pengucapan mantra biasanya dibarengi dengan upacara ritual dengan sesaji dan dengan sikap tertentu yang menunjukan sikap hormat terhadap sasaran permintaan/permohonan (Tuhan) atau makhluk ghaib lainnya. Pengucapan mantra yang dibarengi dengan sikap tertentu dan dengan upacara ritual, dan sesaji akan melahirkan/mendatangkan kekuatan (power) gaib.Mantra mengandung kekuatan bukan hanya dari struktur kata-katanya, tetapi terlebih dari struktur batinnya. Jika dilihat dari sifat sakralnya, maka hanya orang-orang tertentu saja yang dapat/bisa memiliki hak mewarisi kepandaian bermantra sekaligus dapat memiliki dan menggunakannya.[4]
Setiap tradisi di setiap suku bangsa Indonesia memiliki konsep bagaimana orang berhubungan dengan hal-hal yang gaib (suprantural) seperti mantra. Mantra pada prinsipnya untuk permohonan, baik permohonan yang mengandung (niat/kehendak) positif maupun negativf. Mantra untuk keperluan kebaikan (nilai positif) seperti mantra (ilmu) pengasihan, permohonan agar turun hujan, dan sebagainya. Mantra untuk keperluan jahat (negatif) seperti mantra untuk menjalankan pencurian, ilmu untuk mencederai seseorang dengan santet, tenung, teluh dan sebagainya.Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah gurindam, talibun, tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan. Parikan merupakan puisi berupa pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa: dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya.
Wangsalan sendiri memiliki banyak macamnya, diantaranya yaitu yang menjadi satu  dalam sebuah tembang. Contohnya :

Sinom
Jamang wakul Kamandaka,
kawengku ing jinem wangi,
kayu malang munggeng wangan,
sun wota sabudineki,
roning kacang wak mami,
yen tan panggih sira nglayung,
toya mijil sing wiyat,
roning pisang leash ing wit,
edanira tan waras dening usada.
Sedangkan untuk  parikan contohnya adalah :
Tjengkir wungu, wungune ketiban ndaru. Wis pestimu, kowe pisah karo aku.
Perbedaan yang mendasar antara wangsalan dan parikan, terletak pada maksud. Jika wangsalan mengandung maksud, parikan tidak mengandung maksud.
       2. Perkembangan Sastra Hasil Interrelasi Islam dan Jawa
Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam.Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang hindu.
Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk tembang/sekar Macapat.
Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu :
             1. Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa)
2. Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk/nasehat) kepada siapapun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).
Maksud dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Memiliki corak jihad, masalah ketauhidan, moral/perilaku   yang baik dan sebagainya.
       3. Periodesasi Perkembangan Sastra Pada Masa Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram
Periodisasi Sastra jawa karya Padmosiekotjo itu sebagai berikut :
a)      Pada zaman hindu ( Sebelum zaman Majapahit )
Nama pujangga dan hasil karyanya pada periode ini misalanya Resi Adiyasa dengan karyanya Mahabarata, Empu Kanwa dengan Arjunawiwaha dan Empu Tan Akkung dengan Karyanya Lubdaka.
b)      Pada Zaman Majapahit
Nama pujangga pada periode ini misalnya Empu Prapanca dengan karyanya Nagarakertagama dan Empu Tantular dengan karyanya Sutasoma.

c)      Pada Zaman Islam ( Zaman Demak Dan Pajang )
Nama pujangga pada periode ini misalnya Sunan Bonang dengan karyanya Suluk Wijil, Sunan Panggung dengan karyanya Malangsumirang dan Pangeran Karanggayam dengan karyanya Nitisruti.

d)     Pada Zaman Mataram
Nama pujangga pada periode ini misalnya Sultan Agung dengan karyanya Sastra Gending, Pangeran Adilangu dengan karyanya Babad Majapahit, Sunan Pakubuwan V dengan karyanya Serat Centhini, dan R. Ng Renggawarsita dengan karyanya Sabdajati.

e)      Pada Zaman Sekarang ( Mulai Abad XX )
Nama pujangga pada periode ini misalnya Ki Padmasusastra dengan karyanya Tatacara, R. M. Sulardi dengan karyanya Sera Riyanta dan M. Sukir dengan karyanya Abimanyu Kerem.[5]

Sastra pada masa Kerajaan Pajang memiliki identitas yang khas, yakni budaya yang bercorak ortodoks jika dibandingkan dengan budaya yang ada di dalam pedalaman, yang dalam banyak hal masih kental bercampur dengan elemen-elemen Hinduisme. Hal ini tampak dari karya sastra yang dihasilkan oleh ulama yang di samping posisinya sebagai juru dakwah juga membuat karya tulis. Sastra ini juga memiliki kaitan erat dengan proses perkembangan kehidupan keagamaan karena pada dasarnya kehidupan sehari-hari masyarakat tak dapat dilepaskan dari kerangka agama.[6]
Nah, kemudian proses islamisasi yang mulai masuk kepedalaman, maka terjadi pula proses islamisasi sastra pedalaman yang semula bercorak hindu sentries menjadi berbau keisalaman, meskipun pada akhirnya coraknya merupakan perpaduan antara ajasan Islam dengan elemen-elemen mistik yang juga berlaku dikalangan Hindu.
Ajaran-ajaran budi luhur yang terdapat dalam sastra Jawa kemudian mengkristal menjadi suatu pandangan hidup kejawen yang bercorak sinkretis, dengan penampilan yang lebih menekankan pada substansi ajaran mistik, tetapi dalam banyak hal kurang suka pada unsur yang legalistik semacam syari’at.
IV. KESIMPULAN
Jadi sastra pada masa hindu budha kita kenal dengan yang namanya mantra. Mantra tersebut hanya boleh dibaca atau diucapkan oleh orang yang dianggap memiliki daya linuwih saja. Namun karya sastra itu tidak hanya berupa mantra, tetapi sudah berkembang, ada yang namanya pantun atau syair, yang lebih dikenal pada saat itu dengan sebuan parikan dan wangsalan.
Keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut.Paham kejawen yang memiliki kesejajaran dengan tasawuf mistik merupakan realitas masyarakat Jawa yang memiliki pengikut dan perkembangannya amat tergantung kepada seberapa jauh apresiasi generasi penerus terhadap nilai-nilai masa lalu yang ada dalam ajaran sastra pedalaman sebagaimana adanya.
 Periodisasi Sastra jawa karya Padmosiekotjo itu sebagai berikut :
a) Pada zaman hindu ( Sebelum zaman Majapahit )
b) Pada Zaman Majapahit
c) Pada Zaman Islam ( Zaman Demak Dan Pajang )
d) Pada Zaman Mataram
e) Pada Zaman Sekarang ( Mulai Abad XX )

         V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini dibuat, dan tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena pemakalah hanyalah manusia biasa yang kurang memahami permasalahan dan sering melakukan kesalahan. Pemakalah sadar ini adalah merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang bisa membangun demi kesempurnaan makalah kami berikutnya. Harapan pemakalah semoga makalah ini dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amien



[1] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, hlm. 139
[2] Uka Tjadrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, Jakarta, 2006, hlm. 61
[3] M. Darori Amin, op cit, hlm. 144
[4] M. Darori Amin, Ibid, hlm. 145
[5] Ditulis dalam buku “ Ngengrengan Kasusastraan Djawa II” ( 1956 : 115 – 117 ) yang berjudul “ Asmane Para Pejuang Lan Buku Buku Reriptane “ nama para pujanggga dan buku bukunya seperti yang terdapat dalam kesoessastraan Djawi I terbitan Departement PP dan K .
[6] M. Darori Amin, Op, Cit, hlm 162.

No comments:

Post a Comment