I. PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan makhluknya laki-laki dan perempuan dengan posisi yang sama, namun pemahaman tentang kewanitaan selalu menarik perhatian, bukan karena keanggunan dan kelemah lembutannya yang menawan, tetapi karena perlakuan terhadap dirinya tidak menempatkannya sebagai sesama ciptaan. Hampir disetiap panjang sejarah umat manusia, kapanpun, dimanapun dan bangsa apapun, pada tingkat kebudayaan tingkat apapun wanita selalu ditempatkan sebagai insan kelas dua.
Dari uraian yang telah dibeberkan, kami mencoba mengungkap pandangan orang jawa mengenai istilah, makna, peran wanita dalam budaya jawa, sektor domestik ataupun publik.
II. PEMBAHASAN
A. Istilah, Makna dan Beban Idiologisnya.
Sebagaimana telah disinggung dalam masyarakat jawa, bahwa selain laki-laki itu juga ada perempuan yang dalam masyarakat jawa disebut Wadon, Wanita, Estri, Putri. Dan perlu kita dalami bahwa keempat istilah tersebut bukanlah sekedar istilah semata melainkan mengandung konsekuensi idiologis, yang disini disebut sebagai beban idiologis.[1]
a) Wadon
Kata wadon berasal dari bahasa Kawi wadu, yang secara harfiah berarti kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan bahwa perempuan “dititahkan” di dunia ini, “ditakdirkan” sebagai abdi (pelayan) sang guru laki (suami). Pengabdian seorang wanita harus mengikuti setiap tataran “kehidupan”. Secara naratif, hal tersebut mengandung konsekuensi logis, bahwa jika seorang suami meninggal, sang istri harus melanjutkan pengabdiannya di Alam kubur dan begitu pula seterusnya.
b) Wanita
Wanita berasal dari kata gabungan dua kata bahasa jawa (kerata basa) wani (berani) dan tata (teratur).secara “gathukologis” kata bentukan ini mengandung dua konotasi wani ditata dan wani nata,dalam konotasi wani ditata bahwa perempuan tetap tunduk pada sang guru laki sedangkan wanita harus bertanggung jawab atas pendidikan anak dan seluruh pengaturan keluarga.
c) Estri
kata estri lahir dari kata estern dalam bahasa kawi berarti penjurung (pendorong), dengan demikian sebutan estri pada manusia itu harus mampu mendorong suami, membantu pertimbangan-timbangan terutama saat jiwa dan semangat sedang melemah.
d) Putri
Kata putri berarti anak perempuan. Dalam peradaban tradisional jawa kata ini sering dibeberkan sebagai akronim dari kata-kata putus tri perkawis, yang menunjuk kepada purna karya perempuan.
Dari semua istilah yang telah disebutkan bahwa kedudukan seorang wanita tidak sejajar dengan kaum pria, semua sangat menekan mereka. [2]
B. Peran Domestik dan Publik
Pemaparan tentang ideal menurut berbagai karya sastra jawa mencerminkan sebagaimana kedudukan dan peran perempuan keluarga dan masyarakat. Dalam kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai istri (garwa), pendamping suami dan sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak. Secara lebih luas sesuai perannya dalam keluarga, perempuan dalam Serat Candrarini dilukiskan bisa macak, manak, dan masak. [3]
v Wanita dalam keluarga
Ø Macak
Yang berarti seorang perempuan harus bisa merias diri, berdandan, ataupun berbusana yang sebaik-baiknya agar senantiasa tampak cantik, menarik dan mempesona. Hal ini merupakan kewajiban pokok yang harus dijaga sebagai bentuk perwujudan bekti dalam melayani suami. Dengan demikian, jika perempuan selalu tampak menarik, ia akan membuat suami betah tinggal dirumah.
Ø Manak
Pengertian tersebut tidak hanya sekedar mengandung, melahirkan, dan menyusui saja tetapi juga menjaga, memelihara, dan mendidik anak. Kemampuan berhias diri tampaknya bermuara kepada perempuan yang kedua ini karena dengan menjaga kecantikannya seorang perempuan akan memiliki daya tarik bagi suami.
Ø Masak
Mengurusi dapur, karena mengurusi dapur perempuan sering disebut dengan istilah kanca wingking. Namun, kepandaian memasak tidak hanya mengolah dan menyediakan makan dan minum, tetapi juga mengatur anggaran belanja dengan sebaik-baiknya. Sebagai wujud dari sikap bekti terhadap suami, dalam urusan masak-memasak dan segala sesuatu yang berhubungan makan dan minum, istri juga harus memperhatikan selera dan kesenangan suami.
v Wanita dalam upacara adat
Wanita dituntut untuk mengabdi dan berbakti, baik keluarga, masyarakat maupun bangsa. Ia sadar bahwa tanpa berkarya yang berarti seseorang tidak akan pernah bisa hidup dalam arti yang sebenarnya. Ia berpendapat bahwa karya sangat bermanfaat bagi kualitas hidup itu sendiri, idealisme, perkembangan ilmu pengetahuan, cinta, dan kasih sayang. Dengan berkarya dan bekerja akan tercapai masyarakat yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi.
Peran serta wanita dalam upacara adat sedikit banyak mempunyai andil dalam upacara adat. Diantaranya dalam upacara pewayangan, wanita berperan sebagai sinden, disitu wanita sebagai pendamping dalam untuk melantunkan tembang-tembang dalam pewayangan.
C. Kedudukan Perempuan
Dari gambaran mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam sastra jawa yang dihasilkan raja dan pujangga keraton abad XVIII dan XIX diketahui bahwa peran dan kedudukan perempuan terbatas disektor domestik. Adapun kedudukan perempuan yang disebutkan dalam beberapa karya sastra jawa tersebut, antara lain sebagai berikut.[4]
a) Sebagai hamba Tuhan
Perempuan jawa pada umumnya menganut agam islam, katolik, protestan, hindu dan budha. Adupun agam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat termasuk perempuan dilingkungan keraton adalah agama islam yang tercampur dengan unsur-unsur ajaran hindu budha, animisme, dan dinamisme. Pengenbangan kebudayaan jawa yang dimasuki unsur-unsur agama, terutama agama islam dilakukan oleh raja maupun pujangga. Melalui karya sastra, mereka menganjurkan agar laki-laki dan perempuan selalu bersyukur atas karunia Tuhan.
b) Sebagai anak atau menantu
Anak perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bekti (mengabdi) kepada orang tua. Setelah menikah pengabdian sebagai anak bertambah dengan wajib bekti kepada mertua. Selanjutnya dijelaskan pula alasan mengapa masing-masing perlu mendapatkan penhormatan dari anak . Disebutkan bahwa bapak/ibu adalah sebagai perantara anak lahir kedunia. Selain orang tua, mertua juga mempunyai andil dalam menciptakan kebahagian anak/menantu, karena melalui perantara mertua, perempuan mendapat suami yang dapat memberikan kebahagiaan.
c) Sebagai istri
Dalam sastra jawa banyak ditemukanajaran tentang tugas-tugas istri sebagai pendamping suami. Karena kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus berbakti kepada suami. Dalam kedudukan sebagai istri, perempuan berada dalam posisi yang lebih rendah dari pada suami, sebab dalam konsep jawa istri harus memperlakukan suami seperti dewa yang dipuji, ditakuti , dan dihormati.
d) Sebagai ibu
Tugas perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu tidak banyak disinggung dalam karya sastra jawa. Yang sering ditemukan dalam karya sastra jawa adalah hak ibu, termasuk bapak, untuk mendapat penghormatan dan kebaktian dari anak. Hak orang tua untuk dituruti perintahnya sangat besar, bahkan disamakan dengan raja karena kedudukan orang tua sebagai panutan (teladan) bagi anaknya sama dengan raja yang menjadi teladan bagi rakyatnya.
D. Peran Wanita dalam Islamisasi Jawa
Dari berbagai sumber yang mengangkat masalah Islamisasi di Jawa, pada dasarnya wanita memiliki peran yang penting. Namun demikian, masih minim tulisan yang secara spesifik memberikan penjelasan tentang peran wanita dalam Islamisasi di Jawa. Sebagian besar tulisan memberikan gambaran bahwa wanita seolah-olah hanya berperan sebagai compliment dalam Islamisasi. Artinya adalah peran wanita hanya sebagai pelengkap dalam sebuah proses. Namun sebelum menjelaskan peran wanita dalam budaya jawa, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang kategorisasi status wanita pada Islamisasi Jawa pada abad XIV-XV. [5]
Wanita dalam Islamisasi dapat dipilah menjadi beberapa kategori. Kateogori pertama adalah wanita yang berasal dari kalangan pribumi yang menikah dengan para pendatang beragama Islam. Wanita kategori pertama ini tidak dijumpai secara khusus dalam tulisan-tulisan lokal. Keberadaan wanita dalam kategori ini diketahui hanya dari berita-berita asing seperti berita Ma Huan tentang terjadinya proses pernihakan dan kemunculan komunitas-komunitas muslim yang terdapat di daerah pesisir pada masa Majapahit.
Wanita-wanita pribumi yang menikah dengan para pedagang asing ini dalam perkembangannya masuk ke dalam agama Islam. Karena kuantitasnya yang makin bertamah kemudian terjadi proses repoduksi maka lambat laun terbentuklah komunitas yang terdiri atas orang-orang yang beragama Islam. Peran wanita yang termasuk dalam kategori ini sebatas sebagai katalis pada strategi bottom up dalam Islamisasi di Jawa. Artinya wanita-wanita inilah yang kemudian menjadi pioneer dan menjadi orang pribumi yang pertama-tama memeluk Islam.
Kategori kedua adalah wanita kerabat pejabat yang dinikahi oleh tokoh- tokoh penyebar agama Islam. Contohnya adalah pernikahan Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan anak Adipati Tuban, Nyi Gede Manila yang memperoleh dua putera bernama Sunan Drajat dan Sunan Bonang.
E. Wanita dalam Pandangan Islam
Untuk dapat meyakini keunggulan kedudukan dan posisi wanita dalam Islam secara lebih mantap, sebaiknya kita pahami pandangan terlebih dahulu posisi wanita dalam pandangan kebudayaan-kebudayaan kuno, seperti wanita dalam pandangan perundang-undangan China, Yunani, Romawi, India dan Italia dsb.
Dalam budaya China Kuno terdapat sebuah kaidah: "Tidak ada sesuatu yang paling rendah selain wanita", "wanita adalah tempat terakhir dalam jenis kelamin dan dia mesti ditempat pada pekerjaan yang paling hina"
Di Italia pada sebagian wilayahnya wanita dianggap seperti pembantu rumah tangga, dia hanya boleh duduk di lantai sementara suaminya duduk di atas kursi. Apabila suaminya mengendarai kuda maka sang istri mesti berjalan di bawah mengikuti sang suami meski dalam perjalanan yang jauh sekalipun"
Sedangkan sikap Islam terhadap wanita sangat adil dan proporsional; Islam sangat menghargai kedudukan wanita sebagaimana memberikan arahan-arahan untuk dapat menjaga kehormatan dan harga wanita sebagai makhluk Allah dengan segala keunikannya.
Islam menetapkan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemuliaan dan tanggungjawab secara umum, Adapun terkait tugas masing-masing dalam keluarga dan masyarakat Islam menetapkan sikap proporsional bagi laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban mereka, sekaligus sebagai bukti keadilan Islam.
Islam memandang bahwa setiap jenis laki-laki dan perempuan memiliki kelebihan masing-masing, Allah memberikan kelebihan bagi laki-laki atas perempuan dengan satu derajat, Karenanya Allah SWT memberikan tugas lebih berat bagi lelaki atas kaum perempuan, kaum lelakilah yang mengemban tugas-tugas berat seperti kenabian, kepemimpinan global, tugas peradilan, megimami shalat, jihad fi sabilillah. Sebagaimana diberikan kekhususan kepada kaum pria seperti penisbatan anak kepada bapaknya (lelaki), pembagian waris dua kali lipat atas bagian wanita dan sebagainya.
Namun demikian, kelebihan tersebut yang merupakan karunia dari Sang Pencipta alam semesta, tidak berarti pelecehan terhadap hak-hak asasi perempuan dan apalagi tidak sama sekali berarti sikap diskriminatif terhadap perempuan; tidak pula secara otomatis bahwa setiap lelaki lebih baik dari semua wanita; karena ada sebuah kaidah yang berlaku, bahwa “melebihkan atas sesuatu tidak mesti penghinaan dan merendahkannya.
Posisi wanita dalam Islam juga dapat dilihat dari perhatiannya kepada kewajiban pendidikan wanita secara khusus, Pendidikan wanita dalam Islam diawali dengan pendidikan dasar, yaitu akidan dan prinsip-prinsip iman, ibadah dan akhlak wanita muslimah. Demikian juga pendidikan skil dan ketrampilan bagi wanita seseuai kebutuhan zaman.
F. Hasil budaya wanita jawa dalam hal pakaian
Hasil kebudayaan kebendaan yang merupakan peranserta dari wanita yaitu pakaian. Pengetahuan menenun untuk membuat pakaian sudah dikenal sejak zaman kebudayaan Batu Baru atau Neolitikum dengan dtemukan alat-alat dari batu untuk pemukul kulita-kulita kayu untuk dijadikan serat yang kemudian ditenun.[6]
Pada masa Hindu-Budha telah disebutkan bermacam-macam kain, juga dalam sastra kuno serta berita asing dalam pembuatan pakaian, baik dari bahan produksi sendiri atau impor. Para wanita kemudian mengolah kain itu dengan menenun ataupun membatik kain itu sehingga bisa dikenakan.
Setelah masuk Islam, kaum wanita memakai kain yang ditarik ke atas dan dililitkan dengan kuat untuk menutupi bagian dadanya. Di jawa dan Lombok, hingga bagi sarung yang dililitkan ialah selendang yang biasanya diletakkan diatas dada dengan kedua ujungnya dilepaskan di atas dada.
G. Wanita dalam Budaya Jawa
Dikalangan masyarakat jawa, perempuan dikenal dengan istilah kanca wingking untuk menyebut istri, hal itu menunjukan bahwa perempuan tempatnya bukan didepan sejajar dengan laki-laki, melainkan dibelakang, didapur, karena dalam konsep budaya jawa wilayah kegiatan istri adalah seputar dapur, sumur, dan kasur. Hal itu menunjukan sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala diluar tugas-tugas domestiknya. Dengan demikian wanita bekerja dirumah digambarkan wanita tidak dapat mengupayakan atau menciptakan kebahagiaan bagi diri maupun keluarganya.[7]
Lebih tragis lagi, pengkotakan pria disektor publik dan wanita disektor domestik juga berdampak pada pemerolehan hak-hak kaum wanita. Dengan konsep sepikul-saghendhong-an sebagai hukum pembagian harta warisan, seorang wanita hanya memperoleh setengah dari yang diterima laki-laki. Itu berarti, laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat dibanding yang diterima wanita. Laki-laki mendapat sepikul dan perempuan mendapatkan se-gandhong-an.[8]
Pembagian peran disektor publik bagi laki-laki dan sektor domestik bagi perempuan tidak begitu tegas. Akibatnya, wanita mendapatkan bagian peran pada kedua sektor tersebut. Ini jelas merugikan wanita, karena laki-laki tidak mendapatkan jatah pekerjaan pada sektor domestik. Itu berarti, jika pekerjaan disektor publik diterjemahkan sebagai aktifitas diladang atau sawah, dalam kenyataanya , wanita pun juga bekerja disektor tersebut.
Sosialisasi tugas perempuan dalam rumah tangga, selain dilakukan oleh orang orang tua juga dilakukan oleh masyarakat, bahkan oleh para pujangga melalui penulisan serat-serat (kitab-kitab), beberapa kitab yang ditulis oleh raja dan pujangga yang berkaitan piwulang yang berisi ajaran untuk para putri, misalnya serat wulangreh putri karya Sunan Pakubuwono IV dan serat candrarini karya Ranggawarsita. Raja merupakan penguasa tertinggi yang kekuasaanya tidak hanya terbatas pada persoalan yang berkaitan dengan negara dan kekayaan, tetapi juga pada kehidupan pribadi rakyatnya.[9]
Enkulturasi konsep budaya jawa yang berkaitan dengan kedudukan dan peran perempuan telah berlangsung lama, secara turun-menurun. Perubahan pandangan secara berangsur-angsur terjadi sesudah R.A Kartini memperjuangkan hak memperoleh pendidikan bagi perempuan. Sedikit demi sedikit perempuan mengetahui hak-haknya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat sebagai kaum laki-laki.
Kebodohan akibat tidak adanya pendidikan itu, menurut Kartini, merupakan penyebab tidak adanya kkesejahteraan masyarakat. Tanpa pendidikan mereka tidak mengetahui cara mengatasi masalah yang mereka hadapi seperti pangan, kasehatan, mengatus ekonomi rumah tangga, dan cara mendidik anak.
Perjuangan Kartini untuk memajukan pendidikan kaum perempuan mendapat dukungan dari Direktur Urusan Pengajaran dan Kerajinan,j.H. Abendanon. Dalam surat yang ditulisnya kepada Stella Zeehandelaar tertanggal 9 januari 1981, kartini mengutip imbauan abendanon kepada kepala pemerintahan daerah agar membantu pendirian sekolah untuk anak-anak perempuan pribumi.
Sejak masa Kartini itu, perempuan jawa mulai melangkah kearah emansipai. Walaupun membutuhkan proses yang panjang, perjuangan kartini membuahkan hasil, diantaranya makin terbukanya kesempatan perempuan untuk mengunyam pendidikan dan terbukanya kesadaran sebagian masyarakat bahwa perempuan memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Dengan bekal pendidikan itusebagian perempuan jawa memperoleh pekerjaan diluar rumah tangganya sehingga tugas-tugas perempuan yang semula hanya disektor domestik kemudian meluas kesektor publik. Dengan demikian,disatu sisi kaum perempuan memperoleh kesempatan untuk melakukan kegiatan di masyarakat disisi lain ada beban ganda yang harus dikerjakan sebab perempuan tetap bertanggung jawab terhadap tugas domestiknya.
III. KESIMPULAN.
Perempuan dalam masyarakat jawa disebut Wadon, Wanita, Estri, Putri. keempat istilah tersebut bukanlah sekedar istilah semata melainkan mengandung konsekuensi idiologis, yang disini disebut sebagai beban idiologis. Dalam kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai istri (garwa), pendamping suami dan sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak. Secara lebih luas sesuai perannya dalam keluarga, perempuan dalam Serat Candrarini dilukiskan bisa macak, manak, dan masak.
Pada masa Hindu-Budha telah disebutkan bermacam-macam kain, juga dalam sastra kuno serta berita asing dalam pembuatan pakaian, baik dari bahan produksi sendiri atau impor. Para wanita kemudian mengolah kain itu dengan menenun ataupun membatik kain itu sehingga bisa dikenakan.
Setelah masuk Islam, kaum wanita memakai kain yang ditarik ke atas dan dililitkan dengan kuat untuk menutupi bagian dadanya. Di jawa dan Lombok, hingga bagi sarung yang dililitkan ialah selendang yang biasanya diletakkan diatas dada dengan kedua ujungnya dilepaskan di atas dada.
Enkulturasi konsep budaya jawa yang berkaitan dengan kedudukan dan peran perempuan telah berlangsung lama, secara turun-menurun. Perubahan pandangan secara berangsur-angsur terjadi sesudah R.A Kartini memperjuangkan hak memperoleh pendidikan bagi perempuan. Sedikit demi sedikit perempuan mengetahui hak-haknya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat sebagai kaum laki-laki.
Kebodohan akibat tidak adanya pendidikan itu, menurut Kartini, merupakan penyebab tidak adanya kesejahteraan masyarakat. Tanpa pendidikan mereka tidak mengetahui cara mengatasi masalah yang mereka hadapi seperti pangan, kasehatan, mengatur ekonomi rumah tangga, dan cara mendidik anak.
IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun. Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat saya harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah bermanfaat bagi kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Sukri, Sri Suhandjati dan Ridin Sofwan, Yogyakarta; Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Gama Media, 2001
Dian, Seri, Yogyakarta; Kisah dari Kampung Halaman, Pustaka Pelajar, 1996
[1] Seri Dian IV, Kisah dari Kampung Halaman, Pustaka Pelajar, 1996. Hal : 275
[2] Ibid, Hal : 277
[3] Ibid, Hal : 76
[4] Sri Suhandjati sukri dan Ridin sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Gama Media, 2001. Hal. 63
[6] Ibid.
[7] Sri Suhandjati sukri dan Ridin sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Gama Media, 2001. Hal.6
[8] Seri Dian IV, Kisah dari Kampung Halaman, Pustaka Pelajar, 1996. Hal. 291
[9] Sri Suhandjati sukri dan Ridin sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Gama Media, 2001. Hal. 8
No comments:
Post a Comment