PENETAPAN HUKUM ISLAM
ANTARA ILLAT DAN HIKMAH HUKUM
- PENDAHULUAN
Hukum syariat atas suatu fakta ditetapkan melalui nash dan didasarkan pada suatu illat (motif penetapan hukum), maka hukum syariat dapat diterapkan pada fakta lain yang tidak ada nashnya yang memiliki illat yang sama. Untuk memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyari‘atkan Allah Swt. bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakekatnya. Meskipun demikian, kita sangat berkehendak untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan alasan-alasan apa yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum tersebut.
Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah pasti mempunyai alasan-alasan tertentu dan mengandung hikmah yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah itu tidak ada gunanya dan hal ini tentu tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut pasti terkait dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan pasti ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat nanti.
- RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian illat Dan hikmah hukum
B. Perbedaan illat dan hikmah hukum
- PEMBAHASAN
- Pengertian Illat Dan Hikmah Hukum
- Definisinya
Ensiklopedi Hukum Islam jilid 2 menyebutkan ‘illat (Arb, al-‘illah) sebagai penyebab berubahnya sesuatu. Didalam ensikopedi ini ditegaskan bahwa ‘illat dalam kajian ushul fiqih, merupakan permasalahan pokok dalam pembahasan kias (qiyas). Ulama usul fiqih menyatakan bahwa apabila disebut ‘illat maka yang dimaksudkan adalah :
- Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan hukum, berupa pencapaian kemaslahatan atau menolak kemudaratan. Misalnya tecapainya berbagai manfaat bagi orang-orang yang melakukan transaksi jual beli, karena jual beli itu dibolehkan. Terpeliharanya keturunan yang diakibatkan oleh diharamkannya perzinaan dan terpeliharanya akal manusia disebabkan diharamkannya meminum khamar.
- Sifat zahir yang dapat diukur yang sejalan dengan sesuatu hukum dalam mencapai sesuatu kemaslahatan baik berupa manfaat untuk manusia maupun menghindari kemudaratan bagi manusia, karena menolak dan menghindari kemudaratan bagi manusia termasuk suatu kemaslahatan.
b. Ciri-cirinya
- illat itu berkaitan dengan hukum, baik ada atau tidak adanya hukum itu. Karena keterkaitan hukum dengan hikmah itu mengandung dugaan untuk mewujudkan hikmah dari hukum itu.
- Mengaitkan antara illat dengan hukum itu mengakibatkan kepada konsistennya taklif, menjaga hukum-hukum syari’at dan perinta-perintah syari’at yang umum.
- Hikmah hukum
- Definisinya
Yaitu kemashlahatan yang berupa mengambil manfaat atau menghindarkan kemudlaratan yang hendak diwujudkan oleh syari’at dengan
mensyari’atkan hukum itu. Itu adalah merupakan tujuan dari syari’at yang paling agung.
- Ciri-cirinya
- tidak bergantung kepada hukum, baik keberadaan atau ketidakadaanya. Hal itu adalah kerena hikmah itu kadang-kadang berupa sesutau yang samar yang sulit untuk diketahui dan tidak dijadikan sebagai dasar untuk membangun sebuah hukum.
- Tidak terkontrol, dalam pengertian bahwa manusia berbeda-beda tentang keberadaan atau ketidak adaannya dan dalam kaidah-kaidahnya. Contohnya adalah seperti kebolehan berbuka puasa pada Bulan ramadlan. Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kesulitan. Sedangkan kesulitan itu adalah sesuatu yang bersifat perkiraan yang tidak dapat dijelaskan kaidahnya. Karena itulah hukum itu tidak bergantung kepadanya. Tetapi bergantung kepada seautu yang jelas, yaitu bepergian (safar) atau sakit, karena jelasnya nash tentangnya.
- Dalilnya
Firman Allah :
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa). (Al baqqoroh : 179)
- Perbedaan ‘Illat dan Hikmah Hukum
Hikmah yang terkandung dalam suatu hukum bersifat tidak mengikat, berbeda dengan illat karena suatu hukum yang mengandung illat akan berkisar seputar itu, ada atau tiada. Dalam kaidah fiqih biasa disebut, al-hukmu yaduuru ma'al illat wujudan wa 'adaman.
Salah satu contoh hikmah adalah disyariatkannya mandi bagi orang yang berhadas besar, karena seseorang setelah bersetubuh atau keluar sperma mengakibatkan lemah dan loyonya kondisi tubuh dan dengan mandi bisa segar kembali. Ini hikmah, dan kalau orang mandi tetapi tidak segar juga tidak akan mempengaruhi ketetapan hukum yang ada.
Sedangkan contoh illat adalah Khamar. Illatnya adalah memabukkan. Maka setiap sesuatu yang bisa mencapai keadaan memabukkan, dihubungkan hukumnya dengan hukum khamar, tapi tidak disebut sebagai khamar secara langsung.
Selama illat itu ada maka selama itu pula hukum itu berlaku. Karena itu, ada yang perlu dipahami juga di sini, hukum dasar (al-Ashl) dan hukum cabang (al-Far'u). Dalam pembahasan ethanol dan sesuatu yang mengandung ethanol dulu saya lihat terjadi pencampuradukan antara hukum ashal dan hukum cabang.
Hukum dasar ini didapatkan dari penetapan nash. Maka Khamar dengan definisinya yang sudah diketahui adalah haram sebagaimana ditegaskan oleh nash. Hukum dasar ini, jika illatnya tidak terdapat hukumnya tetap haram. Karena itu, khamar itu hukumnya haram, apakah sedikit (tidak memabukkan) atau banyak (memabukkan). Sedangkan hukum cabang hanya terhubung dengan hukum dasar apabila illatnya ada. Dengan demikian, kalau setiap buah-buahan atau makanan buatan yang berdasarkan penelitian mengandung seperti kandungan khamar dalam persentasi yang berbeda-beda tidak dihukumkan haram selama illat yang mengharamkan itu tidak ada (memabukkan).
Kemudian illat ini tidak sekedar diukur memabukkan secara sederhana begitu saja, namun diukur dengan standar yang dalam ushul fiqh disebut. Mazhan al-Hukum. Artinya dilihat potensi suatu kandungan sampai dimana sehingga mencapai illat mengharamkan secara standar. Kalau secara umum orang makan durian dua karung, tidak terjadi apa-apa, tetapi ternyata pada si A membuat dia mabuk misalnya, maka ini tidak bisa diukur sebagai illat bahwa standar durian dua karung itu memabukkan maka haram.
Illat dalam suatu hukum kadang-kadang disebutkan dalam nash seperti Khamar ini misalnya disebutkan dalam al-Qur`an, juga dijelaskan dalam hadits. Kadang-kadang ada hukum yang nash tidak menyebutkan illat, namun hokum itu sendiri mengandung atau setelah diteliti oleh para fuqaha mengandung illat.
Seperti misalnya Shalat Qashar, tidak disebutkan secara tegas kenapa dibolehkan bagi musafir. Namun konotasi nash mengandung alasan kemudahan dan dibolehkan Qashar karena masyaqqah (tingkat kesulitan) melaksanakan shalat saat bepergian. Para ulama kemudian mengukur kira-kira dalam jarak sejauh apa kesulitan itu menjadi standar lalu boleh menqashar shalat. Muncullah perbedaan pendapat lagi tentang ukuran jarak.
Pada masa modern, perbedaan pendapat ini menjadi semakin rumit. Misalnya bepergiaan dari Banjarmasin ke Jakarta naik pesawat. Ini tidak sesulit dulu lagi, tetapi secara jarak kalau menurut ulama dahulu boleh qashar, sekarang apakah masih boleh? Bagi yang mengikuti pendapat ulama dahulu karena memang jaraknya sudah mencapai boleh qashar, silahkan. Bagi yang mengikuti pendapat yang lebih melihat illat (artinya standar ulama dahulu dalam menetapkan illat dengan perkiraan jarak yang mencapai tingkat kesulitan standar diperbaharui lagi pada masa sekarang), juga silahkan.
Masalah kedua, tingkat kesulitan itu juga terjadi dalam jarak yang terhitung dekat (tidak mencapai standar ulama dahulu dalam menetapkan kebolehan qashar) seperti misalnya macet di Jakarta. Apakah pada kasus ini juga boleh qashar? Bagi yang mengikuti standar ulama dahulu (tidak boleh qashar), silahkan. Bagi yang mengikuti illat (artinya, sudah tercapai standar kesulitan meski tidak mencapai jarak yang membolehkan qashar), juga silahkan. Karena mazhan hukumnya sudah bisa dilihat dan dirasakan sendiri secara standar.
Itulah perbedaan antara illat dan hikmah. Kemudian ada hukum-hukum yang memang ditetapkan secara mutlak dan tidak ada illatnya. Saya kira, ini termasuk keharaman makan babi, darah, daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji, dan hukum-hukum lainnya. Yang muncul di sini pada akhirnya adalah hikmah, bukan illat. Kenapa babi diharamkan, kenapa darah diharamkan, kenapa daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah diharamkan? Jawabannya, ya begitu nash menyebutkan, hukumnya haram. Kenapa shalat lima waktu itu wajib, kenapa puasa, zakat, haji bagi yang mampu itu wajib? ya wajib aja, begitu yang ditegaskan oleh nash. Jawabanya dari kenapa ini selanjutnya hanya berupa hikmah. Oh hikmahnya orang puasa itu begini, hikmah berzakat itu begitu.
- I. KESIMPULAN
Setelah memahami uraian di atas, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut :
- ‘Illat adalah suatu hal yang menjadi latar belakang bagi pensyariatan suatu hukum (asy-syaiu alladzî min ajlihi wujida al-hukm). Dengan kata lain, ‘illat adalah suatu hal yang menjadi motif (latar belakang) penetapan suatu hukum (al-amr al-bâits alâ al-hukm). ‘Illat disebut juga ma’qûl an-nash. Dengan itu, akal dapat menghukumi masalah cabang dengan hukum yang ada pada masalah pokok, karena pada keduanya ada ‘illat yang sama. ‘Illat merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa suatu hukum disyariatkan.
- Hikmah hukum Yaitu kemashlahatan yang berupa mengambil manfaat atau menghindarkan kemudlaratan yang hendak diwujudkan oleh syari’at dengan mensyari’atkan hukum itu. Ciriny-cirinya tidak bergantung kepada hukum. Cirinya adalah tidak bergantung kepada hukum, baik keberadaan atau ketidakadaanya. Dan Tidak terkontrol, dalam pengertian bahwa manusia berbeda-beda tentang keberadaan atau ketidak adaannya dan dalam kaidah-kaidahnya.
- Perbedaan ‘Illat dan Hikmah Hukum yaitu yang terkandung dalam suatu hukum bersifat tidak mengikat, berbeda dengan illat karena suatu hukum yang mengandung illat akan berkisar seputar itu, ada atau tiada. Dalam kaidah fiqih biasa disebut, al-hukmu yaduuru ma'al illat wujudan wa 'adaman.
- PENUTUP
Demikian tugas ini saya buat. Saya yakin bahwa tugas yang saya buat ini masih jauh dari yang namanya kata memadai, karenanya, arahan, kritikan, dan masukan dari Ibu dan kawan-kawan amat kami perlukan demi kebaikan makalah ini pada khususnya dan kami serta kawan-kawan lain pada umumnya. Semoga apa yang kami lakukan bermanfaat. Amiinn
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da‘wah al-Islâmîyah, 1990.
Ø Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Fikr al-Arâbî, 1958.
Ø Praja Juhaya S, Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM, 1995
Ø Dr.Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1976
Ø Hasbi Ash-Shiediddiqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putera, 2001.
No comments:
Post a Comment