EUTHANASIA DALAM PANDANGAN SYARI’AT ISLAM
A. Fokusing Masalah
Euthanasia secaara bahasa berasal dari bahasa yunani “eu” yang berarti baik, dan thanatos yang berarti kematian. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau tasyir al-maut. Menurut isitlah kedokteran euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kemaatiannya.[1]
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanassia pasif. Euthanassia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir., yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.[2]
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokkter yakin yang bersangkutan akan mmeninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.[3]
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang meenderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkiin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan iinii berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbats. Sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak terdeteksi lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medismasih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalh ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.[4]
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, [5]orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
B. Pemetaan pendapat
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertma, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankn penderitaan pasien tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yangg berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara manapun.[6]
Menurut Pandangan Syariah Islam Euthanasia Aktif diharamkan, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu meringankan penderitaan pasien, hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. (Q.S Al-an’am: 151)
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Adapun hukum Euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, mislnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasieen.
Bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh. Dalam masakah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagan ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti di kemukkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, dimana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuuntutan yang tegas (wajib), tetapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersbda :
“sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia citakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR. Ahmad, dari Anas RA).
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah Ushul :
Al-Ashlu fi al-amari li ath-thalab
“perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan” (An-Nabhni, 1953)
Jadi, hadist riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadist itu tidak terdapat suau indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalm hadis-hadits lain justru dan akan menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernh datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tesingkap auratku (saat kambuh). Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”. Nabi SAW berkata, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berda kepada Allah agar dia menyembuhkanmu. “perempuan itu berkata, “Baiiklah aku akan bersabar, “ lalu dia berkata lagi, “sesungguhnya auratku sering tersingkap (saat ayanku kambuh), maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR.Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini di gabungkan dengan hadits pertama diatas yang memerintahkn berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah bukan wajib.
C. Argumentasi pendapat
Dalam argumentasi pendapat dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang pro dan kontra terhadap euthanasia. Argument mereka yang pro secara garis besar yaitu: euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertma, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankn penderitaan pasien tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yangg berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara manapun.[7]
Sedangkan dari argumen mereka yang kontra yaitu : Euthanasia Aktif diharamkan, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu meringankan penderitaan pasien, hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. (Q.S Al-an’am: 151).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Adapun hukum Euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, mislnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasieen.
Bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh. Dalam masakah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagan ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti di kemukkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
D. Analisis pendapat
Dari beberapa pendapat diatas masing-masing pendapat mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kelebihan dari pihak yang kontra yaitu si penderita euthanasia biasa meninggal dunia secara perlahan-lahan, bisa mengurangi rasa sakit yang terus-menerus, dan merasa dirinya tidak tersiksa.
Sedangkan kekurangan dari pihak yang pro yaitu euthanasia juga bisa di anggap pembunuhan, karena sama saja kita menghilangkan nyawa orang lain.
E. Penyebab perbedaan pendapat
Menurut hemat kami, penyebab perbedaan pendapat antara pihak yang pro dan kontra terhadap euthanasia adalah deklarasi dan pandangan syari’ah yang berbeda-beda dan cara pandang masing-masing tersebut dipengaruhi zaman yang berkembang.
F. Hikmah perbedaan pendapat
Hikmahnya yaitu pasien bisa mengalami ketenangan, tidak merasa tersiksa dalam kesakitan yang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
G. Apresiasi pendapat
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas, menurut saya pihak yang pro terhadap euthanasia mempunyai hujjah yang kuat.
Masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan-kelebihan dari masing-masing pendapat dapat disatukan Insya Allah akan menciptakan sebuah hokum yang progresif serta meningkatkan kemaslahatan manusia.
H. Natijah
Syariah Islam merupkan syriah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia baik euthanasia aktif maupun aktif.
Menurut Pandangan Syariah Islam Euthanasia Aktif diharamkan, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu meringankan penderitaan pasien, hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. (Q.S Al-an’am: 151)
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Adapun hukum Euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, mislnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasieen.
Bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh. Dalam masakah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagan ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti di kemukkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertma, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankn penderitaan pasien tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yangg berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Audah, Abdul Qodir. At-tasyri’ al jina’I al islami, muassasah ar risalah, Beirut; 1992.
Az Zuhaili, Wahbah. 1996, al Fikih al Islami Waadillatuhu. Juz IX (al Mutadrak), Damaskus; Darul Fikr.
No comments:
Post a Comment