kang daus
I. PENDAHULUAN
Telah kita ketahui, bahwa proses perkara pidana berjalan melalui empat tahapan, yaitu tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan siding pengadilan dan yang terakhir tahap pelaksanaan putusan pengadilan beserta pengawasnya.
Yang terlibat dalam tahap penyidikan terutama melibatkan Kepolisian, sedangkan dalam tahap penuntutan melibatkan kejaksaaan. Maka untuk kesempurnaan tugas penuntutan, jaksa perlu mengetahui secara menditail pekerjaan para penyelidik dari pertama dilakukannya penyelidikan, karena jaksalah yang nanti harus mempertanggungjawabkan tuntutannya di depan pengadilan. Maka didalam bab ini akan menjelaskan secara menditail mengenai penuntutan itu.
II. RUMUSAN MASALAH
Dalam pembahasan di bawah ini, akan diuraikan hal-hal yang berkaitan tentang penuntutan yaitu:
1. Sejarah Lembaga Penuntut Umum
2. Tugas Dan Wewenang Penuntut Umum
3. Surat Dakwaan
4. Penggabungan Dan Pemisahan Perkara
5. Penghentian Penuntutan Dan Penyampingan Perkara
6. Cara Melakukan Penuntutan
III. PEMBAHASAN
1. Sejarah Lembaga Penuntut Umum
Prancis adalah asal dari lembaga yang kita kenal sekarang dengan Lembaga penuntut umum, dan oleh Belanda dimasukkan dalam Wetboek van Stravordering (kitab Undang-Undang huklum Acara Pidana) pada tahun 1838.
Sebelumnya, tidaklah banyak perbedaan antara pelaksanaan proses perdata dan proses pidana. Lalu system ini lama-kelamaan menunjukkan kekurangan-kekurangan, sifat perdata dari penuntutan menyebabkan bahwa kerapkali sesuatu tuntutan pidana tidak dilakukan oleh orang yang dirugikan, disebabkan ia takut pembalasan dendam atau ia tidak mampu untuk mengungkapkan kebenaran dari tuntutannya, sebab kekurangan alat-alat pembuktian yang diperlukan.
Berujuk dari alasan tersebut, tuntutan pidana yang mulanya dari perseorangan kemudian diserahkan kepada suatu badan Negara yang khusus diadakan untuk itu, yang kita kenal sebagai Penuntut Umum.
2. Tugas Dan Wewenang Penuntut Umum
Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, berbunyi:
(1) Kejaksaaan republic Indonesia, yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
(2) Kekuasaan Negara sebagai dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
(3) Kejaksaan sebagaimanan dimaksudkan pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
Selanjutnya menurut pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik dari penyidik atau pembantu penyidik,
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan member petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik,
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik,
d. Membuat surat dakwaan,
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan,
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwah tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk dating pada siding yang telah ditentutkan,
g. Melakukan mepununtutan,
h. Menutup perkara demi kepentingan hokum,
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab,
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Juga di jelaskan mengenai tugas dan wewang penuntut umum dalam pasal 110 dan 138 KUHAP.
3. Surat Dakwaan
Surat dakwaan sangatlah penting dalam pemeriksaan perkara pidana, yang dimaksud surat dakwaan disini adalah suatu surat atau akte yang memuat perumusan dari tindak pidana yang didakwakan yang sementara dapat disimpulkan dari hasil penyidikan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan di siding pengadilan.
Tujuan dari surat dakwaan adalah bahwa Undang-Undang ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan suatu peristiwa pidana, untuk itu sifat-sifat khusus dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya.
Syarat-syarat dakwaan menurut pasal 143 (2) KUHAP berbunyi :
a. Dalam surat dakwaan harus disebut : nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka,
b. Surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Mengenai pembatalan surat dakwaan menurut Nederburgh ada dua macam :
1. Pembatalan yang formil, yaitu pembatalan yang disebabkan karena tidak memenuhi syarat-syarat mutlak yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.
2. Pembatalan yang hakiki, yaitu pembatalan menurut penilaian hakim sendiri, yang disebabkan karena tidak dipenuhinya suatu syarat yang dianggap esensial.
Kemudian tentang cara merumuskan dakwaan itu ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi,
b. Dalam lukisan itu harus ternyata pula unsure yuridis dari tindak pidana yang didakwakan.
Penyusunan dakwaan secara teknis dapat dilakukan sebagai berikut:
(a) Dakwaan tunggal, yaitu terdakwa didakwa satu perbuatan saja.
(b) Dakwaaan alternatif, yaitu terdakwa didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakekatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja.
(c) Dakwaan subsidier, yaitu terdakwa didakwakan lebih dari satu dakwaan, tetapi pada prinsipnya ia hanya dipermasalahkan satu tindak pidana saja. Maka apabila salah satu dakwaan telah terbukti, dakwaan selebihnya tak perlu dibuktikan.
(d) Dakwaan kumulatif, yaitu terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus, sedang tindak pidana itu harus dibuktikan keseluruhannya, sebab tindak pidana itu berdiri sendiri.
(e) Dakwaan campuran, yaitu bentuk gabungan antara dakwaan keumulatif dengan dakwaan alternafif ataupun subsidier.
4. Penggabungan Dan Pemisahan Perkara
Mengenai penggabungan perkara dijelaskan dalam pasal 141 KUHAP, tentang kemungkinan untuk menggabungkan perkara ini dalam hal:
a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sma dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya,
b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut dengan yang lain,
c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan :
a) Oleh lebih dari seorang yang bekerja san dan dilakukan pada saat bersamaan,
b) Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari pemufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya,
c) Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.
Sedangkan pemisahan perkara, dijelaskan dalam pasal 142 KUHAP yaitu : dalam hal penuntutan umum menerima satu berkas yang memuat beberap tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141 KUHAP, ia melakukan penuntutan terhadap masing-masing tersangka secara terpisah.
5. Penghentian Penuntutan Dan Penyampingan Perkara
Dalam penuntutan, hukum acara pidana mengenal dua asas, yaitu:
a. Asas legalitas, adalah bahwa apabila terjadi suatu tindak pidana, maka ada kewajiban bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan ke muka pengadilan bagi pelaku tindak pidana tersebut.
b. Asas oportunitas, yaitu meskipun bukti-bukti cukup mengenai kesalahan terdakwa tetapi apabila penuntut umum berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugiannya bagi kepentingan umum dengan menuntut terdakwa tersebut daripada tidak menuntutnya, maka penuntut umum berwenang untuk mengenyampingkannya.
Jika dibandingkan, maka perbedaan dan persamaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara antara lain:
a) Pejabat yang berwenag melakukan penghentian penuntutan adalah penuntut umum, sedangkan dalam penyampingan perkara yaitu Jaksa Agung.
b) Sebagai dasar hokum penghentian penuntutan adalah pasal 140 ayat (2), sedangkan dasar hokum penyampingan perkara diatur dalam UU No 16 Thn 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 35 c,
c) Sebagai alasan penghentian penuntutan adalah karena tidak terdapat cukup bukti atau bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hokum, sedangkan alasan dalam penyimpangan perkara adalah demi kepentingan umum,
d) Menurut KUHAP apabila perkara dihentikan penuntutanya maka konsekuensi hokum ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi tersangka yang perkara pidananya dihentikan penuntutannya, sedangkan dalampenyampingan perkara hal tersebut tidak mungkin karena dalam perkara pidananya itu sebenarnya cukup bukti dan tersangka bersalah,
e) Dalam hal penghentian penuntutan ini, kemingkinan tersangka dikemudian hari dituntut kembali masih bias, apabila ternyata ada alasan baru, sedangkan dalam penyampingan perkara tersangka yang perkara pidananya itu dikesampingkan demi kepentingan umum tidak mungkin dituntut kembali di kemudian hari,
f) Bentuk surat penghentian penuntutan berupa ketetapn dari penuntut umum, Kepala Kejaksaan Negeri, sedangkan bentuk surat penyampingan perkara adalah keputusan Jaksa Agung.
6. Cara Melakukan Penuntutan
Di pengadilan, terdapat 3 jenis perkara, yang sebutannya disesuaikan dengan car melakukan penuntutannya atau cara pemeriksaannya, yaitu:
1) Perkara cepat, yang terdiri atas:
a) Perkara cepat tindak pidana ringan, yaitu perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denga sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan sebagaimana dalam pasal 315 KUHP.
b) Perkara cepat lalu lintas, yaitu perkara pelanggaran lalu lintas tertentu.
2) Perkara singkat, yaitu perkara pidana yang menurut penuntut umum pembuktiannya mudah, penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
3) Perkara biasa, yaitu perkara yang sulit pembuktiannaya, demikian pula penerapan hukumnya dan merupakan perkara besar diajukan oleh penuntut umum dengan surat pelimpahan perkara.
IV. PENUTUP
Demikianlah pembahasan singkat mengenai penuntutan, yang merupakan tahap kedua dari proses perkara pidana. Kami sadar masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam pembahasan ini, maka saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Dan semoga bermanfaat bagi kita semua, amin
DAFTAR PUSTAKA
Susanto, suryono, Hukum Acara Pidana, 2005, semarang; Badan Penerbit Universitas Diponegoro
No comments:
Post a Comment