kang adib
kang wahab
kang majid
I. PENDAHULUAN
Agama adalah sesuatu yang datang dari Tuhan untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan dunia dan kebahagiaan ukhrawi. Adapun kebudayaan adalah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan.
Al Islam hanyalah satu, tetapi kebudayaan Islam tidaklah satu. Sedemikian banyak dan bervariasi sesuai dengan kondisi obyektif ruang dan waktu, sesuai dengan tempat dan masa para pencipta dan pengembang kebudayaan tersebut.
Dalam kehidupan keagamaan, kecenderungan untuk memodifikasikan Islam dengan kebudayaan Jawa telah melahirkan berbagai macam produk baru terutama pada hasil interelasi nilai Jawa Islam dengan nilai kepercayaan dan ritual Jawa.
Dalam konteks Indonesia, kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting karena dimiliki sebagian besar etnik terbesar di Indonesia. Nilai-nilai Islam memiliki arti penting bagi kebudayaan Jawa karena mayoritas masyarakat Jawa beragama dan memeluk agama Islam. Dengan demikian hubungan nilai-nilai Islam dengan kebudayaan Jawa menjadi menarik karena keberadaan Islam dan kebudayaan Jawa yang cukup dominan pada bangsa Indonesia.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Interelasi
B. Interelasi Nilai Jawa Islam Dalam Aspek Keagamaan
C. Cakupan Interelasi Islam Dan Jawa
D. Ajaran Keseimbangan: Nilai Jawa dan Islam
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Interelasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, interelasi berarti hubungan satu sama lain. Jadi yang dimaksud interelasi di sini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek kepercayaan.
Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaan yang bersumber pada ajaran Hindu yang ditandai dengan adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang-orang suci, roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma dan hidup bahagia abadi (moksa). Di samping itu juga ada yang bersumber pada ajaran Budha yang ditandai dengan adanya percaya pada Tuhan (Sang Hyang Adi Budha), selain itu juga ada kepercayaan animisme dan dinamisme.
Setelah kedatangan Islam ke Jawa, terjadilah suatu interelasi Islam dengan Jawa yang salah satunya adalah interelasi antara kepercayaan dan ritual Islam dengan nilai-nilai Jawa. Pada dasarnya interelasi ini ditempuh dengan jalan penyerapan secara berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan dilafalkan Islam berbahasa Arab menjadi fenomena Jawa.
Salah satu prinsip utama dalam pemikiran keagamaan Jawa adalah segala sesuatu yang ada tersusun dari wadah dan isi. Alam, bentuk fisik tubuh dan kesalehan normatif adalah wadah. Allah, sultan, jiwa, iman dan mistisme merupakan isi. Kalangan mistikus Jawa meyakini, pada akhirnya isi lebih berarti daripada wadah, sebab merupakan kunci kesatuan mistik.
B. Interelasi Nilai Jawa Islam Dalam Aspek Keagamaan
Sebelumnya perlu diketahui, bahwasanya ada dua manifestasi dari agama Islam Jawa yang cukup berbeda, yaitu Agama Jawi dan Agama Islam Santri. Sebutan yang pertama berarti “agama orang Jawa”, sedangkan yang kedua berarti “agama Islam yang dianut orang santri”.
Bentuk agama Islam orang Jawa yang disebut Agami Jawi atau Kejawen Itu adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu Budha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Varian agama Islam santri, yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu Budha, lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.
Agama Jawi ini lebih dominan di daerah-daerah Negarigung di Jawa Tengah, di Bagelen dan di daerah Mancanegari, sedangkan agama Islam Santri lebih dominan di daerah Banyumas dan pesisir Surabaya, daerah pantura, ujung timur pulau Jawa, serta daerah-daerah pedesaan di lembah sungai Solo dan sungai Brantas.
1. Sistem Keyakinan Agami Jawi
Sistem budaya Agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa. Terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti yakin adanya Allah, Muhammad sebagai pesuruh Allah, yakin adanya Nabi-nabi lain dan tokoh-tokoh Islam keramat, yakin adanya konsep dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta, memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah mati, yakin adanya makhluk-makhluk halus jelmaan nenek moyang yang sudah meninggal, yakni roh-roh penjaga, yakin adanya setan hantu dan raksasa dan yakin akan adanya kekuatan-kekuatan ghaib dalam alam semesta ini.
2. Sistem Keyakinan Islam Santri
Sistem keyakinan Islam santri baik penduduk pedesaan maupun kota berawal dari enkulturasi, mereka dilatih membaca al-Qur’an yang terdiri dari konsep-konsep puritan mengenai Allah, Nabi Muhammad, mengenai penciptaan dunia, perilaku yang baik dan buruk, kematian dan kehidupan dalam dunia akhirat, yang semua telah dipastikan adanya. Orang santri di pedesaan umumnya menerima konsep-konsep ini sebagaimana adanya tanpa mempedulikan mengenai interpretasinya; akan tetapi para santri di kota biasanya memperhatikan moral serta etika dari interpretasi dari ajaran-ajaran tersebut.
Lebih simpelnya dari aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah tercampur dengan keyakinan Jawa (Hindu, Budha, Animisme dan Dinamisme), di antaranya sebutan Allah menjadi Gusti Allah, ingkang Maha Kuwaos (al-Qadir). Di samping itu juga ada Hyang Jagad Nata (Allah Rabb al-Amien), kata Hyang berarti Tuhan atau Dewa. Di kalangan umat Islam Jawa masih ada bekas dan pengaruh kepercayaan animisme yang dapat kita saksikan dalam bentuk baru. Misalnya zaman dahulu azimat dibuat dari kuku harimau, saat ini dibuat dengan secarik kertas yang ditulis dengan petikan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam aspek ketentuan takdir baik buruk dari Tuhan, tradisi Jawa dipengaruhi oleh teologi Jabariyah yang menyebabkan orang Jawa lebih bersikap pasrah, sumarah dan nrimo ing pandum terhadap takdir Allah.
C. Cakupan Interelasi Islam Dan Jawa
Interelasi antara Islam dan Jawa mencakup begitu banyak aspek, bahkan hampir seluruh aspek-aspek kehidupan Jawa berinteraksi dan berinterelasi dengan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
1) Aspek kepercayaan dan ritual
a. Aspek kepercayaan
Penjelasan mengenai aspek kepercayaan dapat dilihat pada pembahasan di atas mengenai interelasi Islam dan Jawa dalam aspek kepercayaan.
b. Aspek ritual
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan ritual-ritual tertentu. Meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun iman, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Intisari dari shalat adalah doa, sedangkan puasa dalam budaya Jawa ada yang namanya puasa badalah yang berfungsi dalam pengendalian nafsu dan penyucian rohani. Menurut Rangga Warsito, puasa dapat ditukar dengan kata tapa, karena praktek tapa pada umumnya dibarengi dengan puasa. Dalam Islam kejawen tapa itu merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin dalam pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuan dari bertapa adalah untuk mendapatkan kesaktian dan mampu berkomunikasi dengan makhluk ghaib.
Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara-upacara, baik yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut sang Ibu, lahir, kanak-kanak, sampai upacara saat kematiannya, atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari. Upacara tersebut semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan-kekuatan ghaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan kelangsungan kehidupan manusia.
Secara halus Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selamatan. Di dalam upacara selamatan ini yang pokok adalah pembacaan doa (dalam istilah Jawanya dongo) yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan Islam, apakah itu kaum lebai atau kiayi. Selain itu, terdapat seperangkat makanan yang dibawa pulang ke rumah peserta selamatan, yang disebut berkat. Makanan-makanan itu disediakan oleh penyelenggara upacara atau shohibul hajat, dalam bentuknya yang khas, makanan inti adalah nasi tumpeng, lingkung ayam dan ditambah umbarampe yang lain.
2) Aspek pendidikan
Sebuah institusi pendidikan, pesantren adalah wujud kesinambungan budaya Hindu Budha yang di Islamkan secara damai. Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu Budha kemudian berlanjut pada masa Islam. Sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antar sistem pendidikan Hindu Budha dengan pendidikan Islam yang telah mengenal uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu Budha, yaitu pada saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan pemukiman. Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau pondok pesantren.
Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha yang disebut dengan Mandala. Mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan. Sebuah kawasan atau pengikutnya. Menurut IP Simanjuntak menyebutkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam telah mengambil model dan tidak mengubah struktur organisasi dari lembaga pendidikan Mandala pada masa Hindu. Pesantren hanya mengubah isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi sarana bagi pemahaman pelajaran agama dan latar belakang para santrinya.
Asal usul pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah Walisongo. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa pada abad 15-16 yang telah berhasil mengombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam dalam masyarakat. Mereka yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (W. 1419 H) merupakan orang pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri. Dengan tujuan agar para santri dapat menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di masyarakat luas.
Pendekatan dan kebijakan Walisongo terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejahteraannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri, melalui konsep modeling keagungan Nabi Muhammad Saw. Jika dalam dunia Islam. Rasulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, maka dalam masyarakat Jawa kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisongo.
Bagi Walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama, mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak kandung sendiri. Ajaran-ajaran Walisongo tidak dapat dipisahkan dari ajaran dasar sufisme. Sufisme sebagai elemen aktif dalam penyebaran Islam di Jawa yaitu dengan adanya kehadiran tariqat Qadariyyah, Naqsabandiyah serta Suhrowardiyyah. Tariqat dan supremasi ilmu agama sebagaimana yang telah terukir dalam sejarah merupakan ciri lain dari kehidupan pesantren.
3) Aspek politik
Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Orang yang mengutamakan nilai ekonomi, akan selalu mengedepankan nilai ekonomi serta keuntungan materi. Sedangkan yang lebih mengutamakan nilai politik, perilakunya diwarnai oleh nilai politik. Ia akan menerapkan moral politik seperti yang diajarkan oleh Niccolo Machravelli, yang menghalalkan segala cara. Ini terlihat jelas dalam sejarah perilaku golongan priyayi Jawa dalam kerajaan-kerajaan Jawa hingga zaman Mataram. Artinya apabila kekuasaan politik yang mereka pandang sebagai sumber kejayaan ini diganggu, mereka akan membela mati-matian seperti ungkapan: “pecahing dhadha wutahe ludiro”.
Penyebaran agama islam yang pada mulanya terpusatkan di daerah-daerah pesisir, akhirnya mendapat sambutan baik dari para kepala daerah atau bupati. Dukungan umat Islam pun memperluas kekuasaan para bupati itu hingga berhasil membentuk kesultanan-kesultanan lokal. Di antara kesultanan Jawa Islam yang kemudian meluas kekuasaan politiknya adalah kesultanan Demak. Karena itu, sejak abad ke 15 dan abad ke 16 M, penyebaran agama islam telah didukung berbagai kesultanan di daerah pesisiran.
4) Aspek sastra
Salah satu elemen yang menonjol adalah Islam sebagai agama yang berkembang di Jawa memperoleh banyak pengikut semenjak di perkenalkan oleh para pendatang melalui kawasan pesisiran dan kemudian masuk ke pedalaman berinteraksi dengan elemen lama. Pertemuan antara etika Jawa (warisan Hindu Budha) yang telah ada sebelumnya dengan ajaran Islam yang menganggapnya terseret kepada kebatinan yang banyak dalam hal menyalahi syari'at Islam. Lepas dari persoalan tentang kapan masuknya Islam ke Jawa, masalah lain yang tak kalah penting adalah proses inkulturasi, di antara elemen-elemen Islam yang sangat menonjol dalam kebudayaan lokal.
a) Islam dan sastra Jawa Pesisiran
Sastra pesisiran sebagai bagian dari sastra Jawa memiliki kaitan erat dengan proses perkembangan kehidupan keagamaan karena pada dasarnya kehidupan sehari-hari masyarakat tak dapat di lepaskan dari kerangka agama, biasanya diidentifikasi sebagai karya sastra yang berkaitan dengan proses Islamisasi Jawa yang memakan waktu lama dan berlangsung damai. Karya-karya yang muncul dari kalangan penulis memperhatikan warna agama yang begitu dominan, bahkan ada kecenderungan ke arah mempertahankan unsur legalistic dalam agama dari kemungkinan masuknya elemen-elemen yang di anggap mengandung unsur menyesatkan. Karya yang di anggap paling tua adalah naskah yang diidentifikasi berasal dari Tuban, yang di terbitkan Schrieke sebagai disertasi dengan judul Het Boek Van Bonang, dan di terbitkan khusus oleh SWJ.Drewes dengan judul The Admotion of She Bari (Wejangan Syeh Bari). Tulisan Drewes tersebut merupakan kritik atas disertasi yang di tulis oleh Schriele di atas. Karya tersebut di anggap sebagai tulisan sunan Bonang atas dasar informasi yang ada di bagian kolofon yang menyatakan tamat cerita, karena budi pekerti pangeran Bonang, pandangan demikian dianggap keliru oleh Drewes karena bisa saja di tulis oleh penyalin naskah yang belum tentu sunan Bonang.
Dari karya tersebut terlihat pada garis besar menjelaskan tentang apa yang di sebut sebagai wirasaning usul sulune yang pada dasarnya berisi ajaran tasawuf yang di ambil dari ajaran tasawufnya Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi yaitu tasawuf yang bercorak Sunni sedemikian kentalnya dengan unsur Sunni sehingga ajarannya menolak elemen tasawuf. Falsafi ajaran Ibnu Arabi misalnya dengan ucapannya yang mengatkan al insnu sirri waana sirruhu yang berarti intisari manusia adalah intisari Ku dan aku adalah intisari Nya, pandangan ini tidak sejalan dengan tradisi Sunni yang memustahilkan manusia memiliki esensi yang sama dengan Tuhan, secara garis besar naskah ini memberikan suatu wejangan agar urid-murid Syeh Bari tidak tersesat mengikuti ajaran tasawuf yang mendekati ajaran falsafi.
Semangat yang mengutamakan syari'at di bandingkan dengan kehidupan spiritual mencapai puncaknya pada penulisan syair yang berisi ajaran Islam gaya Ahlussunnah seperti yang di perlihatkan KH. Ahmad Ri'fa'i dari Kalisalak. Ia menyusun kitab-kitab yang berbentuk syair yang berjumlah 52 buah, 19 di antaranya di simpan pada bagian Timur. Kitab-kitab para pengikutnya di susun dengan tarjumah tersebut berisi berbagai tiang keislaman. Karangannya, akidah, syari'ah dan tasawuf. Kitan-kitab tersebut dapat di pandang sebagai bagian dari agitasi, mengajarkan agama Islam gaya pesisiran dengan corak linguistik yang berlangsung lama.
b) Pedalaman yang bercorak mistis
Bersamaan dengan proses klamisasi yang bergerak dari kawasan pesisir menuju pedalaman sebagaimana di jelaskan di atas maka terjadi pula proses Islamisasi sastra pedalaman yang semula bercorak Hindu Sentris menjadi berbau keislaman, meskipun pada akhirnya merupakan perpaduan antara ajaran Islam dengan elemen-elemen tasawuf dalam naskah centini yang memperlihatkan bahwa unsur Islam yang dekat dengan ajaran mistik
Suatu karya besar yang mengilhami kebudayaan kejawen adalah wirid tersebut berisikan tentang tata cara seseorang yang ingin mengadakan kemanunggalan dengan Tuhan. Kondisi menyatunya manusia dengan Tuhan merupakan fenomena universal dalam berbagai agama yang memiliki ajaran semacam ini, yakni ketika manusia berpandangan bahwa realitas hakiki sebenarnya hanyalah bayangan dari keberadaan Tuhan. Manusia yang bijaksana tidak akan mengejar realitas yang hanya bayangan, tetapi yang hakiki yaitu Tuhan. Tuhan menjadi sesuatu yang "di bawahnya" kemanapun ia pergi yang di sebut Wahdat al-Syu'ud sehingga gemerlapnya dunia ini tidak mengikatnya
Paham kejawen yang memiliki kesejajaran dengan tasawuf mistik merupakan realitas masyarakat Jawa yang memiliki akar kuat sehingga senantiasa memiliki pengikut dan perkembangannya amat tergantung kepada seberapa jauh apresiasi generasi penerus terhadap nilai-nilai masa lalu yang ada dalam ajaran sastra pedalaman.
D. Ajaran Keseimbangan: Nilai Jawa dan Islam
Ajaran keseimbangan yang diajarkan oleh Islam terlihat pada doktrin bahwa kekayaan mempunyai fungsi sosial. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan fungsi sosial tersebut adalah seperti pada:
Surat Az-Zukhruf ayat 32:
•
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Surat Adz-Zariyaat ayat 19:
Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Di samping itu al-Qur’an juga dengan tegas melarang penumpukan harta benda dalam arti penimbunan (QS.104: 2).
Dalam berbagai dalil di atas terasa bahwa kepemilikan harta bukanlah yang utama tetapi dorongan untuk mengendalikan diri dan tidak mengumbar pemenuhan kebutuhan secara individual semata adalah sangat utama. Dalam hal ini tersirat ajaran bahwa Islam mengajarkan dan menggariskan prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan “sekedar kebutuhan” sambil tetap menjaga keseimbangan dengan yang lain.
Persoalan pengendalian diri merupakan persoalan yang sama-sama mendapatkan perhatian dalam masyarakat yang mendukung budaya Jawa dan ajaran Islam, dalam masyarakat Jawa sering digunakan istilah Bethara Kala yang merupakan tokoh dalam tradisi Jawa dan berfungsi sebagai simbolisasi waktu. Bethara Kala ini ketika dapat ditundukkan sebenarnya dapat berarti bahwa sang waktu telah dapat dikuasai. Sebaliknya apabila waktu tidak dapat dikuasai dalam arti tidak menghargai waktu dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya maka hal ini disimbolkan dengan di makan Bethara Kala.
IV. KESIMPULAN
Kita semua tahu bahwa agama Islam dengan kebudayaan jawa dalam masyarakat di lingkungan kita sangatlah erat hubungannya. Karena masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi akan suatu nilai unggah ungguh dan rasa hormat kepada seseorang yang dianggap lebih tua, maka untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa kita harus masuk dengan cara halus yaitu melalui mencampurkan budaya Jawa dan Islam serta menghilangkan semua hal-hal yang berbau syirik dalam budaya mereka dengan tanpa menghilangkan semua adat yang sudah berkembang ditengah-tengah mereka.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu kritik yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya agar lebih baik. Semoga makalah ini bermanfa’at bagi penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Amiiin . . . .
No comments:
Post a Comment