I. PENDAHULUAN
Zaman semakin lama akan semakin maju, begitu juga dengan hukum-hukumnya. Secara otomatis hukum-hukum yang ada dulu kurang cocok lagi bila diterapkan pada zaman sekarang ini, karena permasalahan-permasalahan nya sudah berbeda.
Diperlukanlah hukum-hukum baru, terutama bagi ummat Muslim yang ummat tersebar di berbagai penjuru dunia, dengan keadaan dan kondisi masyarakat yang berbeda-beda. Maka teori ijtihad menjadi sangat berperan penting dalam menghadapi era seperti itu, yang mana dengan ijtihad maka hukum-hukum Islam dapat disesuaikan dengan keadaan dan kondisi pada zamannya.
Begitu juga dengan fiqih islam, ada masanya dimana fiqih Islam itu mengalami kemajuan, ada masanya di mana fiqih Islam itu mengalami kemunduran, dan akhirnya bangkit kembali. Maka dalam makalah ini, akan dijelaskan lebih rinci lagi mengenai masa dimana fiqih Islam mengalami kecemerlangan atau kemajuan.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kecemerlangan Fiqh?
2. Apa saja Kodifikasi Ilmu Pengetahuannya?
3. Bagaimana Mazhab Syafi’I itu?
III. PEMBAHASAN
1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kecemerlangan Fiqh
Adanya mazhab-mazhab merupakan salah satu faktor kecemerlangan fiqih, yang mana jika kita perhatikan, lahirnya mazhab ternyata sangat dipengaruhi faktor sosial budaya, politik, dan kecenderungan para imam yang membentuk karakteristik, teori dan formula yang berbeda, meskipun sama-sama berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama. Mazhab Hanafi yang bercorak rasional misalnya, Maliki yang cenderung tradisional, Syafi’i yang moderat serta Hambali yang fundamental, bukanlah karena pembawaan kepribadian masing-masing imam itu, tetapi mazhab-mazhab mereka itu merupakan refleksi logis dari situasi kondisi masyarakat dimana hukum itu tumbuh.
Selain perhatian yang besar dari khalifah Bani Abbasiyah terhadap fiqh sehingga menuju era keemasan, ada beberapa faktor lain yang punya andil dalam perjalanan menuju era keemasan itu.
Faktor-faktor ini antara lain:
a. Tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah.
Pada masa khalifah kedua Bani Abbas yaitu Al-Mansur, mulai muncul perhatian ulama terhadap kajian-kajian filsafat, kedokteran, kimia, kebudayaan dan lain-lain. seiring juga dengan gerakan penerjemahan buku-buku Yunani dan Romawi juga berkembang pesat. Yang mana gerakan penerjemahn itu telah mengubah tata cara berpikir kaum muslim yang terlalu simplistis menuju tata cara berpikir filosofis analisis. Pengaruh ini dapat dirasakan dalam ilmu teologi, ushul fiqh, dan juga dalam fiqh itu sendiri.
b. Kebebasan berpendapat
Kebebasan berpendapat ini di berlakukan oleh khalifah Bani Abbasiyah yaitu untuk membangkitkan keberanian berijtihad para fuqaha. Pemerintahan Daulah Abbasiyah tidak ikut campur dalam urusan fiqh, misalnya dengan meletakkan peraturan yang mengikat kebebasan berpikir dan tidak pula membatasi mazhab tertentu yang mengikat para hakim, mufti atau ahli fiqh memiliki kebebasan untuk menentukan hukum sesuai dengan metodologi dan kaidah-kaidah ijtihad yang mereka gunakan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan berpendapat tadi adalah banyaknya fatwa pada periode ini.
c. Banyak fatwa yang menunjukkan kekayaan tsarwah fiqhiyah, hal itu sebagai konsekuensi dari kebebasan berpendapat.
d. Kodofikasi ilmu
Kodifikasi ilmu punya peranan penting dalam perkembangan fiqh karena itu membuka kemungkinan berlangsungnya dialog yang lebih kontruktif dan terarah. Setiap fuqaha dapat mengkaji secara langsung dan seksama berbagai persoalan yang berkembang, meneliti kekuatan hukumnya dan metode atau kaidah-kaidah dasar yang menjadi pijakan dimana hukum itu dibangun.
Pada periode ini penulisan tidak terbatas pada masalah-masalah fiqh yang berkembang saat itu, tetapi juga penulisan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Dalam buku-buku tafsir yang ditulis pada periode ini kita dapat menjumpai fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.
2. Kodifikasi Ilmu Pengetahuan
Pada periode ini dikenal sebagai periode ilmu pengetahuan dan secara lebih khusus kodifikasi fiqh dan kaidah-kaidahnya(ushul fiqh dan sumber-sumber fiqh). Diantara kodifikasi yang memberikan kontribusi bagi perkembangan fiqh dan kebangkitannya yaitu:
a) Penulisan sunnah
Larangan penulisan Sunnah ini, menurut sebagian ulama tidak ditujukan kepada semua sahabat, tetapi khusus untuk para penulis wahyu, karena khawatir akan bercampur antara wahyu dan hadis. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa larangan itu terjadi pada masa-masa awal turunnya wahyu atau sebelum para sahabat dapat membedakan antara Al-Qura’an dan Hadis. Setelah banyak sahabat hafal Al-Qur’an dan dapat membedakannya dengan hadis, maka nabi membolehkan penulisan Sunnah tadi.
b. Penulisan Tafsir
Pada periode ini tafsir mulai ditulis secara tematik dan menurut kronologi surat dan ayat. Beberapa tafsir yang terkenal saat itu adalah tafsir Ibnu Juraih, Saddi dan Muhammad bin Ishaq.
c. Penulisan fiqih
pada pemerintahan Daulah Abbasiyah, muncul era baru dalam penulisan fiqih. Setiap ahli fiqih menulis sendiri pendapat dan fatwa mereka kemudian mengajarkannya kepada murid-muridnya. Keistimewaan dari buku-buku yang ditulis pada periode ini adalah pengungkapan yang mudah dan jelas artinya, yang menjadikan fiqih mudah dipahami dan dipelajari oleh siapapun.
e. Penulisan Ushul Fiqih
konsep ushul fiqih sebagai suatu kaidah dasar ijtihad memang telah dipakai oleh para mujtahidin sejak periode-periode awal atau pada masa sahabat dan tabi’in. Konsep ushul fiqih saat itu belum terumuskan secara sistematik, tetapi Syafi’i lah yang datang merumuskannya dalam buku khusus yang disebut Ar-Risalah. Karena itu Imam Syafi’i oleh beberapa ulama disebut ‘the founding father’ ilmu ushul fiqih dalam pengertian di atas.
f. Munculnya Mazhab-mazhab Fiqih
Munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini merupakan puncak dari perjalanan fiqih. Yang mana munculnya mazhab-mazhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarahnya sendiri, tidak karena pengaruh hukum Romawi sebagai dituduhkan para orientalis.
Secara umum fuqaha sunni pada saat itu terbagi kepada dua golongan, yaitu fuqaha sunni ahli ra’yi( Abu Hanifah) dan fuqqha sunni ahli hadits(Malik bin Anas), di samping itu muncul aliran yang pertengahan antara dua aliran tersebut yaitu aliran Imam Asy-Syafi’i.
Jika dilihat dari kitab-kitab para imam berdasarkan kronologi kehidupannya, maka akan tersusun sebagai berikut: 1. Abu Hanifah (Al-Ashl, 80-150 H), 2. Malik ibn Anas(Al-Muwathtah, 93-179), 3. As-Syafi’i(Al-Umm,150-204 H), 4. Ahmad Ibn Hanbal, 164-241 H), 5. Imam Bukhari(Al-Jami’ Al-Shahih.194-256 H), 6. Daud Al-Zhahiri(Ibthal Al-Taqli, 200-275 H), 7. Abu Daud(Al-Sunan,202-275 H), 8. Imam Muslim(Al-Jami’ Al-Shahih, 204-251 H), 9. Al-Thirmidzi(Al-Jami’ Al-Shahih, 209-279 H), 10. Ibnu majah(Al-Sunan, 209-273 H), 11. Al-Nasa’(Al-Sunan, 215-302 H).
Sejarah mencatat bahwa banyak mazhab-mazhab yang terkemuka pada zaman itu. Mazhab-mazhab fiqih yang banyak itu memang tidak menghilang atau melemah dengan sendirinya, tetapi melalui uji coba, verivikasi ilmiah dan operasional dalam suatu ruang dan waktu yang panjang sekitar enam ratus tahun. Dengan kata lain, keempat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali telah melewati suatu masa penggodokan yang panjang dari generasi taqlid dimana ulama generasi ini hanya memusatkan kajian-kajiannya untuk perkembangan fiqih dan mencari relevansinya untuk pengembangan lebih lanjut. Dan sudah barang tentu, karakteristik, teori, metode berpikir dan formula para imam mazhab merupakan refleksi logis dari situasi kondisi masyarakat atau faktor sisial budaya dimana hukum itu tumbuh.
3. Mazhab Syafi’i
Dari emapat mazhab fiqh yang terkenal, salah satunya adalah Mazhab Syafi’i atau Mazhab Imam Syafi’i, yang dikenal dengan sintesa menuju posisi tengah, antara Hanafi dan Maliki. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris, lahir tepat pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah (150 H) dan wafat di Mesir tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa ibunya pindah ke Mekkah.
Dalam usia sekitar tujuh tahun, ia sudah hafal Al-Qura’an diluar kepala. Sesudah itu ia menghafal hadis-hadis Nabi.ia juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan. Ia juga ahli dalam bidang puisi dan sastra serta mempunyai kemampuan tinggi dalam menyusun bahasa yang indah.
Sejak awal kedatangannya di Mesir dalam usia 50 tahun, penduduk negeri itu menyebut Imam Syafi’I dengan gelar “Qadhi Asy-Syariah( hakim syariat), meskipun ia tidak pernah menjabat tugas kenegaraan sebagai qadhi atau hakim. Sebutan tersebut menunjukkan betapa tingginya penilaian masyarakat terhadap imam fiqih yang berwawasan luas dan berilmu syariat sangat dalam.
Dalam masalah fiqih, mula-mula ia belajar dari Syekh Muslim bin Khalid al-Zinji hingga mendapat kesaksian dari Syekhnya untuk memberi fatwa. Lalu ia berguru dengan Imam Malik, dikarenakan tertarik dengan bukuny Muwattha. Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi’i dalam berbagai aliran fiqih dan hadis dan bahkan teologi, telah membuatnya berwawasan luas dengan pisau analisisnya yang tajam. Ia mengerti letak kekuatan dan kelemahan, luas dan sempitnya pandangan masing-masing mazhab tersebut. Dengan bekal itu Imam Syafi’i mulai melangkah membangun pemikiran fiqihnya secara modera.
Fiqh imam syafi’i juga merupakan refleksi zaman, sejarah menujukkan bahwa dia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Munculnya dua kecenderungan dalam mazhab Syafi’i yang disebut qaul jadid(mazhab baru) dan qaul qadim(mashab lama) akan sangat menguatkan kesimpulan ini.
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi;i di bangun di Irak, tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebadan sengit dengan para ahli fiqih rasional irak, yang akhirnya ia berhasil mempengaruhi pemikir-pemikir Irak. Sedangkan mazhab jadidi adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir yang dalam banayk hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya.
Dasar-dasar Mazhab Syafi’I antara lain:
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam mazhab Syafi’I adalah: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Istidlal. Dan mazhan Syafi’I banyak diikuti oleh ummat Islam di Afrika Utara, Mesir, Saudi Arabia, Yaman, Libanon, Pakistan, Irak, Palestina, Semenanjung Malaya, Sri Langka, Indonesia dan beberapa Negara Asia tenggara.
Hipotesis menarik dalam pemikiran metodologis Syafi’i adalah pernyataannya, “setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an.” Untuk membuktikan hipotesanya itu Syafi’i menyebut empat cara Al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum.
1) Al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan salat, zakat, puasa dan haji, atau nash yang mengharamkan zina, munum khamar, makan bangkai, darah dan lainnya.
2) Suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat salat, waktu pelaksanaannya. Semua itu hanya disebut global dalam Al-Qur’an dan Nabi lah yang menerangkan secara terinci.
3) Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur’an
4) Allah juga mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Dengan pendapat-pendapat dan hasil-hasil pemikiran yang baru itu, Imam Syafi’I masih tetap mengajar, berdiskusi, dan berdialog dengan sejumlah kaum Muslim di dalam tiga halaqah pengajaran, yaitu: halaqah pengajaran Al-Qur’an, Hadis, srta sastra bahasa dan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dalam halaqah tersebut, Imam Syafi’I meringkas kaidah-kaidah ilmu ushul fiqih sebagai berikut:
“Kami menetapkan ketentuan hukum berdasarkan Kitabullah(Al-Qur’an) dan Sunnah yang ijma’ nya tidak mengandung perbedaan pendapat. Mengenai itu kami mengatakan bahwa, kami telah menetapkan ketentuan hukum atas dasar kebenaran lahir dan batin( hukum nyata dan yang tersembunyi). Kami menetapkan ketentuan hukum menurut Sunnah yang diriwayatkan ‘an thariq al-infirad(secara perorangan). Kami pun menetapkan ketentuan hukum berdasarkan ijma; dan qiyas, namun qiyas lebih lemah dari ijma’. Akan tetapi, jalan qiyas baru dapat ditempuh dalam keadaan darurat, karena qiyas tidak boleh ditempuh selagi masih terdapat hadis.”
IV. KESIMPULAN
dari penjelasan dan data diatas, dapat di analisis bahwa kecemerlangan era fiqih itu disebabkan karena banyaknya mazhab-mazhab yang dikeluarkan oleh para imam-imam yang ahli, yang mana salah satu pendukung banyaknya keluar mazhab-mazhab itu karena adanya kebebasan berpendapat bagi para fuqaha, seperti pada waktu pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah yang tidak mengekang para mujtahid-mujtahid untuk mengemukakan pendapatnya. Dan dapat digambarkan pula bahwa Mazhab Hanafi bercorak rasional, Maliki cenderung tradisional, Syafi’I yang moderat serta Hanbali yang fundamental, yang mana mazhab-mazhab itu merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi masyarkat di mana para imam itu membuat hukum.
Selain itu juga, mazhab-mazhab yang dikeluarkan itu sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, politik dan kecenderungan karakteristik para imam tersebut, walaupun dasar-dasar mereka sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Maka dari penjelasan dia atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Faktor-faktor penyebab kecemerlangan fiqih antara lain: Tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, Kebebasan berpendapat, Banyak fatwa yang menunjukkan kekayaan tsarwah fiqhiyah, dan Kodofikasi ilmu.
Kodifikasi ilmu pengetahuan pada saat itu antara lain: Penulisan sunnah, Penulisan Tafsir, Penulisan fiqih, Penulisan Ushul Fiqih, Munculnya Mazhab-mazhab Fiqih.
Salah satu mazhab yang terkenal diantaranya Mazhab Imam Syafi’i, yang dikenal dengan sintesa menuju posisi tengah, antara Hanafi dan Maliki. Selain itu, Imam Syafi’I dikenal dengan gelar “Qadhi Asy-Syariah( hakim syariat), meskipun ia tidak pernah menjabat tugas kenegaraan sebagai qadhi atau hakim. Sebutan tersebut menunjukkan betapa tingginya penilaian masyarakat terhadap imam fiqih yang berwawasan luas dan berilmu syariat sangat dalam.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini disusun, semoga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita secar umumnya, dan bagi penulis secara khususny. Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam makalh ini, maka saran dan kritik yang membangun sangatlah diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sirry Mun’im, Sejarah Fiqih Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1995
Al Husaini, Al Hamid, H.M.H, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, bandung, Pustaka Hidayah, 2000
Djatnika, Rachmat, Prof. Dr. H, dkk, Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam, Jakarta, Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG, 1986
Mubarok, Jaih, DR, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2000
Usman, Suparman, Prof, Dr, H, S.H, Hukum Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001
No comments:
Post a Comment