I. PENDAHULUAN
Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum muslimin, karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal dari kata As-Salaam yang artinya perdamaian. Karena As-salam dan Al-islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan ketenangan. Akan tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi. Salah satunya yaitu konflik yang terjadi di Indonesia dulu, yaitu konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Maka dalam makalah ini, akan menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya hukum atas tindakan GAM itu sendiri.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa itu pemberontakan?
B. Apa unsur-unsur pemberontakan?
C. Apa hukuman kaum pemberontakan?
D. Bagaimana asal mula pemberontakan GAM?
E. Bagaimana GAM dalam perspektif hukum Islam?
III. PEMBAHASAN
A. pengertian pemberontakan
pemberontakan menurut arti bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu . Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab yang berbeda-beda.
1. Imam Al-Mawardi mendefinisikan pemberontakan adalah segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.
2. Sedangkan ulama syafi’i mengartikan pemberontakan adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi, dan pikiran .
Dalam hal ini, antara perampokan dengan pemberontakan terdapat beberapa kemiripan. Sehubungan dengan adanya kemiripan tersebut, maka orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan tidak mau tunduk kepada pemerintahan di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. orang-orang yang membangkang tanpa alasan, baik dengan menggunakan kekuatan maupun tidak dengan kekuatan, mereka mengintimidasi, mengambil harta, dan membunuh korbannya. Mereka ini termasuk kelompok perampok.
2. Orang-orang yang membangkang tetapi mereka tidak memiliki kekuatan, meskipun mereka mempunyai alasan. Mereka juga termasuk kelompok perampok.
3. Orang-orang yang membangkang kepada pemerintahan yang sah dengan alasan pemerintahannya menyeleweng, melakukan maksiat, dan lain-lain yang oleh mereka dianggap bertentangn dengan prinsip-prinsip Islam, lalau mereka menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuannya. Mereka inilah yang disebut dengan pelaku pemberontakan.
B. Unsur.unsur pemberontakan
Unsur-unsur pemberontakan ada tiga, yaitu:
1. Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam)
Pengertian membangkang adalah menentang kepala Negara dan berupaya untuk menghentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga Negara. Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan, contohnya seperti penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk melaksannakan putusan hakim.
Tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada pemerintahan yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban, karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali apabila seorang imam (kepala Negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk menaatinya.
2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan
Apabila sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberontakan. Contohnya seperti keenggangan untuk membaiat seorang imam, setelah ia didukung oleh suata mayoritas, walupun ia mengajak orang lain untuk memecat imam tersebut, dan ia tidak tunduk kepadanya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata. Contohnya seperti pembangkangan kelompok khawarij dari Sayyidina Ali. Mereka tidak dianggap sebagai pemberontak, sampai mereka mewujudkan sikapnya itu dengan menggunakan kekuatan. Jadi, apabila baru sebatas ide, sikap tersebut belum termasuk pemberontakan.
Akan tetapi terdapat dua pendapat yang berbeda, yang mana Imam Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad setuju dengan pendapat di atas, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, pemberontakan itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Karena kalau sudah terjadi, maka sulit untuk menolak dan menumpasnya.
3. Adanya niat yang melawan hukum.
Disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak mentaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai pemberontakan.
Adapun pendapat lain mengatakan, bahwa suatu golongan dikatakan pemberontak jika terdapat sifat-sifat sebagai berikut:
• tidak mentaati perintah yang adil yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin sebagai waliul amri
• mereka adalah jama’ah yang kuat dan bersenjata
• mereka mempunyai alasan kuat untuk keluar dari islam
• mereka mempunyai pemimpin yang ditaati sebagai sumber kekuatan mereka .
C. Hukuman kaum pemberontakan
Para ulama telah sepakat bahwa tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslim haruslah ditumpas. Memerangi mereka itu wajib hukumnya, yang mana tindakan mereka itu dapat di pandang sebagai hukuman. Dasar hukum untuk pemberontakan ini yaitu dalam Surat Al-Hujuraat ayat 9:
•
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.(QS. Al-Hjuraat: 9)
Ayat itu menjelaskan, jika ada orang mukmin saling bermusuhan, maka jama’ah yang memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan untuk mendamaikannya. Sekiranya salah satu golongan membangkang, tidak mau berdamai atautidak memenuhi ajakan damai, maka golongan itu haruslah diperangi.
Para ahli fiqh sepakat bahwa mereka yang membangkang itu belum keluar dari islam karena pembangkangannya, berdasarkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “dua golongan orang-orang mukmin”, dan juga dijelaskan bahwa pemberontakan tidaklah menghilangkan keimanan. Sewaktu Ali ditanyakan apakah mereka (lawan Ali) itu orang musyrik?. Ali berkata bukanlah mereka itu orang musyrik. Apakah mereka itu orang munafik? Ali menjawab : bukan, sebab orang munafik tidak menyebut nama Allah kecuali sekali. Kalau begitu apakah hal mereka itu?. Ali berkata : saudara-saudara kita yang memberontak kepada kita.
Karena itu, para ulama fiqh berpendapat bahwa:
1. mereka yang lari dari golongan itu tidak boleh diperangi,
2. orang yang terluka tidak boleh dibunuh,
3. harta mereka tidak boleh dijadikan ghonimah,
4. istri-istri dan keluarga mereka tidak boleh ditawan,
5. segala kerusakan akibat pertempuran tidak boleh dijadikan jaminan, baik itu berbentuk jiwa ataupun harta .
Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Jika yang terbunuh dari golongan adil maka ia menjadi syahid. Tida perlu dimandikan dan dishalatkan karena ia gugur di dalam menegakkan perintah Allah.
Kalau di teliti dari ketentuan Al-Qur’an pad syrat Al-Hujuraat :9, tampaklah kedudukan yang sama antara pihak pemberontak dan yang diberontak kedua-duanya disebut golongan mukmin, dan Al-Qur’an memerintah untuk memerangi pihak yang melampaui batas, apakah mereka itu yang memberontak atau yang diberontak. Kalau yang diberontak mempunyai kekuatan dan takwil, dan dalam peperangn kalah, mereka juga diperlakukan seperti pihak pemberontak. Oleh karena itu dalam peristiwa peperangn antara Ali dan Muawiyah para ulama tidak menyebut-nyebut siapakah sebenarnya yang memberontak dari yang diberontak. Keduanya mempunyai kekuatan dan takwil. Secara yuridis formil Ali adalah kholifah sebab ia dipilih dalam suatu bai;ah, dan kaenanya wajib dipatuhi. Tetapi secara yuridis formil pula Muawiyah memppunyai takwil tidak mematuhi Ali sebab Ali tidak mau mengusut siapa pembunuh Ustman, jadi perkembangan sejarahlah yang menentukan dalam hal seperti tersebut diatas.
Ulama Hanafi tidak menggolongkan pemberontaka itu termasuk hudud, karena kalau diperhatikan tindak-tindak hukum yang dikenakan pada para pemberontak ternyata tidak ada ketentuan hukum haad pada mereka, hanya memerangi mereka sehingga mau kembali taat.
D. asal mula pemberontakan GAM
Melihat konflik Aceh bisa melalui kaca mata yang berbeda, dengan apa yang dibangun selama ini, bahwa konflik Aceh terjadi karena ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Kalau alasan itu dibangun, maka tidak hanya Aceh yang merasakan ketidakadian demikian, Riau juga mengalami hal serupa. Ada hal yang mendasari konflik Aceh, yaitu persoalan nasionalisme Aceh.
Fungsi nasionalisme adalah sebagai mata yang melihat kedalam, yaitu untuk menjelaskan identitas, sekaligus mata keluar sebagai suatu ideologi yang menjelaskan bahwa suatu bangsa sejajar secara internasional dengan bangsa lain. Dalam konflik Aceh pada fase Gerakan Aceh ini, warna nasionalisme Aceh kuat dari pada ideologi Islam yang pernah menjadi asas gerakan perlawanan Aceh pada masa sebelumnya.
GAM pertama kali di deklarasi pada 4 Desember 1976. Gerakan ini mengusung nasionalisme Aceh secara jelas. Nasionalisme yang dibangun sebagai pembeda dengan nasionalisme Indonesia yang sebelumnya telah ada. Bangunan ide seperti ini sebelumnya tidak pernah ada. Pada Perang Aceh diakhir abad 19, tidak pernah ditemukan bahwa rakyat berperang karena membela tanah kelahiran, melainkan berperang sebagai tuntutan agama. Garis demarkasi juga bukan antara Aceh-Belanda, melainkan muslim-kafir. Hal ini terus berlanjut pada masa-masa berikutnya, terutama ketika masa revolusi. Dalam proses sejarah integrasi Aceh ke Indonesia juga ideologi Islam masih terlihat kuat, bahkan menjadi perekat antara Aceh dan wailayah-wilayah lain di Indonesia.
Bagi Hasan Tiro, sebagai pendiri Gerakan Aceh Merdeka, yang meyakini bahwa Aceh merupakan identitas tersendiri, yang memiliki sejarah dan jati diri yang kuat. Oleh karenanya, kedaulatan Aceh yang sudah dimiliki ratusan tahun yang lalu mesti dikembalikan.
Dalam diskursus nasionalisme, para pakar menguraikan bahwa nasionalisme adalah fenomena modern yang lahir dari rahim industrialisasi dan modernisasi di dunia barat. Ini menjadi gelombang baru dibelahan dunia lainnya, termasuk di negeri-negeri muslim.
Gelombang nasionalisme ini tentu memberikan paradigma yang berbeda dengan apa yang dibangun oleh perjalanan pengalaman suatu bangsa. Dalam hal ini Hasan Tiro membangun pandangannya tentang Aceh melalui paradigma yang dibangun oleh bangsa Eropa. Untuk melacak ini tidak terlalu sulit. Kepergiaannya untuk belajar di Amerika Serikat awal tahun 1950-an telah mempengaruhi cara pandangnya melihat Aceh.
GAM lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul Islam muncul sebagai reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap gagasan formalisasi Islam di Indonesia.
Darul Islam adalah sebuah gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang terbuka. Bagi Darul islam, dasar dari perlawanan adalah Islam, sehingga tidak ada sentimen terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi Islam adalah sebagai perekat dari perbedaan yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan Darul Islam di Aceh.
Akan tetapi, paska berhentinya perlawanan Darul Islam Aceh, keinginan Aceh untuk melakukan Islamisasi di Indonesia menjadi lebih sempit hanya kepada Aceh. Perubahan ini terjadi disebabkan karena kegagalan Darul Islam diseluruh Indonesia, sehingga memaksa orang Aceh lebih realistis untuk mewujudkan cita-cita. Yang menjadi menarik adalah, GAM yang melanjutkan tradisi perlawanan Aceh, ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam yang terlebih dahulu digunakan oleh Darul Islam. Sebagaimana yang disebutkan bahwa GAM lebih memilih nasionalisme Aceh sebagai isu populisnya.
Kemunculan GAM pada masa awalnya langsung mendapat respon oleh pemerintah Orde Baru dengan melakukan operasi militer yang represif, sehingga membuat GAM kurang bisa berkembang. Walau demikian, GAM juga melakukan pelebaran jaringan yang membuat mereka kuat, baik pada tingkat internasional maupun menyatu dengan masyarakat.
Dalam dinamika konflik Aceh, fase yang menentukan adalah paska kejatuhan Soeharto. Pada fase ini kelompok sipil memainkan peranan yang strategis dalam mengubah paradigma kemerdekaan yang diperjuangkan oleh GAM. Kalau pada masa awal, GAM memahami bahwa kemerdekaan adalah karena tuntutan sejarah, karena Aceh adalah bangsa yang berdaulat sejak dulu. Nah, pada fase ini, kelompok sipil melakukan tranformasi penting, bahwa kemerdekaan adalah tuntutan realistis dari kehidupan berdemokrasi, sehingga muncul tawaran referendum sebagai jalan penyelesaian konflik Aceh.
E. GAM dalam perspektif hukum Islam
Mengapa GAM kemudian memutuskan untuk melihat bahwa bergabung dengan Indonesia lebih memberikan kemaslahatan daripada tegak dengan harga diri bangsa Aceh tetapi menimbulkan kemudharatan. Al-Ghazali membedakan antara ''upaya pemisahan diri komunitas Islam'' sebagai bentuk amar ma'ruf nahi munkar dalam konsep asy-syaukah (kekuatan), dengan bentuk ''pemberontakan'' kepada pemerintah yang sah (bughat).
Dalam perspektif Islam, membedakan dua makna sangat esensial, sebab untuk kategori pertama dinyatakan sebagai obligations, sedangkan yang kedua justru dinyatakan sebagai perbuatan yang ''diharamkan'', bahkan dalam batas tertentu akan dianggap sebagai gerakan murtad (riddah). Dalam pandangan Ghazali, konsep asy-syaukah sebagai bentuk pengukuran kekuatan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dari kelompok masyarakat (Islam) yang berhadapan dengan rezim yang sudah terbukti zalim dan mengingkari hukum-hukum Islam. Pemerintah yang zalim memang pernah dikhabarkan oleh Rasulullah akan ''menjadi fenomena'' dalam komunitas Islam setelah keruntuhan pemerintahan yang bermetodekan kaidah kenabian (khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah).
Artinya, jika upaya pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar dalam bentuk konfrontasi terdukung oleh segala kekuatan yang memadai untuk mengatasi ''kekuatan negara'' dalam waktu yang singkat, maka aktivitas amar ma'ruf dalam bentuk konfrontasi terhadap kekuatan zalim harus segera dideklarasikan dan dilaksanakan. Namun jika dalam ''proses adu kekuatan'' tersebut tidak terdapat keyakinan akan terkuasainya penguasa yang zalim dalam waktu yang singkat, maka aktivitas konfrontasi bukan sebagai pilihan utama.
Selama ini GAM dalam setiap propaganda menyatakan bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah yang zalim karena telah mengekploitasi Aceh dan tidak memberikan kemakmuran. Bahkan justru telah menimbulkan kesengsaraan. Meskipun secara definitif, setiap presiden Indonesia adalah Muslim, namun dalam idiom GAM, ketika itu pemerintah Indonesia tidaklah lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan kolonial yang ''kafir''.
Bagi GAM, aktivitas perlawanan kepada pemerintah Indonesia adalah aktivitas suci sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Maka barang siapa yang gugur dalam perjuangan pemerdekaan Aceh akan mendapatkan pahala syahid. Sebuah kedudukan yang terhormat dalam pandangan masyarakat Islam. Sedangkan dalam perspektif pemerintah Indonesia, melihat bahwa GAM merupakan bagian dari separatisme atau pembangkangan terhadap tertib sosial dan politik. Maka dalam konteks pemikiran Islam, aktivitas GAM bisa dihukumi dalam bab bughat atau pemberontakan. Menumpahkan darah pemberontak adalah halal. Sehingga dalam batas tertentu dari kaidah fiqh, tindakan represif pemerintah untuk menekan GAM menjadi benar adanya.
Dalam perspektif GAM, jalan rekonsiliasi diyakini sebagai pilihan yang paling tepat karena upaya pemisahan diri sebagai bagian amar ma'ruf nahi munkar tidak pernah mendapatkan momentum yang signifikan untuk mendapatkan kemaslahatan bagi bangsa Aceh. Masyarakat Aceh justru senantiasa terbelah; antara yang pro GAM dan pro-NKRI. Artinya kebenaran Islam GAM adalah hanya relatif bagi masyarakat Islam Aceh.
Meneruskan upaya konfrontasi justru malah akan semakin menjauhkan GAM dari perspektif Islam yang selama ini dibangun. Karena justru akan semakin menimbulkan kesengsaraan masing-masing pihak. Sedang cita-cita GAM adalah membangun kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan. Tindakan konfrontasi dalam 10 tahun terakhir ternyata tidak memberikan bukti nyata bahwa aktivitas GAM akan semakin memakmurkan Aceh, dan menjadikan bangsa Aceh sebagai bangsa yang berharga diri.
Demikian pula, Indonesia tidaklah se-kafir yang selama ini dikampanyekan oleh para propagandis GAM. Pemerintahan Indonesia tidaklah se-zalim pemerintahan kolonial Belanda. Apalagi dengan politik akomodasi pemerintah Indonesia untuk menjadikan Islam dan penegakan syariatnya sebagai ikon merupakan bukti faktual bahwa pemerintah Indonesia tidak mengingkari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Malah justru memberikan ruang bagi aktualisasi Islam di Serambi Mekkah.
Demikian pula Indonesia mulai me-redefinisi GAM bukan sebagai aktivitas bughat, sebuah pemberontakan yang harus ditumpas sampai akar- akarnya. Apalagi tanggapan pemerintah Indonesia yang mengapresiasi GAM bukanlah sebagai ''partai terlarang'' berbeda dengan para eks G30S/PKI yang dalam sejarah Indonesia ber-KTP-kan ''eks'', dengan ''akomodasi'' GAM sebagai partai lokal.
IV. KESIMPULAN
pemberontakan adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi, dan pikiran.
GAM lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul Islam muncul sebagai reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap gagasan formalisasi Islam di Indonesia.
Dan dalam perspektif pemerintah Indonesia, GAM merupakan bagian dari separatisme atau pembangkangan terhadap tertib sosial dan politik.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini, semoga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca khususnya dan bagi penulis secara khususnya. Penulis sadar bahwa terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, maka saran dan kritik yang membangun sangatlah diharapkan. Dan terimakasih atas perhatiaanya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasanuddin. Nor, Lc, Ma, dkk, Fiqh Sunnah 3 ,Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006
Marsum. Drs, Jinayat, Yogyakarta, UII Yogyakarta, 1991
Wardi Muslich. Ahmad, Drs, H, Hukum Pidana Islam, Jakarta, 2005
http//anakaceh.com
http//docs.yahoo.com/info/term/
http://zanikhan.multiply.com/profile
No comments:
Post a Comment