I. Pendahuluan
Rasullah SAW menganjurkan kepada orang-orang islam yang telah mampu untuk melakukan pernikahan, karena pernikahan itu disamping untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rohmah juga untuk menghindari dari perbutan zina dan semacamnya, jika setelah terjadinya pernikahan tidak tercipta dari tujuan pernikahan maka terjadilah talaq, maka bagi siperempuan hukum ‘iddah baginya.
Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu atau masa ‘iddah kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum berhubungan. Baik karena kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Islam menerangkan mengenai masa tunggu bagi seorang wanita sampai menditail, karena terdapat banyak sekali hikmah yang kita ketahui ataupun yang belum kita ketahui mengenai ‘iddah. Maka dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai ‘iddah yang mengambil rujukan dari hadist-hadist Rasul.
II. Hadis Tentang ‘Iddah
عَنِ الآسْوَدَ عَنْ عَائِشَتَ قَالَتْ (:آمَرْتُ بَرِيْرَةُ اَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثِ حِيَضٍ). رواه ابن ماجه
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Diperintahkan Barirah Ber’Iddah tiga kali haid. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Hadis di atas menjelaskan tentang seorang budak. Ashalnya, Barirah itu hamba dan bersuami dengan seorang hamba juga. Setelah merdeka, diberi ia haq pilih apakah ia mau tetap dengan suami itu atau mau berpisah. Ia pilih berpisah, diwaktu itu diperintahkan dia mesti berhaid tiga kali.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ (:أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيَّرَ بَرِيْرَةَ فَخْتَارَتْ نَفْسَهَا, وَاَمَرَهَا اَنْ تَعْتَدَّ عِدَّةَ الحُرَّةِ. رواه احمد والدار قطني
Dari ibnu “abbas : sesungguhnya Nabi SAW menyuruh kepada Bariroh(seorang budak) memilih, apakah dia tetap dengan suaminya atau berisah, maka Bariroh memilih dirinya(berpisah dengan suaminya) dan Nabi Muhammad SAW menyuruhnya ber’iddah sama dengan ‘idah wanita merdeka. HR Ahmad dan Ad-Darquthi Al Muntaq II:641)
Hadis di atas menjelaskan bahwa Rasululah menyuruh bariroh untuk ber’iddah sebagaimana orang merdeka.
III. Rumusan Masalah
1. Pengertian ‘Iddah
2. Bentuk-bentuk ‘Iddah
3. Hukum wanita yang ditinggal mati
IV. Pembahasan
1. Pengertian ‘Iddah
Kata ‘iddah di ambil dari bahasa arab yang berasal dari akar kata adda-yauddu-‘idatan dan jamaknya adalah ‘iddah yang secara arti kata berarti : menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena masa itu si perempuan yang ber’iddah menunggu berlalunya waktu.
Dalam kitab fiqih dijelaskan secara lebih jelas tentangn pengertian ‘iddah itu sendiri, yang mana hakikat ‘iddah tersebut adalah : masa yang harus ditunggu oleh perempuan yang telah bercerai dari suamiaminya supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui barsih rahimnya atau untuk melaksanakan perintah Allah.
2. Bentuk-bentuk ‘Iddah
Adapun bentuk-bentuk dan cara ‘iddah ada 3 macam :
1) ‘Iddah dengan cara menyelesaikan quru’.
2) ‘Iddah dengan kelahiran anak.
3) ‘Iddah dengan perhitungan bulan.
Istri yang akan menjalani ‘Iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya perceraian yaitu sebagai berikut:
1) Kematian suami
وَعَنْ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ, فِى امْرَاَةِ المَفْقُوْدِ تَرَبَّصُ اَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعَشْرًا. اخرجه مالك والشافعى.
Umar r.a bersabda mengenai istri yang kehilangan suaminya, maka disuruhnya agar istri itu menunggu(‘iddah) lebih dahulu selama 4 bulan 10 hari.
Iddah perempuan yang kematian suami, baik telah digauli atau belum, ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Perempuan yang kematian suami memiliko maksud yaitu perempuan yang suaminya meninggal dan dia masih dalam masa haid. Imam Maliki disini memberikan persyaratan untuk kesempurnaan ‘iddah dengan tujuan untuk memastikan perempuan itu masih haid yaitu perempuan itu telah berhaid selama satu kali dalam masa itu kalau dia belum haid dalam masa itu, perempuan itu berada dalam keraguan tentang kemungkinan hamil.
2) Belum dicampuri
Perempuan yang belum digauli suaminya tidak mempunyai kewajiban menjalani masa ‘iddah. Akan tetapi, jika suaminya meninggal sebelum ia menggauli istrinya, maka istri yang diceraikannya itu harus menjalani ‘iddah sebagaimana jika suaminya telah menggaulinya.
3) Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil
‘Iddah perempuan yang sedang hamil yaitu dengan melahirkan anaknya.
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُوْدِ فِى المُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا, وَهِيَ حَامِلٌ. قَالَ: اَيَجْعَلُوْنَ عَلَيْهَا التَّغْلِيْظُ , وَلَا يَجْعَلُوْنَ لَهَا الرُّخْصَةَ؟ اُنْزِلَتْ سُوْرَةُ النِّسَاءِ القَصْرَى بَعْدَ الطُّولَى (واولات الاحمال اجلهن ان يضعن حملهن) رواه البخارى والنسائى
“(tentang wanita yang meninggal suami, sedang ia lagi mengandung) apakah kamu yang terberat, kamu tidak jadikan untuknya yang ringan? Telah diturunkan surat annisa yang pendek sesudah yang panjang “wanita-wanita yang mengandung iddahnya ialah setelah melahirkan kandungannya” (H.R. Al-Bukhari an Annisaa’II :640)
4) Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah terhenti haidnya.
Perempuan yang sudah digauli suaminya dan tidak dalam keadaan hamil dan sudah terhenti masa haidnya ‘iddahnya 3 quru’.
5) Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil, dan masih dalam masa haid.
Perempuan yang telah bergaul dengan suaminya dan masih menjalani masa haid, ‘iddahnya adalah 3 quru’.
Adapun macam-macam ‘iddah menurut hukum Islam di Indonesia didefinisikan sebagai berikut:
1. Putus perkawinan karena ditinggal mati suami.
2. Putus perkawinan karena perceraian.
3. Putus perkawinan karena khulu’, fasakh dan li’an, waktu ‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’ (cerai gugat atas dasar tebusan atau ‘iwadl dari istri), fasakh( putus perkawinan misalnya karena salah satu murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau li’an, mka waktu tunggunya berlaku seperti ‘iddah talak.
4. Istri ditalak raj’I kemudian ditinggal mati suami dalam masa iddah, maka ‘iddah nya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari, atau 130 hari, terhitung saat matinya bekas suaminya.
Adapun UU perkawinan yang mengatur tentang ‘iddah yaitu satu pasal dengan rumusan :
(1) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tentang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Adapun PP yang dimaksud diatas yaitu PP No. 9 Tahun 1975, yang diatur dalam pasal 39 dengan rumusan sebagai berikut:
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 Ayat 2 undang-undang ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari,
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari,
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin,
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
Jika kita perhatikan rumusan dari UU dan PP yang mengatur waktu tunggu seperti yang telah disebutkan diatas, maka UU dan PP hamper menyangkup seluruh materi fiqih, yang mana para jumhur ulama juga berpendapat demikian.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, salah satu prinsip atau asas yang ditekankan hukum Perkawinan Islam di Indonesia adalah “mempersulit terjadinya perceraian”, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Hukum wanita yang ditinggal mati
وَعَنْ اُمُّ سَلَمَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ اَلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: المُتَوَفَّى فِى عَنْهَا زَوْجُهَا, لَا تَلْبَسُ المُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ, وَلَا المَمْشَقَةَ, وَلَا الحُلِّى, وَلَا تَخْتَضِبُ , وَلَا تَكْتَحِلُ. (رواه احمد و ابو داود و النسائى)
nabi SAW bersabda: “wanita yang suaminya meninggal tidak boleh memakai pakaian(kain yang dicelup) dengan celupan kunin, tidak boleh pula memakai pakaian yang dicelub dengan tanah yang berwarna merah dan tidak boleh memakai perhiasan emas, tiak boleh memakai inai dan tidak boleh memakai celak. HR Ahmad , Abu Daud dan An Nisaa’i.
Hukum yang berkaitan dengan wanita yang ditinggal mati suaminya adalah :
1. Ia harus tetap tinggal di rumahnya di mana suaminya meninggal, tidak keluar dari rumah kecuali karena ada suatu urusan dan kepentingan yang mendesak; seperti, berobat ke dokter ketika sakit, membeli kebutuhan rumah tangganya seperti makanan dan semacamnya bila ia tidak menemukan orang lain yang melakukan itu, hingga ia melahirkan bila ia tengah mengandung atau menyempurnakan 4 bulan 10 hari masa iddah-nya kalau ia tidak dalam keadaan hamil. Adapun kalau talak atau perceraian jatuh pada saat dia tidak berada di rumah suaminya, maka begitu mendengar dia diceraikan, langsung ia wajib kembali ke rumah suaminya. Sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Ath-thalaq ayat 1, yang artinya berbunyi :
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[1481] dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru[1483].”
[1481] Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. tentang masa iddah Lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq ayat 4.
[1482] Yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar, besan dan sebagainya.
[1483] Suatu hal yang baru Maksudnya ialah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaqnya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.
2. Menghindari penggunaan pakaian yang indah (dan menarik perhatian) dan menggunakan pakaian yang selain itu.
3. Menghindari penggunaan wangi-wangian, kecuali bila ia telah bersih dari haid atau nifas, maka ia boleh menggunakan asap kayu bakhur (yang mengandung aroma harum) atau wangi-wangian lain.
4. Menghindari penggunaan perhiasan emas, perak dan berbagai macam bentuk perhiasan lainnya, baik itu berbentuk cincin, kalung dan sebagainya.
5. Menghindari pewarna rambut dan celak; karena Rasulullah Shollallahu ‘Alahi wa Sallam melarang wanita yang ditinggal mati suaminya menggunakan benda-benda tersebut.
Ia boleh mandi dengan air, sabun dan daun bidara bila ia mau. Iapun boleh berbicara dengan siapa saja yang ia kehendaki dari kaum kerabatnya atau orang lain.Ia juga boleh duduk bersama muhrimnya, menyuguhkan kopi, makanan dan sebagainya.
Ia juga boleh bekerja di rumah, di kebun rumah atau atapnya (khususnya untuk rumah-rumah model orang Saudi) siang dan malam pada segala bentuk-bentuk pekerjaan rumah, seperti memasak, menjahit, menyapu rumah, mencuci pakaian, memerah susu ternak dan berbagai macam pekerjaan yang biasa dilakukan oleh wanita-wanita lain. Iapun boleh berjalan di waktu malam dengan wajah terbuka sebagaimana wanita lainnya.
Dan ia juga dapat menggunakan cadar (hanya menampakkan kedua mata) bila tidak ada orang lain di sisinya kecuali muhrimnya.
V. Kesimpulan
dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kata ‘iddah di ambil dari bahasa arab yang berasal dari akar kata adda-yauddu-‘idatan dan jamaknya adalah ‘iddah yang secara arti kata berarti : menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena masa itu si perempuan yang ber’iddah menunggu berlalunya waktu.
Bentuk-bentuk ‘iddah yaitu :
1) Kematian suami
2) Belum dicampuri
3) Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil
4) Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah terhenti haidnya.
5) Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil, dan masih dalam masa haid.
VI. Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita secara umumnya dan bagi penulis secara khususnya, kami sadar masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, maka saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.
Daftar Pustaka
Ash- Shiddiq, Muhammad Hasbi, 2001, Koleksi Hadis-Hadis hukum 8, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang
Ash- Shiddiq, Muhammad Hasbi, 2001, Hukum-Hukum Fiqih Islam, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang
Ghofar, Abdul, M, E.M, 2006, Fiqih Wanita, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
Hasan, A, 2006, Tarjamah Bulughul Maram, CV Diponegoro, Bandung
Masyhur, Kahar, K.H, 1992, Bulgul Maram Jilid II, PT Rineka Cipta, Jakarta
Rofik, Ahmad Drs, MA, 1998, Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
No comments:
Post a Comment