Firdaus Fuad Helmy
Telah kita ketahui bersama bahwa prosedur penciptaan bayi tabung diawali dengan pembuahan sel telur diluar tubuh dan kemudian ditanam didalam kandungan. Dan topik yang akan kita bahas adalah pembuahan sel telur oleh sperma dari pasangan suami istri yang nantinya akan ditanam pada wanita lain. Karena kalau terjadinya pembuahan antara ovum dan sperma dari selain pasutri maka hukumnya sudah jelas-jelas haram. Makanya kita persempit pembahasan pada pembuahan yang terjadi dari pasangan suami istri di luar rahim yang kemudian di tanam pada rahim perempuan lain.
Di antara yang dikatakan Syekh Qardlawi kurang lebih sebagai berikut:
Syari’at Islam telah menggariskan dua kaidah utuh yang saling menyempurnakan satu sama lain: Pertama, kemadaratan itu mesti dihilangkan sesuai kemampuan maksimal.
Kedua, kemadaratan itu tidak bisa hilang dengan melahirkan kemadartan baru. Apabila dua kaidah itu menjadi landasan dasar pada persoalan yang tengah kita bicarakan ini, maka kita akan mendapatkan kesimpulan, kita dapat menghilangkan kemadaratan sang isteri yang notabene paling berhak untuk mengandung dengan menimpakan kemadaratan pada wanita yang lain. Sebab, dialah yang kemudian harus mengandung dan melahirkan tanpa menikmati hasil dari apa yang dikandungnya, kelahirannya, maupun pengasuhannya. Kita sesungguhnya tengah memecahkan suatu masalah justru dengan menimbulkan masalah yang baru.”
Dengan demikian, cara tersebut dapat menghilangkan sifat keibuan seseorang. Seseorang disebut ibu justru karena dialah yang mengandung dan melahirkan anak kandungnya. Siapa saja orang yang tidak mengandung dan melahirkan anaknya, mereka itu tidak layak dinamakan seorang ibu. Sebab, seorang ibu yang hakiki adalah mereka yang mengandung dan melahirkan anaknya. Dr. Yusuf Qardlawi dalam hal ini berkomentar:
Penemuan baru ini tidak diperbolehkan dalam fikih Islam. Ajaran Islam sama sekali tidak menyepakati dan memperkenankan mengingat dampak maupun akibat yang kelak terjadi. Bahkan fikih Islam cenderung melarang praktek seperti ini.
Dalam bahasan yang sama, Dr. Hissan Hathut berkata:
“Cara itu terlarang dalam ajaran Islam. Sebab, dalam prosesnya, praktik tersebut melibatkan tiga pihak sekaligus, bukan terjadi antara pasangan suami-isteri saja. Persoalan yang cukup pelik ini tetap saja tidak sukses dipraktikkan oleh dunia Barat. Bahkan, selanjutnya kerap terjadi ketika sang ibu (yang disewa) telah mengandung dan melahirkan anaknya, ia kemudian malah merubah pikirannya untuk mengakui anaknya tersebut.
Untuk masalah penyewaan rahim, ulama bersepakat bahwa masalah ini merupakan masalah yang terlarang dalam islam dengan menimbang beberapa alasan. Yaitu:
1). Tidak adanya tali pernikahan diantara pemilik sperma dan pemilik rahim.
Dalam syariat islam, syarat mutlak atas status legal/sah dari kelahiran seorang anak ke alam semesta adalah dengan melalui jalur resmi, yaitu pernikahan. Jika ada seorang perempuan hamil diluar tali pernikahan, maka kehamilannya dihukumi kehamilan yang tidak sah, begitu juga anak yang nanti akan lahir. Dengan adanya penyewaan rahim, maka dihawatirkan akan timbul fitnah kepada perempuan yang dijadikan tempat penanaman janin. Padahal islam sangat mengecam adanya perbuatan fitnah dan pencemaran nama baik. Disamping itu juga dihawatirkan akan terjadi ketidak jelasan nasab dari anak yang dilahirkan. Dan lagi-lagi islam sangat-sangat menjaga kesucian nasab.
2). Adanya hubungan syar’I (nikah) diantara hak punya anak dari rahim tertentu dengan diperbolehkannya berhubungan badan dengan pemilik rahim tersebut.
Mungkin anda bingung memahami kalimat tersebut diatas. Begini gambarannya jika seseorang mempunyai hak berhubungan badan dengan seorang perempuan maka ia berhak menabur benihnya ke dalam rahim perempuan tersebut, dan jika ia tidak berhak berhubungan badan dengannya maka ia juga terlarang memanfaatkan rahimnya untuk menabur benih. Lah.. dalam kasus yang kita bicarakan ini masuk dalam kategori terlarang memanfaatkan rahimnya, karena perempuan tadi tidak boleh di jamah dikarenakan tidak ada ikatan resmi (nikah).
Kalau si laki-laki punya dua istri bagaimana? Misalkan istri yang pertama tidak bisa hamil dan meminta istri yang kedua untuk mengandung benihnya. Dalam contoh ini kan terdapat hubungan syar’I diantara laki-laki yang punya sperma dan wanita yang diminta untuk menjadi tempat penanaman benih. Yaitu selaras dengan kaidah diatas (Jika seseorang mempunyai hak untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan, maka ia juga berhak menabur benih dalam rahim perempuan tersebut).
Untuk masalah seperti ini, ulama berpendapat bahwa hukum dari penanaman benih kedalam rahim istri kedua (penyewaan rahim) tetap dihukumi tidak boleh dengan alasan mungkin disuatu saat nanti akan menimbulkan masalah diantara keduanya. Misal saja pertengkaran dan lain sebagainya. Padahal Al Qur’an jelas-jelas melarang pertengkaran. Wala tanaza’u fatafsyalu. Artinya janganlah kalian semua bertengkar, hal itu akan menjadikan kerugian besar (Al Anfal:46).
3). Rahim tidak termasuk dalam barang yang bisa diserah terimakan dengan imbalan materi misalkan dengan disewa atau diperjual belikan atau dengan tanpa imbalan misalkan dipinjamkan atau diserahkan dengan sukarela.
4). Syara’ mengharamkan setiap perbuatan yang dapat menimbulkan terjadinya persengketaan.
5). Adanya larangan agama atas hal yang dapat menimbulkan ketidak jelasan nasab.
6). Terkadang dapat terjadi penyia-nyiaan terhadap anak yang dihasilkan dari penyewaan rahim, misalkan saja kalau terjadi cacat pada anak tersebut atau hal-hal yang tidak dapat diterima oleh pihak penyewa, dan pihak yang disewa juga tidak mau merawatnya karena tidak termasuk dalam perjanjian.
Hukum dari sewa rahim apakah zina?
Zina menurut Al-Jurjani ialah: Memasukkan penis ke dalam vagina bukan miliknya dan tidak ada unsure keserupaan atau kekeliruan.
Dari definisi diatas, maka suatu dapat dikatakan zina haqiqi apabila sudah memenuhi 2 unsur, ialah:
1. adanya persetubuhan antara 2 orang yang berbeda jenis kelamin,
2. tidak adanya keserupaan atau kekeliruan dalam perbuatan seks.
Maka dari penjelasan diatas, sewa menyewa rahim tidak dapat dihukumi seperti zina secara haqii, akan tetapi secara majazi seperma telah masuk kedalam rahim seorang wanita yang bukan muhrimnya dan tanpa adanya ikatan pernikahan yang dilakukan secara sengaja, maka hukumnya adalah termasuk zina majazi dan bukan zina secara haqiqi.
No comments:
Post a Comment