Friday, June 10, 2011

Pengertian Hak Intelektual



BAB I
DASAR HaKI


A. PENGERTIAN
Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat ‘HKI’ atau akronim ‘HaKI’ adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.
Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Secara garis besar HAKI dibagi dalam dua bagian, yaitu:
1. Hak Cipta (copy rights)
2. Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup:
• Paten;
• Desain Industri (Industrial designs);
• Merek;
• Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition);
• Desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit);
• Rahasia dagang (trade secret);
Di Indonesia badan yang berwenang dalam mengurusi HaKI adalah Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disebut Ditjen HaKI mempunyai tugas menyelenggarakan tugas departemen di bidang HaKI berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan Menteri.
Ditjen HaKI mempunyai fungsi :
a. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan teknis di bidang HaKI;
b. Pembinaan yang meliputi pemberian bimbingan, pelayanan, dan penyiapan standar di bidang HaKI;
c. Pelayanan Teknis dan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal HaKI.
Di dalam organisasi Direktorat Jenderal HaKI terdapat susunan sebagai berikut :
a. Sekretariat Direktorat Jenderal;
b. Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, tata letak Sirkuit terpadu, dan Rahasia Dagang;
c. Direktorat Paten;
d. Direktorat Merek;
e. Direktorat Kerjasama dan Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual;
f. Direktorat Teknologi Informasi;
Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Astablishing the World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian terpenting darti persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu :
a. Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;
b. Patent Coorperation Treaty (PCT) and Regulation under the PTC, dengan Keppres NO. 16 Tahun 1997;
c. Trademark Law Treaty(TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
d. Bern Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works dengan Keppres No. 18 tahun 1997;
e. WIPO copyrights treadty (WCT) dengan Keppres No. 19 tahun 1997;
Di dalam dunia internasional terdapat suatu badan yang khusus mengurusi masalah HaKI yaitu suatu badan dari PBB yang disebut WIPO (WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATIONS). Indonesia merupakan salah satu anggota dari badan tersebut dan telah diratifikasikan dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention establishing the world Intellectual Property Organization, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Memasuki millenium baru, hak kekayaan intelektual menjadi isu yang sangat penting yang selalu mendapat perhatian baik dalam forum nasional maupun internasional. Dimasukkannya TRIPs dalam paket persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan dimulainya era baru perkembangan HaKI diseluruh dunia. Dengan demikian saat ini permasalahan HaKI tidak dapat dilepaskan dari perdagangan dan investasi. Pentingnya HaKI dalam pembangunan ekonomi dalam perdagangan telah memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang berdasar ilmu pengetahuan.

B. DASAR HUKUM
Dasar hukum mengenai HaKI di Indonesia diatur dengan undang-undang Hak Cipta no.19 tahun 2003, undang-undang Hak Cipta ini melindungi antara lain atas hak cipta program atau piranti lunak computer, buku pedoman penggunaan program atau piranti lunak computer dan buku-buku (sejenis) lainnya. Terhitung sejak 29 Juli 2003, Pemerintah Republik Indonesia mengenai Perlindungan Hak Cipta, peerlindungan ini juga mencakup :
• Program atau Piranti lunak computer, buku pedoman pegunaan program atau piranti lunak computer, dan buku-buku sejenis lainnya.
• Dari warga Negara atau mereka yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Amerika Serikat, atau
• Untuk mana warga Negara atau mereka yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Amerika Serikat memiliki hak-hak ekonomi yang diperoleh dari UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, atau untuk mana suatu badan hukum (yang secara langsung atau tak langsung dikendalikan, atau mayoritas dari saham-sahamnya atau hak kepemilikan lainnya dimiliki, oleh warga Negara atau mereka yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Amerika Serikat) memiliki hak-hak ekonomi itu;
• Program atau piranti lunak computer, buku pedoman penggunaan program atau piranti lunak computer dan buku-buku sejenis lainnya yang pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat.
Para anggota BSA termasuk ADOBE, AutoDesk, Bently, CNC Software, Lotus Development, Microsoft, Novell, Symantec, dan Santa Cruz Operation adalah perusahaan-perusahaan pencipta program ataupiranti lunak computer untuk computer pribadi (PC) terkemuka didunia, dan juga adalah badan hukum Amerika Serikat yang berkedudukan di Amerika Serikat. Oleh karena itu program atau piranti lunak computer, buku-buku pedoman penggunaan programataupiranti lunak computer dan buku-buku sejenis lainnya ciptaan perusahaan-perusahaan tersebut dilindungi pula oleh UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA.
Jika seseorang melakukan suatu pelanggaran terhadap hak cipta orang lain maka orang tersebut dapat dikenakan tuntutan pidana maupun gugatan perdata. Jika anda atau perusahaan melanggar hak cipta pihak lain, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak memproduksi, meniruataumenyalin, menerbitkan ataumenyiarkan, memperdagangkanataumengedarkan atau menjual karya-karya hak cipta pihak lain atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta (produk-produk bajakan) maka anda telah melakukan tindak pidana yang dikenakan sanksi-sanksi pidana sebagai berikut,

KETENTUAN PIDANA
PASAL 72
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(4) Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 19, pasal 20, atau pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 24 atau pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
(8) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.500.000.000.000,00 (Satu milyar lima ratus juta rupiah).
Disamping itu, anda danatauatau perusahaan anda juga dapat dikenakan gugatan perdata dari pemegang atau pemilik hak cipta itu, yang dapat menuntut ganti rugi dan atau memohon pengadilan untuk menyita produk-produk bajakan tersebut dan memerintahkan anda atau perusahaan anda menghentikan pelanggaran-pelanggaran itu.


BAB II
HaKI DALAM TEKNOLOGI INFORMASI

Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh teknologi informasi tidak dapat lepas dari keberadaan HaKI. Secara umum HaKI adalah perlindungan hukum yang berupa hak yang diberikan oleh negara secara eksklusif terhadap karya-karya yang lahir dari suatu proses kreatif pencipta atau penemunya. Cyberspace yang ditopang oleh dua unsure utama, computer dan informasi, secara langsung bersentuhan dengan obyek-obyek pengaturan dalam HaKI, yaitu cipta, paten, merek, desain industri, rahasia dagang dan tata letak sirkit terpadu. HaKI mendapatakan sorotan khusus karena hak tersebut dapat disalahgunakan dengan jauh lebih mudah dalam kaitannya dengan fenomena konvergensi teknologi informasi yang terjadi. Tanpa perlindungan, obyek yang sangat bernilai tinggi ini dapat menjadi tidak berarti apa-apa, ketika si pencipta atau penemu tidak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkannya selama proses penciptaan ketika orang lain justru yang memperoleh manfaat ekonomis dari karyanya. Di Indonesia pelanggaran HaKI sudah dalam taraf yang sangat memalukan. Indonesia mendudki peringkat ketiga terbesar dunia setelah Ukraine dan China dalam soal pembajakan software. Berikut merupakan table perkiraan kerugian industri AS akibat pembajakan hak cipta di seluruh dunia pada tahun 2004.

Perkiraan kerugian industri AS akibat pembajakan hak ciptadi seluruh dunia pada 2004 (US$ juta)
Negara Film Musik rekaman Software
Kerugian persen Kerugian persen Kerugian persen
Pakistan 12.0 NA 70.0 100 persen 9.0 83 persen
Russia 275.0 80 persen 11.9 66 persen 751.0 87 persen
Ukraine 45.0 90 persen 115.0 65 persen 64.0 91 persen
Argentina 30.0 45 persen 41.5 55 persen 63.0 75 persen
Brazil 120.0 30 persen 343.5 52 persen 330.0 63 persen
Negara Film Musik rekaman Software
Kerugian persen Kerugian persen Kerugian persen
Bulgaria 4.0 35 persen 6.5 75 persen 16.0 71 persen
Chile 2.0 40 persen 24.8 50 persen 41.0 63 persen
Colombia 40.0 75 persen 51.6 71 persen 34.0 50 persen
Dominika 2.0 20 persen 10.3 75 persen 3.0 76 persen
Mesir NA NA 7.5 40 persen 35.0 68 persen
India 80.0 60 persen 67.3 50 persen 220.0 74 persen
Indonesia 32.0 92 persen 27.6 80 persen 112.0 87 persen
Kuwait 12.0 95 persen 8.0 65 persen 24.0 68 persen
Lebanon 10.0 80 persen 3.0 70 persen 15.0 75 persen
China 280.0 95 persen 202.9 85 persen 1465.0 90 persen
Filippina 33.0 85 persen 20.0 40 persen 38.0 70 persen
Korsel 40.0 20 persen 2.3 16 persen 263.0 46 persen
Thailand 30.0 60 persen 24.9 45 persen 90.0 78 persen
Belarus NA NA 26.0 71 persen NA NA
Bolivia 2.0 NA 16.0 90 persen 7.0 78 persen
Ecuador NA NA 20.0 95 persen 7.0 69 persen
Hungary 20.0 35 persen 11.5 38 persen 56.0 42 persen
Israel 30.0 40 persen 34.0 40 persen 36.0 37 persen
Italia 160.0 15 persen 45.0 23 persen 567.0 47 persen
Kazakhstan NA NA 23.0 68 persen NA NA
Latvia NA NA 12.0 85 persen 9.0 58 persen
Lithuania 1.5 65 persen 15.0 80 persen 11.0 58 persen
Malaysia 36.0 50 persen 55.5 52 persen 74.0 63 persen
Meksiko 140.0 70 persen 326.0 60 persen 230.0 65 persen
Selandia Baru 10.0 8 persen NA NA 12.0 22 persen
Peru 4.0 75 persen 68.0 98 persen 18.0 67 persen
Negara Film Musik rekaman Software
Kerugian persen Kerugian persen Kerugian persen
Polandia 30.0 35 persen 36.0 37 persen 175.0 58 persen
Romania 8.0 55 persen 18.0 78 persen 32.0 74 persen
Saudi Arabia 20.0 40 persen 15.0 35 persen 85.0 56 persen
Serbia and Montenegro NA 85 persen 12.0 80 persen NA NA
Taiwan 40.0 40 persen 49.4 36 persen 83.0 43 persen
Tajikistan NA NA 5.0 81 persen NA NA
Turki 50.0 45 persen 15.0 70 persen 99.0 66 persen
Turkmenistan NA NA 7.0 85 persen NA NA
Uzbekistan NA NA 31.0 81 persen NA NA
Venezuela 25.0 NA 31.0 80 persen 36.0 75 persen

Setelah melihat table di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat pembajakan yang terjadi di Indonesia dalam bidang computer sungguh sangat memprihatinkan. Sekitar lebih dari 90% program yang digunakan di Indonesia merupakan program yang disalin secara ilegal. Dampak dari pembajakan tersebut menurunkan citra dunia Teknologi Informasi Indonesia pada umumnya. Hal ini menurunkan tingkat kepercayaan para investor, dan bahkan juga menurunkan tingkat kepercayaan calon pengguna tenaga TI Indonesia. Pada saat ini bisa dikatakan tenaga TI Indonesia belum dapat dipercaya oleh pihak Internasional, hal ini tidak terlepas dari citra buruk akibat pembajakan ini. Yang lebih memprihatinkan lagi dikarenakan Indonesia merupakan Negara Asia pertama yang ikut menandatangani Perjanjian “Internet Treaty” di Tahun 1997. Tapi Indonesia justru masuk peringkat tiga besar dunia setelah Vietnam dan Cina, sebagai Negara paling getol membajak software berdasarkan laporan BSA (Bussiness Software Alliance). Suburnya pembajakan software di Indonesia disebabkan karena masyarakatnya masih belum siap menerima HaKI, selain itu pembajakan software sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sekali di negeri kita dan umumnya dilakukan tanpa merasa bersalah. Bukan apa-apa, di satu sisi hal ini disebabkan karena masih minimnya kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai hak dan kekayaan intelektual yang terdapat pada setiap software yang digunakan. Di sisi lain, harga-harga software propriatery tersebut bisa dikatakan diluar jangkauan kebanyakan pengguna di indonesia. Berikut adalah daftar harga software asli dari Microsoft:
01. CD Original Windows® 98 Second Edition US$75
02. CD Original Windows® Millennium Edition US$75
03. CD Original Windows® XP Home Edition US$75
04. CD Original Windows® 2000 Professional 1-2CPU US$175
05. CD Original Windows® XP Professional US$175
06. CD Original Windows® 2000 Server 1-4CPU for 5 CALs US$750
07. CD Original Office 2000 SBE Edition (includes MS Word, MS Excel, MS
Outlook, MS Publisher,Small Business Tools) US$210
08. CD Original Office XP Small Business Win32 English (includes MS Word, MS
Excel, MS Outlook, MS Publisher) US$200.

Harga di atas tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan cd bajakan yang ada di Indonesia. Bagi kita pun, rasanya seperti sudah sangat biasa kita menemukan betapa sofware-software tersebut ataupun dalam bentuk collection yang dijual hanya dengan harga yang berkisar antara lima hingga beberapa puluh ribu rupiah di toko-toko komputer, ataupun perlengkapan aksesorisnya.
Permasalahan yang cukup menggelitik adalah kenyataan bahwa penggunaan software bajakan ini tidak hanya melingkupi publik secara umum saja, namun pula mencakup kalangan korporat, pemerintahan, atau bahkan para penegak hukumnya sendiri pun bisa dikatakan belum bisa benar-benar dikatakan bersih dari penggunaan software bajakan. Proses pemberantasannya barangkali akan mengalami banyak hambatan, contoh saja spot yang muncul di sebuah milis yang barangkali memperlihatkan bagaimana ironisnya :
“Suka liat acara buser dan sejenisnya nggak?, kan sering kelihatan tuh di kantor polisi, pak polisi lagi ngetik surat-2 atau berita acara dsb. perhatiin deh, komputernya = rakitan, yaa bukannya nuduh, tapi komputer rakitan "i.d.e.n.t.i.k" dengan software bajakan, pengen jg sih saya laporkan. Tapi gimana...
--- ITCenter.”
Terlepas dari fakta bahwa postingan tersebut masihlah merupakan spot yang mungkin tidak berdasar, namun melihat dari kenyataan yang ada di lingkungan kita, hal ini bukan hal yang tidak mungkin, bahkan sangat mungkin terjadi.
Bagaimana sebenarnya cara yang bisa menjadi pemecahan terbaik dan cost-efective untuk melegalisasikan penggunaan software tersebut? Baik menggunakan opensource ataupun proprietary sama-sama membutuhkan investasi yang (secara makro) cukup besar. Umumnya sumber daya manusia yang dimiliki saat ini sudah terlatih untuk menggunakan software yang umum digunakan seperti Windows, Office, dan sejenisnya yang merupakan proprietary software, dan untuk menggunakan software proprietary secara legal membutuhkan biaya yang cukup besar. Di sisi lain solusi ini barangkali terjawab dengan software opensource seperti Linux dengan StarOffice misalnya, namun hal ini juga membutuhkan biaya untuk training SDM yang saat ini dimiliki dan invisible-cost yang muncul akibat turunnya produktifitas selama masa adaptasi.
Untuk mengurangi angka pembajakan di dunia yang semakin hari semakin meningkat maka sebuah perkumpulan industri yang bergerak di software AS yang dikenal dengan BSA (Business Software Aliance) sudah menyatakan perang dan akan terus melacak penggunaan software illegal oleh perusahaan swasta dengan cara melibatkan masyarakat melalui sayembara berhadiah Rp.50 juta bagi siapa saja yang memberikan informasi yang akurat dan tepat tentang penggunaan software illegal di perusahaan. Informasi yang masuk ke BSA bias saja dari masyarakat luas, bias saja dari karyawan perusahaan itu sendiri yang tidak loyal sehingga mereka memberikan informasi kepada BSA.
Sementara pemerintah Indonesia akan menggiatkan kampanye melawan pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dan akan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya masalah ini. Pemerintah juga akan meningkatkan frekuensi pembersihan (razia), memperberat hukuman terhadap para pelanggar HaKI dan melakukan usaha-usaha untuk mencegah masuknya produk-produk bajakan ke Indonesia. Salah satu langkah yang diambil pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk Tim Keppres 34, yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan perundang-undangan hak cipta, merek dan paten.


BAB III
DAMPAK PELANGGARAN HaKI

Dampak pembajakan software di Indonesia tidak hanya merugikan perusahaan pembuat software saja, tetapi pemerintah Indonesia juga akan terkena dampaknya. Industri software local menjadi tidak berkembang karena mereka tidak mendapat hasil yang setimpal akibat aksi pembajakan ini. Selain itu mereka menjadi enggan untuk memproduksi software, karena selalu khawatir hasilnya akan dibajak.
Terlepas dari perusahaan software yang semakin hari merugi karena aksi pembajakan, sebetulnya dunia TI Indonesia kini benar-benar menghadapi suatu masalah besar. Dengan berlakunya TRIPs (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights Agreement) yang dicanangkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mulai 1 Januari 2000, produsen-produsen paket piranti lunak komputer terutama yang tergabung dalam Business Software Alliance (BSA) akan menuntut pembajak program buatan mereka ditindak tegas sesuai ketentuan. Amerika Serikat, melalui United State Trade Representatif yang dalam beberapa tahun belakangan ini menempatkan Indonesia pada posisi priority watch list. Kedudukan ini sekelas dengan negara-negara lain seperti, Cina, Bulgaria, Israel, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan, Mexico, maupun Korea. Padahal, pengelompokan ini bukan tanpa sanksi. Jikalau Indonesia tak dapat memperbaiki keadaan, maka sanksinya adalah penggunaan spesial 301 pada United States (US) Trade Act. Ketentuan ini memberikan mandat kepada pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan pembalasan (retaliation) di bidang ekonomi kepada Indonesia. "Dalam hal ini, pasar Indonesia di Amerika Serikat yang menjadi taruhannya, bidang yang menjadi sorotan utama, yakni hak cipta menyangkut pembajakan video compact disk serta program komputer, dan paten berkenaan dengan obat-obatan (pharmaceuticals). Karena itu, yang penting sebenarnya, adalah komitmen dari penegak hukum Indonesia pada standar internasional mengenai HaKI sendiri. Apalagi, Indonesia sudah menyatakan ikut dalam convention Establishing on the World Trade Organization (Konvensi WTO) yang di dalamnya terdapat Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Agreement(TRIPs).
Memang hukuman tersebut belum dilakukan secara langsung, tapi dapat berakibat pada eksport Indonesia ke USA, dan yang buntut-buntutnya mempengaruhi perekonomian Indonesia pada umumnya. Sayang sekali masih diabaikan oleh masyarakat luas, termasuk pihak pendidikan, bidang HaKI sangat lekat dengan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Pertumbuhan penghormatan atas HaKI tumbuh sejalan dengan pertumbuhan perekonomian suatu negara. "Jikalau suatu negara perekonomiannya tergantung pada investasi asing, maka mereka pun sangat berkepentingan dengan perlindungan HaKI. Keluhan utama dari investor Amerika Serikat adalah belum memadainya penegakan hukum bidang HaKI di Indonesia. Dua hal yang menjadi sorotan utama, yakni penghormatan hak cipta yang menyangkut pembajakan VCD dan program komputer, serta penghargaan hak paten berkenaan dengan obat-obatan.












BAB VI
SOLUSI PELANGGARAN HaKI
Untuk menekan pembajakan software, maka alternative pertama adalah dengan menggunakan software berbasis linux yang disebarluaskan tanpa dipungut biaya. Sehingga tetap bias mendapatkan harga murah, tanpa harus menggunakan software bajakan. Namun hal tersebut masih sulit dilakukan. Walaupun beberapa terakhir ini pihak pedagang sudah berupaya keras menyosialisasikan software linux yang gratis. Namun pembeli masih memilih software Microsoft yang sudah diakrabinya sejak lama. Untuk ini memang butuh waktu, karena linux memang relative baru dikenal masyarakat umum. Butuh advokasi market, agar software linux bias memasyarakat.
Alternative pilihan yang kedua yaitu dengan diadakannya program “Campus Agreement” guna memberi lisensi masal bagi computer kampus dengan harga jauh lebih murah, antara lain untuk Windows 98,Windows NT, dan Microsoft Office. Apabila model ini dapat disosialisasikan secara luas dikalangan kampus, maka semestinya tidak ada lagi alasan pembenaran bagi tindakan pembajakan software di lingkungan kampus.
Tawaran dari pihak Microsoft Indonesia dengan memanfaatkan Microsoft Campuss Agreement memang lumayan menolong. Akan tetapi pada kenyataan di lapangan tidak semua institusi pendidikan memiliki dana yang memadai untuk membayar lisensi. Berikut ini diberikan ilustrasi mengenai besarnya dana yang perlu dikeluarkan oleh suatu institusi pendidikan. Terus terang informasi ini hanyalah interpretasi dari informasi yang ada pada situs Microsoft.
Memang institusi pendidikan menghadapi dilema berat dalam aspek legalitas perangkat lunak dan pembiayaannya. Sebagai contoh harga piranti lunak yang biasa digunakan adalah sebagai berikut (informasi ini hanya perkiraan minimal):
Program Harga satuan
Windows 95 USD 160
Program Harga satuan
Windows 98 USD 200
Windows NT USD 598 (tanpa lisensi CAL)
CAL Windows NT USD 15 per 1 user terkoneksi ke server
Jadi sebagai contoh misal suatu institusi dengan 100 komputer yang menggunakan MS Windows 98 sebagai sistem opersi maka akan menghabiskan dana sekitar :
Jenis Jumlah Harga Total
Lisensi MS Windows 98 100 200 20.000
Lisensi MS Windows NT 1 598 598
CAL untuk MS Windows NT 15 100 1500
Total 22098
Sehingga berdasarkan perkiraan kasar di atas, suatu institusi yang memiliki 100 komputer dan 1 NT server akan menghabiskan minimal 22.098 USD hanya untuk pembelian lisensi sistem operasi. Belum termasuk biaya program aplikasinya. Memang lisensi dari vendor tidak sesimple di atas, ada beberapa model lisensi misal :
• Premium customer. Lisensi ini diberikan kepada kustomer kelas besar yang juga meliputi dukungan teknis dan akses kepada pengetahuan internal (Knowledge Base).
• Customer biasa : Hanya memperoleh dukungan teknis dari partner (Solution Provider, CTEC, dan lain-lain)
• MOLP (Microsoft Official License Programing), dikenal juga dengan istilah paket hemat, akan tetapi tampaknya kini telah tidak ada lagi.
• Lisensi massal yang diberikan kepada suatu institusi yang menggunakan program dalam jumlah banyak, misal untuk institusi pendidikan dikenal dengan Microsoft Campus Agreement
Tetapi dalam bahasan ini hanya akan dibahas suatu lisensi keringanan yang biasa diberikan bagi kampus. Lisensi ini memungkinkan suatu anggota institusi untuk memiliki perangkat lunak produk MS secara lebih murah, karena pihak institusi telah membayar secara borongan per tahun berdasarkan jumlah warga institusi tersebut. Berdasarkan informasi pada situs http:atauatauwww.microsoft.comataueducationataulicenseataucampus.asp
Perhitungan biaya akan dihitung dengan jumlah full time equivalent (FTE). FTE dihitung berdasarkan jumlah staf dan pengajar yang dilaporkan pihak sekolah ke pemerintah. Berdasarkan informasi di situs tersebut, perhitungan FTE adalah sebagai berikut :
Dosen tetap + dosen tidak tetapatau3 + staf tetap + staf tidak tetapatau3 = total FTE
Misalkan untuk suatu universitas dengan 1000 staf tetap dan 300 staf tidak tetap, maka FTE total adalah sekitar 1100 (jumlah ini merupakan jumlah tipikal bagi universitas di kota besar Indonesia). Misalkan tiap point 1 FTE harus membayar sekitar Rp 100.000,- (ini perhitungan minimum). Maka biaya yang harus dikeluarkan institusi tersebut per tahun adalah 1100 x Rp 100.000 yaitu sekitar Rp 110.000.000,- untuk tahun pertama.
Tahun berikutnya akan dibebani biaya perpanjangan kontrak kembali. Lisensi tersebut akan meliputi program :
• Microsoft Office Standard & Professional Editions
• Microsoft Office Macintosh Edition
• Microsoft Windows Upgrades
• Microsoft BackOffice Server Client Access License (CAL)
• Microsoft FrontPage
• Microsoft Visual Studio? Professional Edition
• Microsoft Office Starts Here?atauStep by Step Interactive by Microsoft Press
Dari keterangan di atas jelas belum termasuk program-program seperti compiler, pengolah grafik yang juga dibutuhkan untuk suatu institusi pendidikan.
Tentu yang akan menjadi pertanyaan, apakah setiap institusi pendidikan di Indonesia mampu membayar beban ini ?, sebab ujung-ujungnya mahasiswalah yang menerima beban ini. Tentu harus dicarikan lagi jalan keluar pelengkap bagi institusi yang memiliki keterbatasan dana atau ingin secara bijaksana memanfaatkan dana dari mahasiswanya.
Memang kemudian pihak institut dapat menjual ulang ke mahasiswa atau staff dengan dikenakan biaya seharga $25 -$50 untuk mendapatkan perangkat lunak tersebut. Memang biaya ini lebih murah dibandingkan academic price, tetapi tetap tinggi untuk ukuran Indonesia.Bahkan dengan kata lain secara tidak langsung pihak universitas menjadi ujung tombak pemasaran vendor kepada para mahasiswa.
Pilihan alternatif
Solusi yang ada dan ditawarkan oleh para vendor saat ini akhirnya tetap akan mengakibatkan pengeluaran dana yang sangat besar. Walaupun telah menggunakan beragam lisensi yang mencoba meringankan biaya. Tetapi bila nilai tersebut kita kalikan dengan jumlah perusahaan menengah yang ada di Indonesia, maka jumlah tersebut akan menjadi cukup besar, dan menjadi beban ekonomi yang tidak bisa diabaikan lagi. Tentu akan timbul pertanyaan, apakah ada solusi lain untuk lepas dari kondisi ini ?. Jawabannya adalah ada, dan akan dipaparkan pada tulisan ini.
Beberapa kemungkinan solusi untuk menghindari masalah di tuduhan pembajakan adalah sebagai berikut :
• Pasrah dan terpaksa membeli perangkat lunak yang digunakan. Baik sistem operasi, maupun aplikasinya. Sudah barang tentu bagi institusi besar sebaiknya memanfaatkan segala bentuk lisensi yang meringankan biaya total. Tetapi melihat sebagian besar peringanan biaya ini hanya berlaku bagi perusahaan atau institusi yang menggunakan salinan lebih dari 5 komputer, tentu bagi perusahaan kecil tetap akan membayar dengan harga biasa. Dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini, solusi ini akan menimbulkan beban ekonomi yang cukup besar. Bayangkan bagi suatu perusahaan atau lembaga pendidikan yang memiliki 100 unit komputer. Sudah barang tentu mau tidak mau terpaksa mengharap belas kasihan para vendor untuk meringankan biaya lisensi. Permasalahan perkiraan biaya dengan solusi ini telah dijabarkan di atas.
• Mengembangkan perangkat lunak yang digunakan, baik sistem operasi maupun aplikasinya. Solusi ini sangatlah ideal dan akan sangat baik sekali bila dapat dilaksanakan. Sudah barang tentu akan memakan waktu yang banyak serta Sumber Daya Manusia yang tidak main-main. Secara jujur dapat dikatakan SDM bidang Teknologi Informasi di Indonesia belumlah mampu melakukan hal ini secara luas. Hal ini tidak terlepas, dari kenyataan saat ini, sebagian besar dari kegiatan praktisi TI adalah pada penguasaan ketrampilan operasional dan implementasi dari sistem. Di tambah lagi dengan kenyataan bahwa akses ke informasi internal dari teknologi perangkat lunak yang digunakan sangatlah terbatas.
• Memanfaatkan aplikasi Open Source, dan turut mengembangkannya sehingga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Program Open Source merupakan suatu program yang memiliki sistem lisensi yang berbeda dengan program komersial pada umumnya. Lisensi hukum yang digunakan pada program Open Source memungkinkan penggunaan, penyalinan, dan pendistribusian ulang secara bebas, tanpa dianggap melanggar hukum dan etika. Program Open Source relatif sudah dikembangkan cukup lama, dan telah dimanfaatkan sebagai tulang punggung utama dari sistem Internet. Beragam aplikasi Open Source saat ini tersedia secara bebas. Pemanfaatan Open Source secara luas di Indonesia akan menghindari dari pengeluaran biaya serta tuduhan pembajakan. Bahkan komunitas pengguna Open Source pun telah tumbuh luas di berbagai daerah di Indonesia dari Banda Aceh ( http:atauatauaceh.linux.or.id hingga Makassar http:atauatauupg.linux.or.id.
Dari ketiga kemungkinan tersebut, dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu, biaya dan SDM maka solusi dengan memanfaatkan aplikasi Open Source sangatlah menjanjikan untuk diterapkan untuk mengatasi masalah ini. Sayang sekali hingga saat ini masih sedikit tanggapan dari pihak Pemerintah mengenai kemungkinan pemanfaatan Open Source sebagai solusi masalah HaKI.
Sebagai perkembangan dari pemanfaatan aplikasi open source, maka bila dana yang seharusnya digunakan untuk membeli perangkat lunak, dikumpulkan untuk mendanai programmer Indonesia untuk mengembangkan aplikasi Open Source tentu akan memberikan manfaat yang lebih besar, daripada membeli aplikasi jadi dari luar negeri. Tentu saja ini membutuhkan visi masa depan, bukan sekedar visi jangka pendek.
Memang tidak harus suatu institut hanya memakai Open Source, ataupun hanya memakai vendor based aggrement. Prosentase kombinasi haruslah dipertimbangkan berdasarkan kebutuhan jangka panjang dan ketersediaan dana.






























BAB V
KESIMPULAN

Tanggung jawab kita yang pertama sebagai pemakai program atau piranti lunak komputer ialah membeli hanya program atau piranti lunak komputer ASLI untuk pemakaian anda sendiri. Jika membeli program atau piranti lunak komputer untuk keperluan usaha, setiap unit komputer yang ada di tempat usaha masing-masing harus memiliki sendiri seperangkat program atau piranti lunak komputer ASLI berikut buku pedoman penggunaannya. Jika hanya membeli satu program atau piranti lunak komputer ASLI untuk digunakan atau dimasukkan ke dalam lebih dari satu unit komputer atau meminjamkan, menyalin atau mengedarkan program atau piranti lunak komputer atau buku pedoman penggunaannya dengan alasan apapun, tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang atau pemilik hak cipta atas program atau piranti lunak komputer atau buku pedoman itu, maka anda telah melakukan tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum.
Pada waktu membeli programataupiranti lunak komputer, pastikanlah bahwa hanya membeli programataupiranti lunak komputer ASLI. Banyak produk bajakan yang dikemas sedemikian rupa sehingga nampak sama dengan produk yang asli, namun jauh berbeda dari segi mutunya.
Juga merupakan kewajiban kita untuk membeli hanya program atau piranti lunak komputer ASLI. Jika membeli atau menggunakan program atau piranti lunak komputer PALSU atau hasil bajakannya, kita bukan saja melanggar hak penciptanya untuk memperoleh pendapatan, tetapi juga merugikan industri komputer secara keseluruhan. Semua pencipta program atau piranti lunak komputer, baik yang kecil maupun yang besar, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan dan menciptakan program atau piranti lunak komputer untuk keperluan umum. Suatu bagian dari setiap dolar yang dikeluarkan untuk membeli program atau piranti lunak komputer ASLI disalurkan kembali untuk keperluan riset dan pengembangan demi peningkatan program atau piranti lunak komputer agar menjadi lebih canggih. Tetapi jika kita membeli program atau piranti lunak komputer PALSU atau hasil bajakan, semua uang kita langsung masuk kantong pembajak program atau piranti lunak komputer tersebut sedangkan pihak penciptanya tidak mendapat apapun.
Kehilangan pendapatan seperti itu jelas sangat merugikan, karena:
• mengurangi jumlah uang untuk riset dan pengembangan program atau piranti lunak komputer.
• mengurangi penyediaan produk penunjang teknis lokal.
• mengurangi kemampuan penyaluran program atau piranti lunak komputer yang sudah ditingkatkan mutunya, dan
• merugikan perekonomian setempat karena berkurangnya hasil penjualan penyalur resmi, dan dengan demikian mengurangi penghasilan dan kesempatan kerja.

SEWA-MENYEWA DAN UPAH

I. PENDAHUKUAN
Sewa menyewa tidak asing lagi bagi kita karena sudah biasa di dalam masyarakat, dan bahkan menjadi kebutuhan yang sulit terhindarkan seperti sewa-menyewa rumah kos antara pemilik kos dengan mahasiswa, bayangkan jika sewa menyewa tidak ada maka seorang mahasiswa harus membeli rumah untuk tempat tinggalnya agar lebih dekat dengan kampus dan tentu saja biaya membeli rumah akan mahalal, dengan adanya sewa menyewa orang yang menyewa dapat memenfaatkan barang tanpa harus mengeluarkan biaya yang sangat besar, maksudnya dengan menggunakan uang yang cukup kecil untuk membeli manfaat dari barang tersebut tanpa memiliki barang tersebut sepenuhnya karena tanpa mengurangi atau menghabiskan benda yang disewa, secara garis besar sewa menyewa adalah orang yang menyewa memiliki hak untuk menggunakan atau memenfaatkan barang yang disewa dengan memberikan imbalan atau upah karena memanfaatkan barang tersebut dan dalam jangka waktu yang disepakati barang tersebut akan kembali kepada pemiliknya.

II. POKOK PEMBAHASAN
a. Pengertian Sewa-menyewa
b. Rukun Akad Sewa
c. Syarat sahnya sewa Menyewa
d. Syarat barang yang disewakan
e. Pembagian dan hukum ijjaroh
f. Berakhirnya ijarah
g. Hikmah disyariatkan sewa menyewa

III. PEMBAHASAN

a. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam bahasa arab diistilahkan dengan AL-Ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu pengganti, oleh karena itu tsawab “pahala” disebut juga ajru “upah” . Menurut pengertian hukum islam sewa menyewa itu diartikan sebagai “suatu jenis akad untuk mengembil manfaat dengan jalan penggantian” (sayid sabiq, 13, 1988: 15)
Dari pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa-menyewa itu adalah pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkatan lain dengan terjadinya peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaatnya dari benda yang disewakan tersebuta, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja.
Pihak pemilik yang menyewakan manfaat disebut mu’ajir. Adapun pihak yang menyewa disebut musta’jir. Dan sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa yang diberikan imbalan atau manfaat disebut ajirroh atau ujirroh “upah”.
Sewa menyewa sabagaimana perjanjian lainnya adalah merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum yaitu pada saat sewa menyewa berlangsung dan apabila akad sudah berlangsung maka pihak yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang kepada pihak penyewa, dan dengan diserahkannya manfaat barang maka pihak penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan uang sewanya.
Adapun dasar hukum sewa menyewa ini dapat dilihat dalam ketentuan hukum pada surat al-baqarah ayat 233: ” Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Sedangkan landasan sunnahnya dapat dilihat pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim dari ibnu abbas bahwa nabi muhammad bersabda: “ berbekamlah kamu kemudian berikanlah oleh mu upah kepada tukang-tukang itu ”.


b. Rukun Akad Sewa
Rukun akad sewa dianggap sah setelah ijab qabul dilakukan dengan lafadz sewa atau lafadz lain yang menunjukan makna sama . Kedua pihak yang melakukan akad disayatratkan memiliki kemampuan yaitu berakal dan dapat membedakan baik dan buruk. Jika salah satu pihak adalah orang gila atau ank kecil akadnya dianggap tidak sah. Para penganut mahdzab syafi’i dan hambali menambahkan syarat lain yaitu baligh. Jadi menurut mereka akad anak kcil meski sudah tamyiz dinyatakan tidak sah jika belum baligh.

c. Syarat sahnya sewa Menyewa
Untuk sahnya sewa menyewa, pertama sekali harus dilihat terlebih dahulu orang yang melakukan perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu apakah kedua belah pihak telah memenuhi syarat untuk melakukan perjanjian pada umumnya . Unsur yang terpenting untuk diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum yaitu punya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Untuk sahnya akad harus dipenuhi syarat-syarat seperti dibawah ini:
1. Masing-masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa menyewa, maksudnya kalau didalam perjanjian sewa menyewa terdapat unsur pemaksaan maka sewa menyewa itu tidak sah. Ketentuan ini sesuai dengan bunyi an-Nissa’ ayat 29:
                    •    

Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.


2. Harus jelas dan terang mengenai objek yang diberjanjikan harus jelas dan terang mengenai objek sewa menyewa yaitu barang yang dipersewakan disaksikan sendiri, termasuk juga masa sewa dan besarnya uang sewa yang diperjanjikan.
3. Objek sewa menyewa dapat digunakan sesuai peruntukannya. Maksudnya kegunaan barang yang disewakan itu harus jelas, dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa sesuai dengan peruntukannya (kegunaan) barang tersebut, andainya barang itu tidak dapat digunakan sebagai mana diperjanjikan maka perjanjian sewa menyewa itu dapat dibatalkan.
4. Objek sewa menyewa dapat diserahkan: maksudnya barang yang diperjanjikan dalam sewa menyewa harus dapat diserahkan sesuai dengan yang diperjanjikan, dan oleh karena itu kendaraan yang akan ada (baru rencana untuk dibeli) dan kendaraan yang rusak tidak dapat dijadikan sebagai objek sewa menyewa, saebab barang yang demikian tidak dapat mendatangkan kegunaan bagi pihak penyewa.
5. kemanfaatan objek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan dalam agama: perjanjian sewa menyewa barang yang kemanfaatannya tidak dibolehkan oleh ketentuan hukum agama adalah tidak sah dan wajib untuk ditinggalkan.

d. Syarat barang yang disewakan:
Diantara syarat barang sewa adalah dapat dipegang atau dikuasai hal ini didasarkan pada hadist rasulullah yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual beli .
Di antara cara untuk mengetahui barang adalah dengan penjelasan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
a. Penjelasan manfaat, penjelasan dilakukan agar benda yang disewakan benar-benar jelas. Tidak sah mengetakan “saya sewakan salah satu dari rumah ini”.
b. Penjelasan waktu, jumhur ulama tidak memberikan batasan maksiamal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat asalnya masish tetap adanya sebab tidak ada dalil yang memebatasinya. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan menetapkan awal waktu akad, sedangkan ulama syafi’iyah mensyaratkan sebab jika tidak dibasi hal ini dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi.
c. Sewa bulanan, menurut ulama syafi’iyah, seseorang tidak boleh menyatakan “saya menyewa rumah ini setiap bulan Rp. 50.000,00” sebab pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap kali membayar. Akad yang betul adalah dengan menyatakan ”Saya sewa selama sebulan”. Sedangkan menurut jumhur ulama akad tersebut dianggap sah pada bulan pertama, sedangkan pada bulan sisanya bergantung pada pemakaiannya. Selain itu yang paling penting adalah adanya keridhaan dan kesesuaian dengan uang sewa.
d. Penjelasan jenis pekerjaan, penjelasan ini sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
e. Penjelasan waktu kerja, mengenai penjelasan ini sangat bergantung pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
Syarat ujrah (upah)
Para ulama telah menetapkan syarat-syarat upah:
1. berupa harta tetap yang dapat diketahui.
2. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijjaroh, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.

e. Pembagian dan hukum ijaroh
Ijaroh terbagi dua yaitu ijaroh terhadap benda atau sewa menyewa, dan ijjaroh atas pekerjaan atau upah mengupah .
1. Hukum sewa menyewa
Dibolehkan ijjaroh atas barang mubah, seperti rumah, kamar, kos-kosan dll, tetapi dilarang ijjaroh terhadap benda-benda yang diharamkan.
a. Ketetapan hukum akad dalam ijjaroh menurut ulama hanafiah keterangan akad ijjaroh adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah. Menurut malikiyah hukum ijjaroh sesuai dengan keberadaan manfaat. Ulama hanabillah dan syafi’iah berpendapat bahwa hukum ijjaroh tetap pada keadaannya dan hukum tersebut menjadi masa sewa seperti benda yang tampak.
Perbedaan pendapat diatas berlanjut pada hal-hal berikut:
1. Keberadaan upah dan hubungannya dengan akad
Menurut ulama syafi’iah dan hanabillah keberadaan upah tergantung pada adanya akad.
Menurut ulama hanafiah dsan malikiyah upah memiliki berdasarkan akad itu sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit tergantung pada kebutuhan akid.
2. Barang sewaan atau pekerjaan diberikan setelah akad.
Menurut ulama hanafiah dan malikiyah, ma’fud allaihi (barang sewaan) harus diberikan setelah akad.
3. Ijaroh berkaitan dengan masa yang akan datang.
Ijaroh untuk waktu yang akan datang dibolehkan menurut ulama hanafiyah,hanabilah, dan malikiyah, sedangkan syafi’iyah melarangnya selagi tidak bersambung dengan waktu akad.
2. Hukum upah mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian, membangun rumah dll. Ijaroh ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Ijarah khusus
Yaitu ijjarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.



b. Ijarah musytarik
Yaitu ijjarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melakukan kerja sama. Hukumnya diperbolehkan kerja sama dengan orang lain.

3. Hak menerima upah
Upah berhak diterima setelah memenuhi syarat-syatat sebagai berikut : Pertama, pekerjaan telah selesai. Dalam riwayat Ibnu Majjah Rosulullah bersabda: “Berikan upak kepada pekerja sebelum keringatnya mengering”. Kedua, mendapat manfaat jika ijarah dalam bentuk barang apabila ada kerusakan pada barang sebelum dimanfaatkan dan masih belum ada selang waktu, akad sewa tersebut batal. Ketiga, ada kemungkinan untuk mendapatkan manfaat. Jika jasa sewa berlaku, ada kemungkinan untuk mendapatkan manfaat pada masa itu sekalupun tidak terpenuhi secara keseluruhan. Keempat, mempercepat pembayaran sewa atau konpensasi. Atau sesuai kesepakatan kedua belah pihak sesuai dalam hal penangguhan pembayaran.

f. Berakhirnya ijarah
Adapun sesuatu yang menyebabkan berakhirnya ijarah (sewa menyewa) adalah sebagai berikut:
1. Menurut ulama Hanafiyah, ijarah habis dengan meninggalnya salah satu pelaku akad, baik yang menyewa atau yang menyewakan barang, sedangkam ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama ijarah tersebut tidak balal dan dapat diwariskan kepada ahli waris.
2. Pembatalan akad.
3. Terjadinya kerusakan pada barang yang disewa. Akan tetapi, menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti.
4. Habis waktu yang telah disepakati dalam ijarah.
g. Hikmah disyariatkan sewa menyewa
Syariat mengesahkan praktek sewa menyewa karena kehidupan sosial memang membutuhkannya. Masyarakat membutuhkan rumah untuk tempat tinggal, hewan utuk membantu pertanian dan lain sebagainya, yang pasti dengan adanya sewa menyewa membantu manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

IV. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa akad sewa menyewa memiliki syarat dan rukun, diantaranya adalah ada orang yang menyewakan, orang yang menyewa dan ada barang atau jasa yang disewakan, dalam itu semua diperlukan penjelasan-penjelasan baik mengenai barang dan jangka waktu yang disepakati oleh penyewa dan yang menyewakan kapan waktu berakirnya sewa-menyewa, karena sewa menyewa hanya menggunakan fungsi atau manfaat dari barang yang disewakan tanpa memiliki barang tersebut, jadi barang tetap milik orang yang menyewakann tetapi manfaatnya digunakan oleh orang yang menyewa dengan memberikan imbalan berupa upah dengan ketentuan waktu dan besarnya biaya sewa tergantung kesepakatan orang yang menyewakan dan orang yang menyewa barang maupun jasa.
Barang yang disewakan harus jelas, jika berupa barang harus jelas, ada manfaatnya dan dapat diserahkan kepada oarang yang menyewa. Jika berupa jasa juga harus jelas jenis pekerjaannya, jangka waktunya dan besaran biaya sewanya agar tidak terjadi perselisihan dikemudian hari.
Mengenai hikmah disyariatkannya sewa menyewa adalah membantu manusia untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar, sewa mwnyema juga memiliki fungsi saling melengkapi antara orang yang menyewa dengan orang yang menyewakan barang, orang yang menyewakan mendapatkan upah dan orang yang menyewa mendapatkan manfaat untuk memenuhi kebutuhannya.


V. PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu kritik yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfa’at bagi kita semua. Amin.



DAFTAR PUSTAKA

-Sabiq, Sayid. 2006. Fiqih Sunnah. Jakarta-pusat: Pena Pundi Aksara.
-Syafi’i, Rachmad. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA
-Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis. 1996. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
-Imam Ghozali Said, Achmad Zainudin. 2007. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jakarta: PUSTAKA AMANI.
-Ahmad, Idris. 1969. Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i. Jakarta: WIDJAYA DJAKARTA.

DILALAH MENURUT HANAFIYAH

A. Pendahuluan
Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafaz-lafaz yang dalam Ushul Fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dalalah tersendiri.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Maka dalam makalah ini akan dijelaskan lebih terperinci mengenai dilalah itu sendiri dan juga mengenai pemahaman Imam Abu Hanifah mengenai dilalah.

B. Pengertian dilalah
Arti “dilalah” (دِلَالَةٌ) atau “dalalah” secara umum adalah :
الدِلَالَةُ هِىَ فَهْم اَمْر مِنْ اَمْرٍ اَخَرٍ
“memahami sesuatu atas sesuatu yang lain”. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut ”madlul” (مَدْلُوْلٌ) (yang ditunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri. Kata sesuatu yang disebut kedua kalinya disebut “dalil” (دَلِيْلٌ) (yang menjadi petunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”.
Pembahasan tentang “dilalah” ini begitu penting dalam ilmu logika dan Ushul Fiqih, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berfikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berfikir secara dilalah.
C. Pembagian dilalah
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam:
1. Dilalah lafzhiyyah (الدِلَالَةُ اللَّفْظِيَّةُ) (penunjuk berupa lafaz)
Yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata.
Dengan demikian, lafaz, suara dan kata menunjukkan kepada maksud tertentu. Penunjukannya pada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a) Melalui hal yang besifat alami yang menunjukkan pada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini.
Contohnya: “Rintihan”, maksudnya adalah yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Penunjukkan dilalah seperti ini disebut “thabi’iyyah” (طَبِعِيَّةُ)
b) Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk pada maksud tertentu.
Contohnya: suara kendaraan menunjukkan adanya bentuk kendaraan tertentu yang lewat dibelakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertentu, meskipun kendaraan itu belum dilihat secara nyata. Penunjukan secara suara tersebut dinamai “aqliyah” (عَقْلِيَّةُ)
c) Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu.
Contohnya: kalau kita mendengar ucapan ”binatang yang mengeong” kita akan langsung mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu adalah “kucing”. Hal ini dimungkinkan karena kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang mengeong” itu memberi istilah kepada “kucing”. Penunjukkan bentuk ini disebut “wadha’iyyah” (الدِلَالَةُ اللَّفْظِيَّةُ وَضْعِيَّةُ)
Para ahli membagi dilalah wadha’iyyah menjadi tiga:
 Muthabiqiyyah, موافقة الَدال لِلْمَدْلُوْلِ(مُطَاِبِقيَّةُ) , yaitu dilalah yang mencakup keseluruhan unsur yang ada pada madlul. Contoh: binatang yang mengeong (dal), sedangkan madlulnya adalah kucing.
 Tadhammuniyah (تَضَمُّنِيَّةُ)
عَلَى جُزْءِ مَعْنَاهُ لِتَضَمُّنِ اْلمَعْنَى لِجُزْئِهِ اْلمَدْلُوْلِ دِلَالَةُ لَفْظُ, yaitu dalalah yang mencakup sebagian unsur madlul, tapi dari sebagian unsur tersebut sudah menunjukkan makna sebenarnya dari madlul. Contoh:
Yang “menggonggong”(dal), sedangkan madlulnya adalah “anjing”
 Iltizhamiyyah الَلْفظُ لَازِمُ مَعْنَاهُ اْلِذهْنِ (الِتزَامِيَّةُ) yaitu memahami makna yang tersirat dalam ungkapan kepada makna yang sebenarnya. Contoh: ungkapan “tidak bisa membaca” pada orang yang buta, padahal makna yang sebenarnya dari orang yang buta adalah orang yang tidak bisa melihat.
2. Dilalah ghairu lafzhiyyah (دِلَالَةٌ غَيْرُ لَفْظِيَّةُ) atau dilalah selain lafaz.
Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan pula dalam bentuk kata. hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya: seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.
Sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut:
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja. Contoh: muka pucat menunjukkan sakit.
Hal ini dapat di ketahui bahwa secara alamiah tanpa dibuat-buat, bila seseoarang barada dalam kesakitan, maka mukanya akan pucat. Pucat itu timbul dengan sendirinya dari rasa sakit itu.
b. Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu. Contoh: asap menunjukkan adanya api. Karena asap yang mengepul menunjukan adanya api di dalamnya. Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan akal: “dimana ada asap pasti ada api”.
c. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Contoh: huruf H di depan nama seseorang menunjukkan bahwa orang itu sudah haji. Hal itu dapat di ketahui karena sudah menjadi kebiasaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji menambahkan huruf H di depan namanya, tanpa ada orang yang menyuruhnya.
Penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainya, banyak digunakan dalam kehidupan. Maksudnya untuk penghematan bahasa. Dengan cara itu, maka sedemikian banyak maksud yang disampaikan dalam komunikasi dapat disingkat dengan menggunakan lambang dalam bentuk sebuah huruf atau tanda.

D. Dilalah dalam pandangan ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu lafziyyah.
1. Dilalah lafzhiyyah (دِلَالَةُ لَفْظِيَّةُ)
Ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah lafzhiyyah dibagi empat macam:
a. Dilalah ‘ibarah( دِلَالَةُ عِبَارَةُ)
وَهِيَ اْلمَعْنَى اْلمَفْهُوْمِ مِنَ الَّلْفظِ سَوَاءٌ كَانَ نَصَّا اَوْ ظَاهِرًا
Dilalah yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash atau dzahir.

Pemahaman lafaz dalam bentuk ini adalah menurut apa adanya yang dijelaskan dalam lafaz itu. Pemahaman secara tersurat dalam lafaz. Contoh Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat: 3.
                              
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ayat ini menurut ‘ibarat nash atau menurut yang tersurat sesuai tujuan yang semula, yaitu bolehnya mengawini perempuan sampai empat orang, bila memenuhi syarat adil. Berlaku adil di sini ialah perlakuan yang adil dalam melayani istri, seperti sandang, pangan, papan dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Disamping itu juga ada yang bersifat bathiniyah seperti: giliran. Lafaz dalam ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukkan hal tersebut.
Di samping memberi petunjuk yang jelas dan langsung,ayat ini secaratidak langsung (bukan menurut maksud semula atau zahirnya) menunjukkan bahwa perkawinan itu hukumnya adalah mubah, meskipun tujuan ayat ini sebenarnya bukan hanya sekedar untuk itu.
b. Dilalah isyarah (دِلَالَةُ الاِشَارَةُ)
(دِلَالَتُهُ)اَيِ اللَّفْظِ عَلَى مَالَمْ يَقْصُدْبِهِ اَصْلًا
Dilalah isyarah adalah lafaz yang dilalahnya terdapat sesuatu tidak dimaksud untuk itu menurut asalnya. Contohnya Surat Al-Baqarah Ayat: 233:
        
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para Ibu dengan cara ma'ruf”.

Ibarat lafaz dalam ayat di atas menunjukan kewajiban si ayah untuk memberi nafkah dan pakaian yang layak untuk istrinya atau jandanya dalam masa iddah.
Ungkapan المولودله)) yang berarti ayah sebagai pengganti dari lafaz الابyang digunakan Allah dalam ayat ini oleh sebagian mujtahid yang teliti titik perhatian. Ungkapan (المولودله) arti sebenarnya adalah “anak untuk ayah” tapi menurut penelitian para mujtahid maksudnya adalah “anak adalah kepunyaan ayahnya” atau dalam istilah hukum “anak dinisbatkan kepada ayahnya”.
Dengan pemahaman tersebut terkihat bahwa ayat tersebut yang menurut ibaratnya mengandung maksud tertentu, juga mengisyaratkan pada maksud lain yaitu “hubungan nasab adalah kepada ayahnya” bukan kepada ibunya.
c. Dilalah nash (دِلَالَةُ النَّصُّ)
دلَالَةُ اللَّفْظ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمِ مَاذُكِرَ لِمَا سُكِتَ عَنْهُ لِفَهْمِ الْمَنَاطِ بِمُجَرَّدِفَهْمِ اللُّغَةِ
Dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.
Atau dapat dikatakan dilalah nash adalah penunjukan oleh lafadz yang “tersurat” terhadap apa yang “tersirat” di balik lafadz tersebut.
Contoh Q.S. Al-Isra’ Ayat 23:
          
“Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”

Ibarat dari nash ini menunjukkan tidak bolehnya mengucapkan kata-kata kasar dan menghardik pada Ibu Bapak. Jadi, Hukum “tidak boleh” itu berlaku pula pada perbuatan “memukul orang tua” yang tingkatanya dinilai lebih kasar, karena sifat “menyakiti” yang menjadi alasan larangan pada pengucapan kasar. Dan “memukul” dinilai lebih kuat pada perbuatan “menghardik”.
d. Dilalah al-iqtidha’ (دِلَالَةُ الِاقْتِضَاءُ)
اِنْ دَلَّ اللَّفْظُ عَلَى مَسْكُوْتٍ يَتَوَقَّفُ صِدْقَهُ عَلَيْهِ اَوْ صِحَّتَهُ
Dilalah iqtidha’ adalah lafaz yang menunjukkan kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang makna kebenaran dan keshahihannya tergantung pada yang tidak disebutkan itu. Contoh firman Allah dalam surat Yusuf: 82:
   •     
“Tanyailah kampung tempat kita berada dan kafilah kita bertemu dengannya.”

Menurut dzahir, ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang karena bagaimana mungkin bertanya kepada “kampung” yang tidak berakal. Karenanya dirasakan perlu memunculkan sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk”, sehingga menjadi “penduduk kampung” yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata orang-orang dalam “kafilah”, sehingga menjadi “orang-orang dalam kafilah”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban.
Dalam pandangan Ulama Hanafiyah, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibarat al-nash”, kemudian menyusul “isyarat” dan setelah itu baru “dilalat al-nash” dan yang terakhir adalah “iqtidha’”. Sebagaimana dijelaskan Abu Zahrah bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibarat dengan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyarat, maka ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibarat lebih didahulukan dari pada isyarat. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibarat nash atau isyarat dengan dilalat al-nash, maka lebih didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilalat al-nash. Bila terjadi pertentangan antara dilalat al-nash dengan iqtidha’, maka dilalat al-nash lebih didahulukan atas iqtidha’. Seperti contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah 178:
       
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu (melaksanakan) qishash dalam pembunuhan …”

Ayat ini dilihat dari segi ibarat nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian Firman Allah dalam Q.S. an-Nisa’ 93:
     •           
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya”.

Ayat ini dengan cara isyarat menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibarat nash mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibarat nash lebih diutamakan dari pada isyarat nash, dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.
2. Dilalah ghairu lafzhiyyah(دِلَالَةُ غَيْرُ لَفْظِيَّةُ)
Dilalah ghairu lafziyyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Menurut Ulama Hanafiyah ada empat macam, yaitu:
a. اَنْ يَلْزَم عَنْ مَذْكُوْرِ مَسْكُوْتِ عَنْهُ
Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.
Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz itu. Kelaziman itu dapat diketahui dari ungkapan lafaz tersebut.
Dalam firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 11:
     •                 
“Untuk dua orang Ibu Bapak masing-masing mendapat seperenam bila pewaris meninggalkan anak. Bila ia tidak meninggalkan anak sedangkan yang mewarisinya adalah ibu bapaknya, maka untuk ibunya adalah sepertiga.”

‘Ibarat nash dari ayat ini ialah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, namun dari ungkapan ayat ini kita dapat memahami bahwa hak ayah adalah sisa dari sepertiga yaitu dua pertiga.
b. دلَالَة حَالِ السَّاكِتِ الَّذِىْ كَانَتْ وَظِيْفَتُهُ البَيَان مُطْلَقًا
Dilalah (penunjukkan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.
Seseorang yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu, namun ia dalam keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. begitu pula seseorang yang diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja. Diamnya itu memberi petunjuk atas suatu hukum.
c. اِعْتِبَارُ سُكُوْتِ السَّاكِتِ دَلَالَةُ كَالنُّطْقِ لِدَفْعِ التَّغْرِيْرِ
Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.
Bedanya bentuk ketiga ini dari bentuk kedua: pada bentuk kedua, diamnya itu sudah cukup dijadikan petunjuk untuk memahami sesuatu. Namun pada bentuk yang ketiga ini diamnya belum berarti apa-apa, tetapi masih diperlukan ucapannya. Meskipun dalam hal ini hanya diam, tetapi diamnya itu sudah dapat dianggap berbicara.
d. دلَالَةُ السُّكُوْتِ عَلَى تَعْيِيْنِ مَعْدُوْدٍ تَعُوْدُ حَذْفُهُ ضَرُوْرَةَ طُوْلِ الكَلَامِ بِذِكْرِهِ
Dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.
Dalam bahasa Indoseia, umpanya dalam menyebutkan tahun 1945. kalau diucapkan dengan huruf atau ucapan yang sempurna, semestinya bebunyi: “seribu sembilan ratus empat puluh lima”. Tetapi jarang orang yang menyebutkan secara sempurna. Kebanyakan orang biasa mengatakan “sembilan belas empat lima”. Meski demikian, namun semua orang sudah mengetahui maksudnya.

E. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Arti dilalah atau dalalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu yang lain. Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam:
1. Dilalah lafzhiyyah
Yang diketahui melalui tiga hal:
a. Melalui hal yang besifat alami atau disebut juga “thabi’iyah”
Contoh: rintihan seseorang.
b. Melalui akal atau disebut juga “aqliyah”
Contoh: mendengar suara kendaraan.
c. Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu atau disebut “wadhi’iyyah”
Contoh: kata “binatang yang mengeong berarti kucing”
2. Dilalah Ghairu lafzhiyyah
Yang dapat diketahui melalui hal-hal sebagai berikut:
d. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja.
e. Melalui akal.
f. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu.
Demikian juga Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam yaitu:
1. Dilalah lafzhiyyah, menurut ulama Hanafi dibagi empat macam: 1) Dilalah ‘ibarah, 2) Dilalah isyarah, 3) Dilalah nash, dan 4) Dilalah al-iqtidha’.
2. Dilalah ghairu lafzhiyyah, menurut ulama Hanafi ada empat macam, yaitu:
a. Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.
b. Dilalah keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.
c. Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.
d. Dilalah sukut yang menyatakan ma’dud namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.

F. Penutup
Demikianlah makalah ini disusun, semoga dapat menambah khazanah pengetahuan kita secara umumnya, dan bagi penulis secara khususnya. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Anshori, Syaikh Zakariya, Ghayat Al-Wushul, Surabaya: Al-Hidayah.
Alyasa, Abu Bakar, Metode Istinbat Fiqih di Indonesia, Yogyakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1987.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, trj. Yayasan penyelenggara penterjemah al-qur’an, semarang: al-Waah, 1993.
Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, cet. VIII, 1984.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih Jilid 2, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Zahrah, M. Abu, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fiqr Al-Arabi.

Thursday, June 9, 2011

INTERELASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA

kang adib
kang wahab
kang majid

I. PENDAHULUAN
Agama adalah sesuatu yang datang dari Tuhan untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan dunia dan kebahagiaan ukhrawi. Adapun kebudayaan adalah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan.
Al Islam hanyalah satu, tetapi kebudayaan Islam tidaklah satu. Sedemikian banyak dan bervariasi sesuai dengan kondisi obyektif ruang dan waktu, sesuai dengan tempat dan masa para pencipta dan pengembang kebudayaan tersebut.
Dalam kehidupan keagamaan, kecenderungan untuk memodifikasikan Islam dengan kebudayaan Jawa telah melahirkan berbagai macam produk baru terutama pada hasil interelasi nilai Jawa Islam dengan nilai kepercayaan dan ritual Jawa.
Dalam konteks Indonesia, kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting karena dimiliki sebagian besar etnik terbesar di Indonesia. Nilai-nilai Islam memiliki arti penting bagi kebudayaan Jawa karena mayoritas masyarakat Jawa beragama dan memeluk agama Islam. Dengan demikian hubungan nilai-nilai Islam dengan kebudayaan Jawa menjadi menarik karena keberadaan Islam dan kebudayaan Jawa yang cukup dominan pada bangsa Indonesia.





II. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Interelasi
B. Interelasi Nilai Jawa Islam Dalam Aspek Keagamaan
C. Cakupan Interelasi Islam Dan Jawa
D. Ajaran Keseimbangan: Nilai Jawa dan Islam

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Interelasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, interelasi berarti hubungan satu sama lain. Jadi yang dimaksud interelasi di sini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek kepercayaan.
Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaan yang bersumber pada ajaran Hindu yang ditandai dengan adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang-orang suci, roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma dan hidup bahagia abadi (moksa). Di samping itu juga ada yang bersumber pada ajaran Budha yang ditandai dengan adanya percaya pada Tuhan (Sang Hyang Adi Budha), selain itu juga ada kepercayaan animisme dan dinamisme.
Setelah kedatangan Islam ke Jawa, terjadilah suatu interelasi Islam dengan Jawa yang salah satunya adalah interelasi antara kepercayaan dan ritual Islam dengan nilai-nilai Jawa. Pada dasarnya interelasi ini ditempuh dengan jalan penyerapan secara berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan dilafalkan Islam berbahasa Arab menjadi fenomena Jawa.
Salah satu prinsip utama dalam pemikiran keagamaan Jawa adalah segala sesuatu yang ada tersusun dari wadah dan isi. Alam, bentuk fisik tubuh dan kesalehan normatif adalah wadah. Allah, sultan, jiwa, iman dan mistisme merupakan isi. Kalangan mistikus Jawa meyakini, pada akhirnya isi lebih berarti daripada wadah, sebab merupakan kunci kesatuan mistik.

B. Interelasi Nilai Jawa Islam Dalam Aspek Keagamaan
Sebelumnya perlu diketahui, bahwasanya ada dua manifestasi dari agama Islam Jawa yang cukup berbeda, yaitu Agama Jawi dan Agama Islam Santri. Sebutan yang pertama berarti “agama orang Jawa”, sedangkan yang kedua berarti “agama Islam yang dianut orang santri”.
Bentuk agama Islam orang Jawa yang disebut Agami Jawi atau Kejawen Itu adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu Budha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Varian agama Islam santri, yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu Budha, lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.
Agama Jawi ini lebih dominan di daerah-daerah Negarigung di Jawa Tengah, di Bagelen dan di daerah Mancanegari, sedangkan agama Islam Santri lebih dominan di daerah Banyumas dan pesisir Surabaya, daerah pantura, ujung timur pulau Jawa, serta daerah-daerah pedesaan di lembah sungai Solo dan sungai Brantas.
1. Sistem Keyakinan Agami Jawi
Sistem budaya Agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa. Terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti yakin adanya Allah, Muhammad sebagai pesuruh Allah, yakin adanya Nabi-nabi lain dan tokoh-tokoh Islam keramat, yakin adanya konsep dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta, memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah mati, yakin adanya makhluk-makhluk halus jelmaan nenek moyang yang sudah meninggal, yakni roh-roh penjaga, yakin adanya setan hantu dan raksasa dan yakin akan adanya kekuatan-kekuatan ghaib dalam alam semesta ini.
2. Sistem Keyakinan Islam Santri
Sistem keyakinan Islam santri baik penduduk pedesaan maupun kota berawal dari enkulturasi, mereka dilatih membaca al-Qur’an yang terdiri dari konsep-konsep puritan mengenai Allah, Nabi Muhammad, mengenai penciptaan dunia, perilaku yang baik dan buruk, kematian dan kehidupan dalam dunia akhirat, yang semua telah dipastikan adanya. Orang santri di pedesaan umumnya menerima konsep-konsep ini sebagaimana adanya tanpa mempedulikan mengenai interpretasinya; akan tetapi para santri di kota biasanya memperhatikan moral serta etika dari interpretasi dari ajaran-ajaran tersebut.
Lebih simpelnya dari aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah tercampur dengan keyakinan Jawa (Hindu, Budha, Animisme dan Dinamisme), di antaranya sebutan Allah menjadi Gusti Allah, ingkang Maha Kuwaos (al-Qadir). Di samping itu juga ada Hyang Jagad Nata (Allah Rabb al-Amien), kata Hyang berarti Tuhan atau Dewa. Di kalangan umat Islam Jawa masih ada bekas dan pengaruh kepercayaan animisme yang dapat kita saksikan dalam bentuk baru. Misalnya zaman dahulu azimat dibuat dari kuku harimau, saat ini dibuat dengan secarik kertas yang ditulis dengan petikan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam aspek ketentuan takdir baik buruk dari Tuhan, tradisi Jawa dipengaruhi oleh teologi Jabariyah yang menyebabkan orang Jawa lebih bersikap pasrah, sumarah dan nrimo ing pandum terhadap takdir Allah.

C. Cakupan Interelasi Islam Dan Jawa
Interelasi antara Islam dan Jawa mencakup begitu banyak aspek, bahkan hampir seluruh aspek-aspek kehidupan Jawa berinteraksi dan berinterelasi dengan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
1) Aspek kepercayaan dan ritual
a. Aspek kepercayaan
Penjelasan mengenai aspek kepercayaan dapat dilihat pada pembahasan di atas mengenai interelasi Islam dan Jawa dalam aspek kepercayaan.
b. Aspek ritual
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan ritual-ritual tertentu. Meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun iman, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Intisari dari shalat adalah doa, sedangkan puasa dalam budaya Jawa ada yang namanya puasa badalah yang berfungsi dalam pengendalian nafsu dan penyucian rohani. Menurut Rangga Warsito, puasa dapat ditukar dengan kata tapa, karena praktek tapa pada umumnya dibarengi dengan puasa. Dalam Islam kejawen tapa itu merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin dalam pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuan dari bertapa adalah untuk mendapatkan kesaktian dan mampu berkomunikasi dengan makhluk ghaib.
Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara-upacara, baik yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut sang Ibu, lahir, kanak-kanak, sampai upacara saat kematiannya, atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari. Upacara tersebut semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan-kekuatan ghaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan kelangsungan kehidupan manusia.
Secara halus Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selamatan. Di dalam upacara selamatan ini yang pokok adalah pembacaan doa (dalam istilah Jawanya dongo) yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan Islam, apakah itu kaum lebai atau kiayi. Selain itu, terdapat seperangkat makanan yang dibawa pulang ke rumah peserta selamatan, yang disebut berkat. Makanan-makanan itu disediakan oleh penyelenggara upacara atau shohibul hajat, dalam bentuknya yang khas, makanan inti adalah nasi tumpeng, lingkung ayam dan ditambah umbarampe yang lain.
2) Aspek pendidikan
Sebuah institusi pendidikan, pesantren adalah wujud kesinambungan budaya Hindu Budha yang di Islamkan secara damai. Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu Budha kemudian berlanjut pada masa Islam. Sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antar sistem pendidikan Hindu Budha dengan pendidikan Islam yang telah mengenal uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu Budha, yaitu pada saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan pemukiman. Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau pondok pesantren.
Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha yang disebut dengan Mandala. Mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan. Sebuah kawasan atau pengikutnya. Menurut IP Simanjuntak menyebutkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam telah mengambil model dan tidak mengubah struktur organisasi dari lembaga pendidikan Mandala pada masa Hindu. Pesantren hanya mengubah isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi sarana bagi pemahaman pelajaran agama dan latar belakang para santrinya.
Asal usul pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah Walisongo. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa pada abad 15-16 yang telah berhasil mengombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam dalam masyarakat. Mereka yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (W. 1419 H) merupakan orang pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri. Dengan tujuan agar para santri dapat menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di masyarakat luas.
Pendekatan dan kebijakan Walisongo terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejahteraannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri, melalui konsep modeling keagungan Nabi Muhammad Saw. Jika dalam dunia Islam. Rasulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, maka dalam masyarakat Jawa kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisongo.
Bagi Walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama, mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak kandung sendiri. Ajaran-ajaran Walisongo tidak dapat dipisahkan dari ajaran dasar sufisme. Sufisme sebagai elemen aktif dalam penyebaran Islam di Jawa yaitu dengan adanya kehadiran tariqat Qadariyyah, Naqsabandiyah serta Suhrowardiyyah. Tariqat dan supremasi ilmu agama sebagaimana yang telah terukir dalam sejarah merupakan ciri lain dari kehidupan pesantren.
3) Aspek politik
Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Orang yang mengutamakan nilai ekonomi, akan selalu mengedepankan nilai ekonomi serta keuntungan materi. Sedangkan yang lebih mengutamakan nilai politik, perilakunya diwarnai oleh nilai politik. Ia akan menerapkan moral politik seperti yang diajarkan oleh Niccolo Machravelli, yang menghalalkan segala cara. Ini terlihat jelas dalam sejarah perilaku golongan priyayi Jawa dalam kerajaan-kerajaan Jawa hingga zaman Mataram. Artinya apabila kekuasaan politik yang mereka pandang sebagai sumber kejayaan ini diganggu, mereka akan membela mati-matian seperti ungkapan: “pecahing dhadha wutahe ludiro”.
Penyebaran agama islam yang pada mulanya terpusatkan di daerah-daerah pesisir, akhirnya mendapat sambutan baik dari para kepala daerah atau bupati. Dukungan umat Islam pun memperluas kekuasaan para bupati itu hingga berhasil membentuk kesultanan-kesultanan lokal. Di antara kesultanan Jawa Islam yang kemudian meluas kekuasaan politiknya adalah kesultanan Demak. Karena itu, sejak abad ke 15 dan abad ke 16 M, penyebaran agama islam telah didukung berbagai kesultanan di daerah pesisiran.
4) Aspek sastra
Salah satu elemen yang menonjol adalah Islam sebagai agama yang berkembang di Jawa memperoleh banyak pengikut semenjak di perkenalkan oleh para pendatang melalui kawasan pesisiran dan kemudian masuk ke pedalaman berinteraksi dengan elemen lama. Pertemuan antara etika Jawa (warisan Hindu Budha) yang telah ada sebelumnya dengan ajaran Islam yang menganggapnya terseret kepada kebatinan yang banyak dalam hal menyalahi syari'at Islam. Lepas dari persoalan tentang kapan masuknya Islam ke Jawa, masalah lain yang tak kalah penting adalah proses inkulturasi, di antara elemen-elemen Islam yang sangat menonjol dalam kebudayaan lokal.
a) Islam dan sastra Jawa Pesisiran
Sastra pesisiran sebagai bagian dari sastra Jawa memiliki kaitan erat dengan proses perkembangan kehidupan keagamaan karena pada dasarnya kehidupan sehari-hari masyarakat tak dapat di lepaskan dari kerangka agama, biasanya diidentifikasi sebagai karya sastra yang berkaitan dengan proses Islamisasi Jawa yang memakan waktu lama dan berlangsung damai. Karya-karya yang muncul dari kalangan penulis memperhatikan warna agama yang begitu dominan, bahkan ada kecenderungan ke arah mempertahankan unsur legalistic dalam agama dari kemungkinan masuknya elemen-elemen yang di anggap mengandung unsur menyesatkan. Karya yang di anggap paling tua adalah naskah yang diidentifikasi berasal dari Tuban, yang di terbitkan Schrieke sebagai disertasi dengan judul Het Boek Van Bonang, dan di terbitkan khusus oleh SWJ.Drewes dengan judul The Admotion of She Bari (Wejangan Syeh Bari). Tulisan Drewes tersebut merupakan kritik atas disertasi yang di tulis oleh Schriele di atas. Karya tersebut di anggap sebagai tulisan sunan Bonang atas dasar informasi yang ada di bagian kolofon yang menyatakan tamat cerita, karena budi pekerti pangeran Bonang, pandangan demikian dianggap keliru oleh Drewes karena bisa saja di tulis oleh penyalin naskah yang belum tentu sunan Bonang.
Dari karya tersebut terlihat pada garis besar menjelaskan tentang apa yang di sebut sebagai wirasaning usul sulune yang pada dasarnya berisi ajaran tasawuf yang di ambil dari ajaran tasawufnya Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi yaitu tasawuf yang bercorak Sunni sedemikian kentalnya dengan unsur Sunni sehingga ajarannya menolak elemen tasawuf. Falsafi ajaran Ibnu Arabi misalnya dengan ucapannya yang mengatkan al insnu sirri waana sirruhu yang berarti intisari manusia adalah intisari Ku dan aku adalah intisari Nya, pandangan ini tidak sejalan dengan tradisi Sunni yang memustahilkan manusia memiliki esensi yang sama dengan Tuhan, secara garis besar naskah ini memberikan suatu wejangan agar urid-murid Syeh Bari tidak tersesat mengikuti ajaran tasawuf yang mendekati ajaran falsafi.
Semangat yang mengutamakan syari'at di bandingkan dengan kehidupan spiritual mencapai puncaknya pada penulisan syair yang berisi ajaran Islam gaya Ahlussunnah seperti yang di perlihatkan KH. Ahmad Ri'fa'i dari Kalisalak. Ia menyusun kitab-kitab yang berbentuk syair yang berjumlah 52 buah, 19 di antaranya di simpan pada bagian Timur. Kitab-kitab para pengikutnya di susun dengan tarjumah tersebut berisi berbagai tiang keislaman. Karangannya, akidah, syari'ah dan tasawuf. Kitan-kitab tersebut dapat di pandang sebagai bagian dari agitasi, mengajarkan agama Islam gaya pesisiran dengan corak linguistik yang berlangsung lama.
b) Pedalaman yang bercorak mistis
Bersamaan dengan proses klamisasi yang bergerak dari kawasan pesisir menuju pedalaman sebagaimana di jelaskan di atas maka terjadi pula proses Islamisasi sastra pedalaman yang semula bercorak Hindu Sentris menjadi berbau keislaman, meskipun pada akhirnya merupakan perpaduan antara ajaran Islam dengan elemen-elemen tasawuf dalam naskah centini yang memperlihatkan bahwa unsur Islam yang dekat dengan ajaran mistik
Suatu karya besar yang mengilhami kebudayaan kejawen adalah wirid tersebut berisikan tentang tata cara seseorang yang ingin mengadakan kemanunggalan dengan Tuhan. Kondisi menyatunya manusia dengan Tuhan merupakan fenomena universal dalam berbagai agama yang memiliki ajaran semacam ini, yakni ketika manusia berpandangan bahwa realitas hakiki sebenarnya hanyalah bayangan dari keberadaan Tuhan. Manusia yang bijaksana tidak akan mengejar realitas yang hanya bayangan, tetapi yang hakiki yaitu Tuhan. Tuhan menjadi sesuatu yang "di bawahnya" kemanapun ia pergi yang di sebut Wahdat al-Syu'ud sehingga gemerlapnya dunia ini tidak mengikatnya
Paham kejawen yang memiliki kesejajaran dengan tasawuf mistik merupakan realitas masyarakat Jawa yang memiliki akar kuat sehingga senantiasa memiliki pengikut dan perkembangannya amat tergantung kepada seberapa jauh apresiasi generasi penerus terhadap nilai-nilai masa lalu yang ada dalam ajaran sastra pedalaman.

D. Ajaran Keseimbangan: Nilai Jawa dan Islam
Ajaran keseimbangan yang diajarkan oleh Islam terlihat pada doktrin bahwa kekayaan mempunyai fungsi sosial. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan fungsi sosial tersebut adalah seperti pada:
Surat Az-Zukhruf ayat 32:
        •                    
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Surat Adz-Zariyaat ayat 19:
     
Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

Di samping itu al-Qur’an juga dengan tegas melarang penumpukan harta benda dalam arti penimbunan (QS.104: 2).
Dalam berbagai dalil di atas terasa bahwa kepemilikan harta bukanlah yang utama tetapi dorongan untuk mengendalikan diri dan tidak mengumbar pemenuhan kebutuhan secara individual semata adalah sangat utama. Dalam hal ini tersirat ajaran bahwa Islam mengajarkan dan menggariskan prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan “sekedar kebutuhan” sambil tetap menjaga keseimbangan dengan yang lain.
Persoalan pengendalian diri merupakan persoalan yang sama-sama mendapatkan perhatian dalam masyarakat yang mendukung budaya Jawa dan ajaran Islam, dalam masyarakat Jawa sering digunakan istilah Bethara Kala yang merupakan tokoh dalam tradisi Jawa dan berfungsi sebagai simbolisasi waktu. Bethara Kala ini ketika dapat ditundukkan sebenarnya dapat berarti bahwa sang waktu telah dapat dikuasai. Sebaliknya apabila waktu tidak dapat dikuasai dalam arti tidak menghargai waktu dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya maka hal ini disimbolkan dengan di makan Bethara Kala.

IV. KESIMPULAN
Kita semua tahu bahwa agama Islam dengan kebudayaan jawa dalam masyarakat di lingkungan kita sangatlah erat hubungannya. Karena masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi akan suatu nilai unggah ungguh dan rasa hormat kepada seseorang yang dianggap lebih tua, maka untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa kita harus masuk dengan cara halus yaitu melalui mencampurkan budaya Jawa dan Islam serta menghilangkan semua hal-hal yang berbau syirik dalam budaya mereka dengan tanpa menghilangkan semua adat yang sudah berkembang ditengah-tengah mereka.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu kritik yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya agar lebih baik. Semoga makalah ini bermanfa’at bagi penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Amiiin . . . .

Fiqh dan Kesetaran Gender


I. PENDAHULUAN
Gender pada dasarnya adalah perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin merupakan kodrat Tuhan, sehingga secara permanen berbeda. Sementara gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas kontruksi sosial. Perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ciptaan Tuhan, tetapi yang diciptakan baik laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain yang biologis sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial budaya. Oleh karena itu, gender selalu berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ketempat, bahkan dari kelas ke kelas. Sementara jenis kelamin tidak berubah.
Dalam permbahasan di bawah ini, akan dijelaskan secara lebih detail mengenai gender bila dihubungkan dengan fiqh islam dan juga di lihat dari pemikiran-pemikiran suatu golongan.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Keadilan Dalam Gender
2. Pemahaman Kaum Feminisme
3. Pemikiran-Pemikiran Keagamaan
4. Posisi Perempuan Dalam Islam
5. Gender Dalam Fiqh




III. PEMBAHASAN
1. Keadilan Dalam Gender
Sejumlah pandangan dan fakta-fakta sosial budaya yang masih terus berlangsung bahkan sampai saat ini yaitu, perempuan terutama pada masyarakat Jawa, dipandang sebagai konco wingking dari laki-laki yang menjadi suaminya. Ia adalah teman hidup dengan status di belakang. Sesudang itu, swargo nunut neroko katut. Ke surga atau neraka ikut suami. Nasib perempuan, dengan begitu, benar-benar sangat tergantung pada laki-laki. Perempuan yang baik atau ideal dalam pandangan umum adalah istri yang penurut, yang selalu menundukkan kepalanya di hadapan suami dan tidak suka protes, tanpa peduli apakah yang dilakukan suaminya benar atau tidak. Mereka dengan rela membiarkan segala penderitaan ditanggung sendiri di dalam hati dan batinnya. Mereka berkeyakinan bahwa sikap dan pandangan yang demikian niscanya akanada balasannya yang lebih baik kelak. Sebaliknya, istri yang suka protes atau mengkritik dianggap sebagai perempuan lancang dan tidak baik.
Pada ruang politik, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau di sawah-sawah, dinilai dan dihargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum laki-laki. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepada perempuan justru pada sector-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi. Bagi pekerja yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya dianggap sebagai sambilan, karena tugas utamanya adalah mengurus hal-hal domestic. Itupun sebatas apabila diizinkan oleh suaminya. Karena diperlukan untuk mencari tambahan penghasilan. Yang justru paling menyedihkan adalah fakta yang di ungkapkan Hasil Penelitian BPSW tahun 1995 yang menyebutkan bahwa hampir 50% perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja yang tidak dibayar.
Sedangkan, wanita juga memiliki kewajiban untuk terjun ke dalam bidang profesi jika berada dalam dua kondisi, pertama, ketika harus menanggung biaya hidup sendiri beserta keluarganya pada saat orang yang menanggungnya sudah tidak ada atau tidak berdaya. Kedua, dalam kondisi wanita dianggap fardhu kifayah untuk melakukan suatu pekerjaan yang dapat membantu terjaganya eksistentsi suatu masyarakat muslim.
Fenomena, relitas, dan fakta-fakta social budaya sebagai dikemukakan di atas memperlihatkan dengan jelas adanya relasi laki-laki dan perempuan yang tidak setara. Inilah yang oleh kaum feminis sering disebut sebagai ketidakadilan gender. Akhir-akhir ini, ketidak setaraan itu tengah menghadapi gempuran-gempuran hebat oleh apa yang dinamakn gerakan feminis.
2. Pemahaman Kaum Feminisme
Pada umumnya, orang melihat perempuan sebagai makhluk yang lemah, sementara laki-laki kuat, perempuan emosional, laki-laki rasional, perempuan halus, laki-laki kasar, dan seterusnya. Perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai ketentuan kodrat, sudah dari pemberian Tuhan. Oleh karena itu, ia bersifat tetap dan tidak dapat diubah. Mengubah hal itu di anggap sebagai menyalahi kodrat atau bahkan menentang ketetuan Tuhan. Gambaran-gambaran tentang laki-laki dan perempuan demikian ini berakar dalam kebudayaan masyarakat.
Dalam pandangan kaum feminis, sifat-sifat sebagaimana disebutkan itu tidak lain merupakan suatu yang dikontruksi secara social dan budaya. Dalam arti lain, ia dibuat oleh manusia sendiri, bukan oleh keputusan Tuhan. Fakta-fakta sosial menunjukkan dengan jelas bahwa sifat-sifat tersebut dapat diganti atau ditukarkan atau berubah menurut waktu, tempat, dan kelas social. Inilah yang oleh mereka disebut sebagai perbedaan gender.
Atas dasar ini, sebagai suatu yang bersifat social dan dibuat oleh manusia, maka ada kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk mengubah atau mempertukarkan sesuai dengan konteksnya. Konsep ini harus dibedakan dengan konsep jenis kelamin (seks). Konsep jenis kelamin melihat perbedaan laki-laki dan perempuan semata-mata sari segi biologis, seperti perempuan melahirkan dll. Pada konsep itu, perbedaan laki-laki dan perempuan benar-benar bersifat kodrati, ciptaan Tuhan, karena itu bersifat tetap dan tidak berubah.
3. Pemikiran-Pemikiran Keagamaan
Penelitian terhadap sumber-sumber otoritas pemikiran agama menyimpulkan bahwa pengertian tantang adanya perbedaan antara seks dan gender benar-benar belum dapat diterima sepenuhnya. Sejumlah besar ulama (istilah yang biasa digunakan untuk pemegang otoritas dalam wacana pemikiran Islam) tetap memandang bahwa laki-laki memang menempati posisi super dari perempuan. laki-laki lebih unggul daripada kaum perempuan. Keputusan ini dihubungkan dengan pernyataan Al-Qur’an dalam surat An-Nisa’ 34:
              
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Kemudian tentang hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, orang-orang Arab menafsirkan sejak semula perempuan bersifat sekunder, perempuan diciptakan hanya sebagai pelengkap dan untuk melayani laki-laki. Jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan tidak setara oleh Allah, maka selamanya tidak dapat menjadi setara. Pemahan ini kemudian menjadi keyakinan dan ideology yang melekat dalam pikiran masyarakat.
Akan tetapi, kini realitas budaya telah memperlihatkan semakin banyak perempuan yang memiliki kemampuan intelek dan kecerdasan nalar, bahkan juga kekuatan fisik yang justru secara relative memang mengungguli laki-laki. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan telah memberikan peluang, meskipun masih sedikit dari mereka yang mengaktualisasikan potensi-potensi yang mereka miliki, seperti yang juga dimiliki kaum laki-laki.
4. Posisi Perempuan Dalam Islam
Yusuf Qardhawi sendiri menyatakan bahwa tidak ada satupun agama langit atau bumi yang memuliakan perempuan seperti Islam memuliakan, memberikan hak, menyayangi dan memeliharanya, baik sebagai anak perempuan, perempuan dewasa, ibu, dan anggota masyarakat. Islam memuliakan perempuan sebagai manusia yang diberi tugas dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya.
Allah swt berulangkali menyebutkan prinsip kesetaraan dalam Islam, di antaranya pada surat An Nahl ayat 97: “Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
Namun sangat disayangkan bahwa masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum perempuan dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara’. Padahal, syariat Islam sendiri telah menempatkan perempuan pada proporsi yang sangat jelas, yaitu sebagai manusia, sebagai perempuan, anak perempuan, istri atau ibu. Padahal sudah jelas bahwa Al-Qur’an menjungjung tinggi dua orang wanita sebagai contoh kesmpurnaan, yaitu asia, istri Fir’aun, dan Maryam, putrid Imran dan ibu Nabi Isa. Hadis Nabi menambahkan dua orang wanita lain yaitu Khadijah, istri Nabi Muhammad dan Fatimah, anak perempuan beliau.
Hal yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan perempuan tersebut sering disampaikan dengan mengatasnamakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu Islam hadir di dunia untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Jika ada norma yang dijadikan pegangan oleh masyarakat, tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, norma itu harus ditolak. Demikian pula bila terjadi berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Praktik ketidakadilan dengan menggunakan dalil agama adalah alasan yang dicari-cari. Sebab, menurut Al Quran, hubungan antar manusia di dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, persaudaraan dan kemaslahatan.
5. Gender Dalam Fiqh
Menurut Hasyim, salah satu kelemahan fiqh yang ada selama ini adalah tidak adanya perspektif keadilan gender di dalamnya. Kita harus mampu bersikap kritis terhadap fiqh yang ada, tidak menerima apa adanya, tanpa mempertanyakan validitas informasi sahabat. Karena pandangan seperti ini berakibat meloloskan setiap hadis yang mutunya tidak baik, asal berasal dari sahabat besar. Dengan berpegang pada prinsip adil dan setara jender dalam Al Qur’an kita seharusnya bersikap kritis. Kritis dalam arti, setiap hadits yang dirasa bernada peyoratif, perlu dikaji dan ditelaah lebih lanjut, baik dari segi perawinya (sanad) maupun kandungannya (matan) haditsnya. Apakah benar memang Nabi Muhammad pernah berkata seperti itu, dan jika benar, apakah memang isinya seperti itu. Karena itu, hadis-hadis itu perlu diteliti kebenaran dan maksudnya untuk memperoleh pandangan budaya baru yang mendukung terciptanya relasi laki-laki dan perempuan yang adil secara gender, sehingga keberagamaan umat menjadi dewasa dan sesuai denga ideal yang dicita-citakan Al-Qur’an.
Hasyim juga menyatakan bahwa untuk melakukan perubahan kita harus memiliki dua persepsi yang mendukungnya, yaitu :
1) fiqh (syariat) itu bukan Al Quran dan bukan pula sunnah sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan perubahan di dalamnya. Kita hanya boleh mengubah sampai pada tingkat reinterpretasi atas tafsir-tafsir Al Quran dan sunnah yang telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, bukan perubahan atas Al Quran dan sunnah itu sendiri.
2) fiqh (syariat) adalah hasil ijtihad manusia yang tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan yang sangat bergantung kepada konsep perubahan ruang dan waktu.
Sebagai sebuah hasil proses interpretasi teks Al Quran dan sunnah Nabi saw melalui berbagai persyaratan metodologis dan intelektualitas yang sangat ketat sekalipun, pasti ada saja kelemahannya mengingat manusia secara fitrahnya memang terbatas, seperti ungkapan sebuah hadis populer “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.” Maka kekurangan dan kesalahan pada diri manusia adalah alamiah. Hal itu sangat mungkin terjadi pada fiqh yang merupakan hasil perumusan manusia. Maka sangat masuk akal dilakukan reinterpretasi atas fiqh, bukan untuk menggugat fiqh tetapi justru untuk mempertahankan fiqh. Namun demikian, tetap ada tentangan dari kalangan yang mempertanyakan kemampuan kita sebagai manusia yang tidak dilahirkan pada masa Rasul, sahabat, atau tabiin (orang shalih dari generasi setelah khulafaurrasyidin). Padahal, fiqh bukanlah agama, ia dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Selama ini fiqh terkesan tidak responsif terhadap gerakan pemberdayaan perempuan, padahal penyusunan fiqh perspektif baru akan menguntungkan dari dua segi, yaitu memperluas fiqh sebagai wacana yang tetap terbuka, dan memberikan kemungkinan untuk mengakomodasi setiap perkembangan baru.

IV. KESIMPULAN
gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas kontruksi sosial. Syariat Islam sendiri telah menempatkan perempuan pada proporsi yang sangat jelas, yaitu sebagai manusia, sebagai perempuan, anak perempuan, istri atau ibu. Padahal sudah jelas bahwa Al-Qur’an menjungjung tinggi dua orang wanita sebagai contoh kesmpurnaan, yaitu asia, istri Fir’aun, dan Maryam, putrid Imran dan ibu Nabi Isa. Hadis Nabi menambahkan dua orang wanita lain yaitu Khadijah, istri Nabi Muhammad dan Fatimah, anak perempuan beliau.
Kemudian untuk melakukan perubahan pandangan, kita harus memiliki dua persepsi yang mendukungnya, yaitu :
1. fiqh (syariat) itu bukan Al Quran dan bukan pula sunnah sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan perubahan di dalamnya.
2. fiqh (syariat) adalah hasil ijtihad manusia yang tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan yang sangat bergantung kepada konsep perubahan ruang dan waktu.

V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini disusun, semoga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita secara umumnya dan secara khususnya bagi penulis. Penulis sadar bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapakan. Dan saya ucapkan terimakasih atas perhatiannya.



DAFTAR PUSTAKA
Boisard, Marcel A, PROF, DR, Humanisme Dalam Islam, 1983, Bulan Bintang, Jakarta.
Ilyas, Hamim dkk, Perempuan Tertindas?, 2003, PSW IAIN Sunan KalijagaYogyakarta, Yogyakarta
Mahfudh, Sahal, KH, MA, Fiqh Perempuan, 2001, LKiS, Yogyakarta.
Praja, juhaya S, PROF, DR, Filsafat Dan Metodologi Ilmu dalam Islam, 2002, Teraju, Bandung.
Syuqqah, Abdul Halim Abu, Kebebasan Wanita, 1999, Gema Insani Press, Jakarta,