I. PENDAHULUAN
Para ahli telah banyak mendefinisikan tentang apayang dimaksud dengan ekonomi islam. Berbagai Argumen ini meskipun saling berbeda formulasi kalimatnya, tetapi mengandung pengertian dasar yang sama. Pada dasarnya suatu ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, meninjau, meneliti yang pada akhirnya menyimpulkan dan menyalasaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara islami merupakan bagian dari definisi ekonomika islam itu sendiri. Yang dimaksud dengan cara-cara islami disini ialah metode-metode yang didasarkan atas ajaran agama islam. Menurut pengertian seperti ni, maka istilah yang juga sering digunakan adalah ekonomika islam. Jadi ekonomika islam atau ilmu ekonomi islami akan menitikberatkan segala aspek ontologinya pada ajaran agama islam.
Penegasan yang diberikan oleh beberapa ahli, bahwa ruang lingkup dari ekonomika islam adalah masyarakat muslim atau komunitas negara Muslim itu sendiri. Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau Negara muslim di mana nilai-nilai ajaran islam dapat diaplikasikan. Menurut Yuliadi (2001) titik tekan ilmu ekonomi islam adalah bagaimana islammemberikan pandangan dan solusi atas berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi umat secara umum. Untuk memberikan pengertian yang lebih jelas maka berikut ini disampaikan definisi ekonomi islam menurut Anto (2003) sebagai berikut :
1. Ekonomi islam adalah ilmu yang mempejari masalah-masalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai islam (Manna, 1986; hlm. 18)
2. Ekonomi islam didefinsikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia malalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan dengan islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangam makro dan ekologis (Chapra,1996; hlm.33)
3. Ekonomi islam adalah tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada zamannya. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al-Qur’an dan Hadits (Siddiq, 1992; hlm. 69)
4. Ekonomi islam adalah suatu ilmu aplikasi petunjuk dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam meperoleh dan menggunakan sumber daya material agr memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat(Hasanuzzaman, 1984; hlm. 18)
5. Ekonomi islam memusatkan perhatian pada studi tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya di bumi ini atas dasar kerja sama dan partisipasi(Khan, 1994. Hlm.33)
6. Ekonomi islam adalah suatu upaya sistematik untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia dari perspektif islam(Ahmad, 1992; hlm.19)
7. Ekonomi islam merupakan studi mengenai representasi perilaku ekonomi umat islam dalam suatu masyarakat muslim modern (Naqvy), 1994; hlm. 20)
8. Ekonomi islam merupakan mazhab ekonomi islam, yang menjelma di dalamnya bagaimana cara islam mengatur kehidupan perekonomian, maupun dengan uraian sejarah masyarakat (As Shodr, 1968; hlm. 9)
Menurut Jati (2004), terhadap dua bagian besar dalam ekonomi yang
harus dipisahkan, yaitu ilmu ekonomi dan sistem ekonomi. Kesimpulan ini ada karena ada dua realitas yang tidak sama. Yang paling tepat dikategorikan sebagai ilmu ekonomi, pertama, yaitu pengaturan urusan masyarakat dari segi pemenuhan harta kekayaan dan kegiatan untuk memperbanyak jumlah barang dan jasa serta bagaimana strategi untuk menjaga pengadaannya (produksi). Kedua, sama sekali tidak dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya harta kekayaan , tetapi hanya berhubungan dengan tata kerja (mekanisme) pendistribusiannya. Dengan demikian, menurut An-Nabhani (1990), sistem ekonomi hanyalah merupakan salah satu aspek pengaturan kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara khususnya yang berkaitan dengan bagaimana mengelola mekanisme pendistribusian harta kekayaan.
Menurut An-Nabhani (1990) ekonomi sebagai suatu kajian studi, bersifat universal, artinya tidak terkait dengan sebuah ideologi tertentu. Ia dapat dikembangkan dan diadopsi dari manapun selama tidak kontraproduktif
Dengan sistem ekonomi yang diatur islam. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah “kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian” yang berarti boleh untuk mengembangkan kemampuan produksi secara kualitas maupun kuantitas.
Pemahaman seperti ini akan mengantarkan kepada kita agar tidak terjebak dalam wacana islamisasi ilmu pengetahuan. Pakar Ekonomi Islam tidak perlu membuang semua teori yang telah berhasil dikembangkan. Yang diperlukan ialah melakukan internalisasi nilai-nilai islam dalam rangka turut mengembangkan keberadaan dari ilmu ekonomi.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Biografi Ibnu Taimiyah
2. Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
III. PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
Ibnu taimiyyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir dikota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul awwal 661 H). ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Berkat kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika dan filsafat, serta menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantarannya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-khoir, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al- Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan public. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga dimedan perang.
Penghormatan yang lebih besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
B. Pemikiran Ekonomi
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
1. Harga yang Adil, Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga
a. Harga yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Quran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw. menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga adil telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini, budak tersebut menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah kompensasi dengan hara yang adil (qimah al-adl).
Secara umum, para fuqoha ini berfikir bahwa harga yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek yang serupa. Oleh karena itu, mereka lebih mengenalnya sebagai harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensas yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa kasus berikut:
(a) Ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan orang lain atau merusak harta dan keuntungan.
(b) Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali sejumlah barag atau keuntunganyang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang lain.
(c) Ketika seseorang diminta untuk menentukan akad yang rusak (al-‘ukud al-fasidah) dan akad yang shahih (al-uqud al-shahihah) dalam suatu peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak milik.
Prinsip umum yang sama berlaku pada pembayaran iuran kompensasi lainnya. Misalnya :
(a) Hadiah yang diberikan oleh gubernur kepada orang-orang Muslim, anak-anak yatim dan wakaf.
(b) Kompensasi oleh sgen bisnis yang menjadi wakil untuk melakukan pembayaran kompensasi.
(c) Pemberian upah oleh atau kepada rekan bisnis (al-musyarik wa al-mudharib)
Konsep Upah yang Adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl).
Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduannya tidak pasti dan tidak ditntukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
Konsep Laba yang Adil
Ibnu taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan motivasi para pedagang. Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum (al-ribh al ma’ruf) tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain. Ia menentang keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksploitatif (gaban fahisy) dengan memanfaatka ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada (mustarsil).
Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil Bagi Masyarakat
Tujuan utama dari harga yang adil dan berbagai permasalahan lain yang terkait adalah untuk menegakan keadilan dalam bertransaksi pertukaran dan berbagai hubungan lainya di antara anggota masyarakat.kedua konsep ini juga dimaksudkan sebagai panduan bagi para penguasa untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan eksploitatif.dengan kata lain,pada hakikatnya konsep ini akan lebih memudahkan bagi masyarakat dalam mempertemukan kewajiban moral dengan kewajiban finansial.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,adil bagi para pedagang berarti barang~barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilang keuntungan normal mereka.
b. Mekanisme pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber persedian, yakni produksi local dan impor barang~barang yang diminta (mayukhlaq aw yujlab Min dzalik al~mal al~matlub). Untuk menggambarkan permintaanterhadap suatu barang tertentu,ia menggunakan istilah raghbah fial~syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu,yakni barang. Hasrat merupakan salah satu factor terpenting dalam permintaan, factor lainya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah perubahan dalam supply digambarkanya sebagai kenaikan atau penurunandalam persediaan barang-barang, yang di sebabkan oleh dua factor,yakni produksi local dan impor.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa factor yang memengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu :
1) keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang
berbeda dan selalu berubah-ubah.
2) Jumlah para peminat (tullab) terhadap suatu barang.
3) Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan.
4) kualitas pembeli jika pembeli adalah seorang yang kaya dan terpercaya
dalam membayar utang,harga yang diberikan lebih rendah.
5) Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
6) Tujuan transaksi yng menghendaki adanya kepemilikan resiprokal di
Antara kedua belah pihak
7) Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual
c. Regulasi harga
Setelah menguraikan secara panjang lebar tentang konsep harga yang adil dan mekanisme pasar, Ibnu Taimiyah melanjutkan pembahasan dengan pemaparan secara detail mengenai konsep kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah. seperti yang akan terlihat , tujuan regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga,yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum.penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.
1) Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah
merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidaksempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`) menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya
monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.
2) Musyawarah untuk Mnetapkan Harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait.
Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan dengan menciptakan rasa tanggung jawab moral serta dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang telah disinggung jasa mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para majikan dan para pekerja dari aksi saling mengeksploitasi diantara mereka.
2. Uang dan Kebijakan Moneter
a. Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus Ibnu Taimiyah menyebutkan dua utama fingsi uang yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan,
“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan sebenarnya. Apabia uang dipertukarkan dengan uang yang lain, pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Dengan cara ini, seseorang dapat mempergunakan uang sebagai sarana untuk memperoleh berbagai kebutuhannya.
b. Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat banyak. Ia menyatakan,
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Taimiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlahh mata uang, total volume transaksi dan tingkat harga. Pernyataanya tentang volume fulus harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi adalah untuk menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang, misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di pasar sehingga tdak seorang pun, termasuk penguasa, dapat mengambil untung dengan melebur uang tersebut dan menjual dalam bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaram mata uang.
c. Mata Uang yang Buruk Akan Menyngkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut:
“Apabila penguasa membatalkan pengggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilanhkan nlai tinggi yang semuka mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrisik mata uang tersebut berbeda, hal iniakan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarnya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawannya kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa lagi kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah trlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.