PENGERTIAN ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini Pemeluk agama Islam selama ini mendistorsikan paham sufistik yang memandang manusia secara ekuel dan egaliter ke arah garis struktural sebuah sistem yang sangat dominan dalam budaya Jawa. Berbeda dari Islam, budaya Jawa memang memandang manusia secara hierarkis: tinggi-rendah, atas-bawah, juragan-kuli, atau ningrat-bukan ningrat. Celakanya, penyusunan kembali itu tidak diletakkan dalam peran tapi melebar dan dominan dalam penilaian status.
Hal demikian melahirkan kesan bahwa nilai-nilai budaya Jawa lebih kuat membentuk peradaban Islam di Jawa. kerinduan pada segala yang hierarkis telah menelikung peradaban Islam sendiri dan sebagian umat Islam menikmati lingkungan itu.
Dalam sistem hierarkis, demokratisasi, keterbukaan, dan kompetisi akan kesulitan mendapat tempat. Sebab, loyalitas yang muncul merupakan bentuk ketertundukan.
sebagai contoh nilai-nilai Islam yang semula berbunyi ”hormatilah yang tua dan sayangilah yang muda” berubah menjadi ”patuhilah orang tua dan proteksilah yang muda”.”Maka tradisi membantah, mengkritik, dan mengoreksi yang tua tak pernah terjadi. Sebab, itu menjadi sesuatu yang negatif, setingkat dengansu’ul adab.”
Dalam sistem hierarkis, demokratisasi, keterbukaan, dan kompetisi akan kesulitan mendapat tempat. Sebab, loyalitas yang muncul merupakan bentuk ketertundukan.
sebagai contoh nilai-nilai Islam yang semula berbunyi ”hormatilah yang tua dan sayangilah yang muda” berubah menjadi ”patuhilah orang tua dan proteksilah yang muda”.”Maka tradisi membantah, mengkritik, dan mengoreksi yang tua tak pernah terjadi. Sebab, itu menjadi sesuatu yang negatif, setingkat dengansu’ul adab.”
Pada gilirannya, bangunan etika-sosial seperti itu melahirkan pedoman kesopanan yang diukur dengan konsep-konsep seperti empan-papan, angon mangsa, atau duga-praduga sebagai konsekuensi, muncul pola kepura-puraan, mimik, dan kamuflase yang dalam kebudayaan Jawa sikap seperti itu menjadi bagian untuk menyelaraskan hidup. Padahal, pada sisi lain budaya Islam sangat menekankan ketegasan. Jangan heran jika kemudian (agama) Islam diterima umumnya orang Jawa yang tersosialisasi pada kebudayaan Jawa dengan catatan atau syarat-syarat. Bukan peradaban Islam yang goyah melainkan orang-orangnya.
Prof Dr H Abu Su’ud melihat keterpengaruhan Islam-Jawa atau sebaliknya dalam kerangka yang lebih sederhana. Misalnya dalam tradisi tahlilan, nelung dina, mitung dina, dan seterusnya. Termasuk dalam kebatinan Jawa, seperti konsep sedulur papat, lima pancer, juga gelar kesultanan bagi raja-raja Jawa pasca-Majapahit, serta aspek lain, seperti pemakaian nama, penghitungan astrologi, bahkan pemilihan jodoh.[1]
Oleh sebab itu pemahaman arti Islam dan budaya jawa menjadi hal yang sangat penting agar tidak terjadi suatu polemik dan salah interpretasi terhadap islam dan budaya jawa itu sendiri. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian islam dan kebudayaan jawa serta hal-hal yang dihasilkan karena pertemuan antara keduanya itu.
II. PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan mengulas beberapa topik permasalahan tentang Pengertian Islam dan Kebudayaan Jawa, diantaranya:
1.) Batasan, pengertian, dan wilayah (budaya) Jawa
2.) Ciri-ciri budaya dan masyarakat jawa
3.) Tujuan mempelajari islam dan kebudayaan jawa
III. PEMBAHASAN
- Batasan, pengertian, dan wilayah (budaya) Jawa
Secara terminologi Islam mempunyai arti pasrah atau tuduk[2]. Sedangkan dalam bahasa Arab kata Islam merupakan kata bentukan dari kata kerja “aslama-yuslimu-islaaman” yang berarti menyerahkan diri atau kedamaian.[3] Islam dalam arti luas merupakan agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah “. Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaran Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Namun nama “Islam” mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah). Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya Agama Islam (agama yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat perbedaan-perbedaan, karena perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat umum dalam masalah-masalah mua’malah dan bukanlah masalah yang fundamental.[4]
Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang sebelumnya.
Secara harfiah kebudayaan dari kata Sansekerta, Budayah adalah jamak dari buddi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan adalah hal-hal yang berkaitan dengan akal. Sedangkan budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa dan kebudayaan adalah hasil dari keseluruhan system gagasan, tindakan, cipta, rasa dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya yang semua tersusun dalam kehaidupan masyarakat.[5]
Menyoal tentang arti kebudayaan tidaklah mudah sebab arti dari kebudayaan dapat dipandang dari sudut pandang dan persepektif yang berbada-beda. Oleh karena itu banyak bebagai pandangan arti dari kebudayaan yang muncul , berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:[6]
1. Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2. M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan social.
3. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Dalam antropologi budaya, kita dapat mengenal beragam suku dan budaya, salah satunya adalah masyarakat atau suku Jawa. Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun temurun. Suku bangsa Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Secara geografis suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri, sedangkan diluar itu dinamakan pesisir dan Ujung Timur. Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan Mataram pada sekitar abad ke XVI adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Keduanya adalah tempat kerajaan terakhir dari pemerintahan raja-raja Jawa.[7]
Nenek moyang suku bangsa Jawa tidak berbeda dari suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang menempati Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatra dan Jawa yang disebut daratan Sunda. Semula wilayah ini masih menjadi satu dengan benua Asia sebelum es mencair dan memisahkan keduanya. Dari sisa peninggalan masing-masing budayanya dimungkinkan ada hubungan darah di antara suku-suku tersebut, terutama dengan bangsa Asia Tenggara terutama Indo China. Sementara itu, dibagian timur adalah dataran Sahul, yang memunculkan Irian dan Australia. Antara Sunda dan Sahul tersebar pulau-pulau Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Banda dan Filipina.[8]
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana. Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya. [9]
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan Priyayi, seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.[10]
- Ciri-ciri budaya dan masyarakat jawa
Unsur-unsur kebudayaan menurut konsep B. Malinowski, kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsure universal, yaitu:
Ø Bahasa
Ø System tekhnologi
Ø System mata pencaharian
Ø Organisasi social
Ø System pengetahuan
Ø Religy
Ø Kesenian[11]
Budaya masyarakat jawa, identik dengan cirri-ciri yang menonjol, diantaranya yang yaitu: religious, nondoktrinier atau dogmatis, toleran, akomodatif, optimistic.[12]
Salah satu sifat dari masyarakat jawa adalah bahwa mereka religious dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka. Dan keberagamaan ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti, hindu, bidha, islam, khatolik, protestan, dan protestan ke Jawa. Namun dengan pengamatan selintas dapat diketahui bahwa dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agama-agamanya.[13]
Corak dan watak yang khas dimiliki oleh masyarakat jawa, diantaranya:
v Percaya kepada Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi dengan segala sifat dan kebesarannya.
v Bercorak idealis yang percaya kepada hal-hal yang bersifat adikodrati
v Lebih mengutamakan hakikat dari pada segi-segi faormal dan ritual
v Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia
v Percaya kepada takdir, bersifat pasrah dan berpendirian bahwa manungsa among saderma ngakoni
v Bersifat konveregen (menyatu), universal dan terbuka
v Bersifat momot dan sectarian
v Cenderung menyukai simbolisme
v Bersifat rukun, damai dan sejuk
v Bersifat tidak fanatik
v Bersifat luwes dan lentur
v Mengutamakan rasa dari pada rasio
v Kurang lugas, kurang suka berterus terang, percaya kepada dukun dan ramalan, cenderung kearah gugon tuhan, takhayul
v Cenderung kurang kompetitif.[14]
- Tujuan mempelajari islam dan kebudayaan jawa
Tujuan mempelajari Islam dan Kebudayaan Jawa yaitu untuk menciptakan rasa toleran dalam penyebaran agama Islam khususnya di Jawa yang pada saat itu masih kental dengan kepercayaan seperti animisme, dinamisme, hindu, budha serta Mengetahui sejauh mana korelasi antara agama (islam) dan budaya yang dapat menciptakan kreasi-kreasi baru. Di sinilah, bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi, bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut. Karena Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama.
Secara terperinci manusia dapat mengambil beberapa wacana dan manfaat dari uraian di atas sebagai hasil dari mempelajari Islam dan kebudayaan Jawa:[15]
Pertama; memotivasi masyarakat untuk menumbuhkan rasa kesadaran kebudayaan yang mencakup suatu sikap perlunya memelihara budaya
Kedua; spiritualisme, mendorong masyarakat untuk mengimbangi derasnya arus konsumerisme budaya tersebut dalam era globalisasi melalui peningkatan pendidikan dan keimanan.
Ketiga; perlunya peran seluruh elemen masyarakat termasuk pemerintah untuk membantu masyarakat melalui pemberian penghargaan karya seni, mendorong agar masyarakat yakin tetap berpedoman p1ada kebudayaan Jawa sehingga dapat berperilaku sebagaimana orang Jawa (nJawani) dan mencari jalan bagaimana meningkatkan penggunaan bahasa Jawa terutama Kromo hinggil.
.keempat; untuk menghindari gegar budaya yang berkonsekuensi adanya pertentangan yang disebabkan karena adanya keslahpahaman terhadap kombinasi antara Islam dan kebudayaan Jawa.
III. Kesimpulan
Islam dalam arti luas merupakan agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. kebudayaan adalah hasil dari keseluruhan system gagasan, tindakan, cipta, rasa dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya yang semua tersusun dalam kehaidupan masyarakat. Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun temurun. Yang mana antara antara islam dan kebudayaan jawa memiliki suatu ikatan dan menghasilkan islam dalam model yang berbeda tanpa menghilangkan hakekat kesaliannya. Pemelajaran islam dan kebudayaan Jawa dirasa penting yaitu sebagai acuan menuju peradaban yang lebih berkualitas.
IV. Penutup
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan mengenai pengertian islam dan kebudayaan Jawa secara ringkas. Semoga uraian diatas bias menambah sedikit wawasan keilmuan dunia islam khususnya di tanah Jawa. Tak ada gading yang tahk retak oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif selalu penulis harapkan untuk perbaikan kedepan.
V. Daftar Pustaka
Achmad Fedyani Saefuddin. 2001. Variasi Agama di Jawa. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Geertz, Clifford, Agama di Jawa, 1992. Konflik dan Interaksi, dalam : Roland
Robertson (ed), Agama dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali
Imam Khoiri. 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta.
Kodiran. 1976. Kebudayaan dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Jambatan.
M Munandar Soelaeman. 1988. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Rosda Ofset.
M Domiri Amin. 2000. Islam & Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Munawwir, Ahmad.Warson, 1997. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka
Progerssif
Notowidagdo, Rohiman. 1996. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-qur’an
dan Hadis . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Pdf, Muyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2006 Komunikasi
Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:Remaja Rosdakarya
.
Sujamto. 1991. Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintah dan Pembangunan.
Jakarta: Dahara Prize.
[1] Amin Abdullah, M., 1996. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998.hlm 34
[2] Ibid, hlm 34
[3] A.W .Munawwir , Kamus Al-Munawwir,Surabaya: Pustaka Progressif ,1997 hlm. 45
[4] Muhaimin .AG. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon., Jakarta:PT Logos Wacana , 2002
[5] Drs. H. Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-qur’an dan hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 1996, hlm.22
[6] Ibid, hlm 29
[7] Kodiran, Kebudayaan dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Jambatan, Jakarta, 1976, hlm 322
[8] Drs H M Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 200, hlm 3-4
[9] Kodiran, Op.cit, hlm. 79
[10]Clifford, Geertz, Agama di Jawa,. Konflik dan Interaksi, dalam : Roland Robertson (ed), Agama dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali 1992
[11] Ir M Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar, Bandung:Rosda Ofset, hlm 13
[12] Ir Sujamto, Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintah dan Pembangunan, Jakarta: Dahara Prize, hlm 59
[13] Marbangun hardjowiraga, Manusia Jawa, Intidayu Press, Jakarta, 1948, hlm 17,dan lihat pula Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm.310-312. Selanjutnya buku ini disebut Kebudayaan Jawa.
[14] Ir sujamto, Refleksi budaya jawa dalam pemerintahan dan pembangunan, Jakarta: dahara prize, hlm 59
No comments:
Post a Comment